Kita yang pada hari ini dengan pekerjaan
yang memang tak pernah kenal waktu. Tak jua kenal ruang dengan beraneka sudut,
tak pula kenal timbunan rasa yang telah menggunung. Walau pada akhirnya akan
berujung pada keringat dan daki. Kita yang bekerja di naungan punggung mentari.
Belajar menikmati lelah dari pekerjaan yang tak kunjung selesai. Belajar
berdamai bersama kepegalan tubuh untuk mengejar deadline laporan atau tagihan
bulanan. Belajar tenang untuk menghadapi saat si Bos mulai berkasam muka atau rekan
kerja yang tak seiya sekata. Namun kita melakukan pekerjaan bukan sekedar untuk
memeras keringat atau menciptakan daki. Bahwa kita bekerja untuk bersyukur.
Kesyukuran atas nikmat kesehatan, nikmat akal, nikmat kesempatan, dan nikmat
untuk menghirup udara lepas, bebas, dan puas. Kesyukuran kita atas pekerjaan
sekiranya dapat meregangkan kembali urat-urat syaraf. Kita menjadi orang-orang
yang bebas dari diksi tertekan. Jika rasa syukur bagian tubuh ibadah, maka melakukan
pekerjaan ini adalah ibadah kita. Selesai….
Kita yang pada hari ini merasa
kepenatan pun mengajak menikmati sepenggal senja hari. Bersama secangkir teh hangat.
Mendendangkan denyut nadi bersimfoni dengan desau angin. Pertanda kita masih
hidup. Masih diminta untuk melanjutkan perjuangan didetik kemudian. Detik yang
akan diminta pula pertangungjawabannya nanti. Senja ini, untuk sekedar mengusir
kepenatan seharian tadi, boleh lah kita
menulis selarik puisi tentang hidup kita yang barusan terlewati, atau kemarin
yang tak bisa dijemput lagi, atau esok yang masih temaram. Mungkin ada harapan
yang dicacah kekecewaan, atau impian yang tak kunjung terpetik. Kita bisa
menggarang dalam liuk-liuk bait, atau menghempa pada majas-majas. Terserah
saja. Semau kita. Luahkan dalam puisi-puisi hati.
Kita yang pada hari ini. Coba
lihat langit malam, jangan-jangan bulan sudah terbakar keluhan. Cahayanya
memburam disemprot gerutu. Karena kita yang menampiaskan diri pada bayangan hari-hari yang
panjang. Menghabiskan terik raja siang dengan bongkah-bongkah upaya. Yang kata
orang “demi sesuap nasi dan sebukit berlian” (*ups). Keluhan tentang mereka,
dia, atau seseorang yang mengesalkan. Ada waktunya kita tidak perlu menghabiskan
pikiran dan hati untuk memikirkan
orang-orang yang tidak menyukai. Ada baiknya kita curahkan hati dan pikiran
untuk orang-orang yang menghargai keberadaan kita, untuk orang-orang yang
mencintai atau mungkin sedang menunggu kita. Malam ini akan dikoyak kaki-kaki
waktu. Jangan izinkan rumput hitam di kepala memutih disiram
prasangka-prasangkat tak penting. Mari kita bertasbih menyebut nama Tuhan.
Merenovasi kerusakan hati dari prasangka melalui istighfar bertalu-taludan
untuk kepentingan hati nikmati kembali sujud-sujud kekhusyukan. Berdenting lah tenang
demi tenang. Hingga kedamaian diabadikan malam. Lalu kita terpulas dalam
kebaikan. Indah bukan ?
©Ningsi_afj
09:49 PM, 13-09-15 @home Bangko
#Perjalanan_untuk_sebuah_mimpi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar