Minggu, 06 September 2015

Berjalan untuk Sebuah Perjalanan



        Kita terus baik memaksa atau pun rela melangkah menuju tempat pencapaian, berproses melalui seseguk perjalanan. Mari kita gontaikan dari semurni-murninya niat, sekecil-kecilnya langkah, semampu daya upaya. Kita tahu dan menyadari sedeguban jantung yang memompa untuk derap kebaikan tetap akan dihitung oleh-Nya. Kita akan memulai yang besar dari kecil dulu. Sejenis apapun hal yang kita lakukan hari ini menjadi penentu kita di kejauhan hari. Sudahkah detik kita disarati oleh nilai-nilai atau sekedar kekosongan belaka. Bumi dan langit takkan pernah menangisi takdir kita kelak. Mereka tak lain hanyalah penyaksi kita, penyaksi apapun yang kita perbuat, kemarin, kini, dan nanti. Detik-detik waktu  telah di sumpah dan ia akan terus berjalan sekalipun kita diam. akankah kita menjadi yang tertinggal ? lalu  kitalah yang bertanggung jawab atas pahit manis keesokan yang menjelang. Hari kemarin adalah cerminan, esok adalah harapan, hari ini adalah kekuatan kita. Kekuatan kita untuk mendesain masa depan yang bercahaya, yang gempita, yang berujung ridho Sang Pencipta. Saat dimana kita masih diberi kesempatan untuk berfikir jernih memanfaat akal, bertidak lebih cepat, dan mengayuh pedal do’a sekencang-kencang menuju etala langit.

Sambil terus berjalan Lihatlah telapak tangan. Di sana ada banyak sekali garis kehidupan, entah itu garis keberuntungan, garis rezeki,garis kegetiran, garis umur, atau pun garis jodoh. Kemudian coba kepalkan tangan. Lihat, bahwa semua garis berada dalam kepalan tangan kita. Itu artinya, hidup ini ada dalam kendali kita. Perjalanan terberat dari kita mungkin bukan perjalanan saat menuju puncak. Bisa jadi sebaliknya yakni kepasrahan dan kekuatan hati untuk turun, itu yang paling berat. Ujian terbesar dari kita adalah ketika kita diminta melepaskan satu demi satu yang telah kita perjuangkan. Disanalah seni dari hidup ini. Akankah kita mampu turun dari puncak kesuksesan dengan tegap dan ikhlas segagah perjuangan kita ketika mendaki dulu? Mampukah wajah kita tetap tersenyum indah penuh syukur ketika turun, sama halnya binaran mata kita saat berhasil mencapai puncak dulu?. Bisa ?

Pernahkan kita patah hati ? Hal itu masih wajar, tak ada perjalanan hati yang tak mengalami kepatahan. Namun, mereka yang mampu belajar, adalah mereka yang bisa membalut patahannya, dan menjadikan hati yang lebih kuat dari sebelumnya. Setelah itu, Hati kita dilatih untuk menjadi lebih peka, lebih sensitif, dan lebih perasa. Kita menjadi lebih menghargai, menjadi lebih tahu diri. Kita di uji lagi dari sisi kesabaran. Kebanyakan dari kita bukanlah seorang penyabar. Kadang kita merasa kesabaran berada pada garis batasnya, berada pada puncaknya dimana tidak bisa lagi  dikendalikan. Tapi kita sadar bahwa rasa sabar tak punya batas. Kita membatasinya karena kita ingin membatasinya, bukan karena ia punya batas. Maka kita mesti mencoba lagi. Atas itulah kita  bersyukur dibiarkanNya jatuh, luka, berdarah, menangis tiada henti, menyesali segala kesalahan, dan akhirnya bertekad untuk menjadi lebih baik, demi Dia, demi mereka yang tulus dan sabar menemani kita. Untuk orang-orang yang tetap ada di sisi kita bahkan ketika banyak dari lain memilih pergi tak acuh saja, untuk orang-orang yang masih mau memegang pundak kita bahkan ketika orang lain tak sudi melihat, untuk orang-orang yang dengan sabar memapah kita kembali ke jalan yang semestinya bahkan di saat tak ada satu orang pun yang peduli bagaimana sakitnya kita terjatuh, semoga Allah membalas mereka dengan luasnya surga yang tak terkira keindahannya. Semoga…

©Ningsi_afj

Tidak ada komentar:

Posting Komentar