Minggu, 13 September 2015

Kita yang pada Hari ini



Kita yang pada hari ini dengan pekerjaan yang memang tak pernah kenal waktu. Tak jua kenal ruang dengan beraneka sudut, tak pula kenal timbunan rasa yang telah menggunung. Walau pada akhirnya akan berujung pada keringat dan daki. Kita yang bekerja di naungan punggung mentari. Belajar menikmati lelah dari pekerjaan yang tak kunjung selesai. Belajar berdamai bersama kepegalan tubuh untuk mengejar deadline laporan atau tagihan bulanan. Belajar tenang untuk menghadapi saat si Bos mulai berkasam muka atau rekan kerja yang tak seiya sekata. Namun kita melakukan pekerjaan bukan sekedar untuk memeras keringat atau menciptakan daki. Bahwa kita bekerja untuk bersyukur. Kesyukuran atas nikmat kesehatan, nikmat akal, nikmat kesempatan, dan nikmat untuk menghirup udara lepas, bebas, dan puas. Kesyukuran kita atas pekerjaan sekiranya dapat meregangkan kembali urat-urat syaraf. Kita menjadi orang-orang yang bebas dari diksi tertekan. Jika rasa syukur bagian tubuh ibadah, maka melakukan pekerjaan ini adalah ibadah kita. Selesai….

Kita yang pada hari ini merasa kepenatan pun mengajak menikmati sepenggal senja hari. Bersama secangkir teh hangat. Mendendangkan denyut nadi bersimfoni dengan desau angin. Pertanda kita masih hidup. Masih diminta untuk melanjutkan perjuangan didetik kemudian. Detik yang akan diminta pula pertangungjawabannya nanti. Senja ini, untuk sekedar mengusir kepenatan seharian  tadi, boleh lah kita menulis selarik puisi tentang hidup kita yang barusan terlewati, atau kemarin yang tak bisa dijemput lagi, atau esok yang masih temaram. Mungkin ada harapan yang dicacah kekecewaan, atau impian yang tak kunjung terpetik. Kita bisa menggarang dalam liuk-liuk bait, atau menghempa pada majas-majas. Terserah saja. Semau kita. Luahkan dalam puisi-puisi hati.

Kita yang pada hari ini. Coba lihat langit malam, jangan-jangan bulan sudah terbakar keluhan. Cahayanya memburam disemprot gerutu. Karena kita yang  menampiaskan diri pada bayangan hari-hari yang panjang. Menghabiskan terik raja siang dengan bongkah-bongkah upaya. Yang kata orang “demi sesuap nasi dan sebukit berlian” (*ups). Keluhan tentang mereka, dia, atau seseorang yang mengesalkan. Ada waktunya kita tidak perlu menghabiskan pikiran dan hati  untuk memikirkan orang-orang yang tidak menyukai. Ada baiknya kita curahkan hati dan pikiran untuk orang-orang yang menghargai keberadaan kita, untuk orang-orang yang mencintai atau mungkin sedang menunggu kita. Malam ini akan dikoyak kaki-kaki waktu. Jangan izinkan rumput hitam di kepala memutih disiram prasangka-prasangkat tak penting. Mari kita bertasbih menyebut nama Tuhan. Merenovasi kerusakan hati dari prasangka melalui istighfar bertalu-taludan untuk kepentingan hati nikmati kembali sujud-sujud kekhusyukan. Berdenting lah tenang demi tenang. Hingga kedamaian diabadikan malam. Lalu kita terpulas dalam kebaikan. Indah bukan ?

©Ningsi_afj
09:49 PM, 13-09-15 @home Bangko
#Perjalanan_untuk_sebuah_mimpi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar