Sabtu, 19 September 2015

Tentang Kesedihan Kita



Sejak lama, dalam satu terik sinar mentari menyimpan pesona warna yang beraneka. Kita telalu lengah untuk memperhatikannya. Entah karena keseharian kita yang terus menuntut tugas demi tugas untuk diselesaikan. Entah karena mata hati kita yang buta. Entah dari faktor lain yang kita malas menelusuri. Yang jelas kita jarang melihat warna-warna itu, sebab kita telah disibukkan oleh teriknya yang mengingit kulit. Panasnya yang memeras keringat dari pori-pori, kita pun menjadi gerah. Namun, ada waktu ketika gerimis tesemai disekujur terik. Membiarkan warna sinar terlihat dengan jelas. Hingga kita sadar bahwa keindahan pelangin itu tak terlihat seketika, ada cara agar kita mampu memandangnya. Yakni dengan jatuhnya rinai-rinai air. Bisa jadi terik itu adalah cobaan yang memanahi diri berkali-kali dan hujan itu adalah rintik-rintik air mata.  Pelangi adalah pesona hikmahnya.

Adakalanya, kesedihan dan kebahagiaan adalah anugerah  Allah. Tinggal bagaimana cara kita menyikapi anugrah itu. Tidak  adil kalau kita cuma mau yang baik-baik saja. Ketika diminta bersabar, eh amarah kita malah melebar. dengan mengembalikan segala sesuatu ke hadirat-Nya. Insya Allah semua jadi lebih ringan karena kita sudah berbaik sangka atas semua kehendak-Nya. Yakinlah kalau kesedihan yang hadir adalah karunia pilihan Allah yang harus kita lalui untuk kebaikan diri.  Kesedihan jadi indah saat ia jadi salah satu alasan untuk kita merapat kepada-Nya.  saat rindu bersidekap dengan rindu. Sebab kerinduan kita pada-Nya sering terkikis kealpaan. Kita jadi dibuat kembali merindu. pada yang sepatutnya untuk kita rindui. Indah lagi mengindahkan.

Adakalanya, kesedihan adalah giliran untuk saling melengkapkan. Ada mungkin dari kita yang menonton film Pondok Buruk.  Digambarin kalau kemurungan yang identik sama karakter tokoh sadness, itu jelek. Di paruh terakhir film, baru lah penonton sadar bahwa sebenarnya kesedihan sering jadi alasan bagi hadirnya kepedulian dari orang-orang tersayang. Yakinlah kalau kesedihan yang hadir adalah kesempatan untuk melibatkan mereka ke dalam diri kita yang seutuhnya. Sebagai cara Allah untuk meperlihatkan siapa yang peduli dan siapa yang berpura-pura. Kesedihan jadi indah saat ia jadi salah satu alasan untuk kita merapatkan hubungan dengan sesama. Saling topang, saling isi.

Adakalanya, sedih adalah sedih. Titik. Kalau kita mau sedih, ya sedih ajalah. Kecuali sedihnya di kamar orang tua tetangga, kan gak sopan Gan ! Jangan dibiasain memendam kesedihan yang bisa jadi bom waktu di masa depan. Nangis ya nangis aja. Marah ya marah aja. Ketawa juga ya ketawa aja. Jadilah kita yang alami, waras dan hidup sepenuhnya. tetaplah menjadi manusia. Yang tidak dibenarkan adalah keterlampauan dalam meratapi kesedihan. Karena Allah gak suka orang yang berlebihan itu datangnya bukan dari iman tapi dari setan.  Kesedihan jadi indah saat ia jadi salah satu alasan untuk mawas tentang kodrat manusia sebagai makhluk yang berperasaan. Air mata tercipta untuk jadi pelembut hati - selain molto. *Eh..

Adakalanya,. Kesedihan sering jadi titik awal selebrasi untuk diri sendiri. Agar kita lebih banyak waktu untuk belajar kehidupan tanpa ada yang mengusik maka Allah luangkan bagi kita ruang kesendirian. Kualitas rencana kita tidak akan pernah bisa menandingi kualitas rencana-Nya. Berserah diri dengan utuh itu butuh latihan. Dada ini emang tidak  pernah selapang bandara, tapi kalau kita coba membiasakan diri untuk legowo dengan setiap kejadian, mudah-mudahan bisa seluas samudra. insya Allah pemahaman tentang makna rencana terbaik-Nya, akan diperluas. Kita cuma belum paham saja. Nanti ada waktunya.
Jangan menghakimi kesendirian, jangan meremehkan kesunyian. Kita enggak pernah tau, apakah keduanya lahir dari sebab-akibat atau memang sebuah pilihan. Apakah ini hanya sebagai pembelajaran atau akan benar-benar menjadi ujian, kita tidak tahu. Sejauh langkah kita tak terhenti, kita akan paham bahwa semua ini berada dalam rencana Tuhan. Segala sesuatunya diluar dugaan, segala sesuatunya benar-benar hanya bisa dipahami dengan keimanan dan ketaqwaan. Bukan lagi perasaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar