Untuk menjadi penulis tentu dibutuhkan keseriusan,
kesungguhan. Kalau keinginan menjadi penulis kecil saja, atau sekadar hobi,
tentu saja kita tak akan pernah menjadi penulis yang berhasil. Jika di antara
kita masih merasa membutuhkan dorongan atau motivasi untuk menjadi penulis,
maka bacalah kiat berikut ini. Kiat ini dimaksudkan untuk memperteguh niat
untuk rajin menulis dus menjadi penulis, lahir batin. Mari kita mulai.
Pertama, jadikan menulis sebagai bentuk ibadah. Menulis sebagai ibadah identik dengan menulis sebagai
wujud bakti kepada Tuhan. Bakti kepada Tuhan tak melulu berbentuk pemujaan atau
sembahyang, bahkan juga dengan berbuat baik terhadap sesama. Berbuat baik
kepada sesama dengan cara beramal pengetahuan melalui karya tulis adalah wujud
dari ibadah atau sujud bakti kepada Tuhan. Dengan menjadikan ativitas menulis
sebagai ibadah, maka kita akan merasa dan meyakini bahwa menulis adalah cara
kita melaksanakan perintah Tuhan. Kita pun bisa menulis dengan tulus dan jujur.
Kita pun bisa menulis dengan ringan, tanpa beban, bahkan dapat menjalani
aktivitas ini dengan penuh cinta.
Kedua, jadikan menulis sebagai alat perjuangan. Penulis dalam menulis harus mempunyai visi yang jelas. Apa goal
penulisan kita? Dalam hubungan ini, kembali ke pertanyaan awal: apakah kita
benar-benar ingin menjadi penulis? Jika jawabannya ‘ya’, maka ada kewajiban
lanjutnya, yakni komitmen. Komitmen untuk terus dan terus menulis secara
kontinu. Dengan terus-menerus menulis, niscaya kemampuan menulis kita akan kian
baik, ide-ide yang disampaikan akan dapat dengan mudah diwujudkan ke dalam
bahasa tulis. Tak jadi masalah lagi bagaimana cara menuliskan ide/gagasan.
Baru setelah itu, kita dapat menjadikan menulis sebagai alat
perjuangan. Alat perjuangan apa? Misalnya, alat perjuangan untuk turut
membangun kecerdasan bangsa. Ini ide besarnya. Lebih spesifik lagi, alat
perjuangan untuk ikut serta memajukan dunia kesehatan. Lebih mikro lagi: untuk
memajukan kesehatan ibu dan anak. Atau, untuk memajukan dunia pendidikan. Lebih
mikronya: pendidikan dasar sembilan tahun. Begitulah misalnya. Masing-masing
dari kita bisa menentukan untuk apa sejatinya kita menulis.
Ketiga, jadikan menulis sebagai pilihan hidup. Sebagai sebuah pilihan hidup, menulis tak lagi menjadi
sekadar hobi yang dilakukan sesekali saja itu pun kalau ada mood. Kalau
tak ada mood atau gairah menulis, ya sudahlah, nggak usah menulis. Sebagai
pilihan hidup, maka menulis menjadi bagian dari tugas dan kewajiban keseharian
yang mesti dilakoni. Menulis dipandang sebagai pekerjaan atau profesi yang
memikat dan bersedia dengan ikhlas bertekun di dalamnya, mengikuti proses, dan
pada akhirnya mendapatkan hasil dari kerja penulisan. Sebagai pilihan hidup,
menulis akan mendatangkan hasil-hasil nyata: artikel dan buku yang
terpublikasi, dan perlbagai bentuk naskah lainnya yang tak ternilai harganya.
Jelaslah bahwa untuk memperkuat motivasi menulis, kita dapat
memandang menulis sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan, sebagai alat perjuangan
mewujudkan visi, dan pilihan hidup. Nah, bagaimana dengan kita? Adakah motivasi
menulis itu demikian kuatnya dalam diri kita?
Salam menulis.
Sumber: I Ketut Suweca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar