Oleh: Sulastriya Ningsi, S.Si
Cahaya
bersifat dualisme, yaitu cahaya sebagai gelombang dan cahaya sebagai partikel.
Sifat cahaya baru ditemukan pada abad ke-19 oleh para fisikawan dan kimiawan
dunia, padahal Allah telah menerangkan sifat cahaya di dalam Al-Qur’an jauh
sebelum ilmu pengetahuan mulai berkembang. Sifat cahaya menjelaskan berbagai
peristiwa di alam, diantaranya peristiwa benda dapat terlihat dan berwarna,
terbentuknya pelangi, dan fotosintesis. Allah telah menerangkan dengan sangat
indah di dalam firman-Nya Al-Qur’an mengenai cahaya, di antaranya manusia dapat
berjalan dengan cahaya (QS 2: 17 dan 20 ; QS 6: 122 ; QS 57: 28), Allah adalah
sumber cahaya (QS 24: 35), cahaya sangat penting dalam kehidupan manusia (QS
33: 46), dan adanya cahaya di atas cahaya dari pelangi (QS 24: 35). Korelasi
antara ilmu pengetahuan dengan Al-Qur’an ini semakin memperkuat kebenaran bahwa
Al-Qur’an berasal dari Dzat yang menciptakan segala sesuatu yang ada di langit
dan di bumi. Aplikasi pengembangan ilmu mengenai sifat cahaya saat ini
sangatlah banyak, baik itu dari hal yang kecil, seperti penerangan di rumah,
sampai ke yang besar, seperti nuklir. Hal ini mengingatkan manusia untuk selalu
bersyukur atas karunia yang diberikan oleh Allah Sang Maha Pencipta.
“ Sesungguhnya pada kisah-kisah
mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran
itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab)
yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesutau, dan sebagai petunjuk dan rahmat
bagi kaum yang beriman.”
(QS
Yusuf: 111)
Einsten,
Thomas Young, dan Planck merupakan beberapa orang yang terkenal di dunia. Mereka terkenal dengan apa yang telah mereka
temukan, Einstein dengan teori relativitasnya, Young dan Planck terkenal dengan
dualisme cahayanya. Temuan ini merupakan hasil pemikiran yang mendalam. Mereka
berpikir mengenai banyak hal sehingga mereka dapat mempelajari atau mengerti hal
tersebut dengan jelas.
Begitu lembut namun
tegas Allah memberitahu kepada umat manusia bahwa Al-Qur’an bukanlah hal yang
dikarang tanpa landasan apapun, akan tetapi Al-Qur’an merupakan suatu pelajaran
atau kumpulan ilmu yang berisikan segala sesuatu mengenai kehidupan dan alam. Dengan
akal yang Allah berikan kepada setiap manusia, seharusnya kita dapat memikirkan
semua penciptaan yang ada.
Sebagai umat Islam yang telah ditinggalkan al-Qur’an
dan al-hadis oleh Rasulullah, seharusnya membaca, memahami, serta
mengamalkannya sebagai pedoman dalam kehidupan. Dewasa ini saat ini, sudah
semakin sedikit orang yang membaca dan mengamalkan al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an
terdapat berbagai ilmu pengetahuan, salah satunya adalah surat an-Nur. Allah
khusus memberi nama surat dengan nama an-Nur,
menunjukkan betapa luas dan pentingnya Nur
bagi manusia sebagai pedoman dalam kehidupan.
Cahaya merupakan salah satu contoh dari
gelombang elektromagnetik yang mempunyai sifat pokok hampir sama dengan cahaya.
Berbagai penemuan telah meyimpulkan, bahwa cahaya adalah energi
berbentuk gelombang
elekromagnetik yang kasat mata
dengan panjang gelombang
sekitar 380–750 nm. Cahaya merambat tidak membutuhkan medium.
Max Planck
(1858-1947) dan Albert Einstein
mengemukakan teori tentang foton (partikel kecil). Berdasarkan hasil penelitian tentang
sifat-sifat termodinamika radiasi benda hitam, Planck menyimpulkan bahwa,
cahaya dipancarkan dalam bentuk partikel kecil yang disebut kuanta (diskret energi).
Dengan teori ini, Einstein berhasil menjelaskan peristiwa yang dikenal dengan
nama Efek Foto
Listrik, yakni pemancaran elekton dari permukaan logam karena logam
tersebut disinari cahaya. Teori Gelombang oleh Chrisiaan Huygens (1629-1695),
menyatakan bahwa cahaya dipancarkan ke segala arah sebagai gelombang seperti
bunyi. Perbedaan antara keduanya hanya pada frekuensi dan panjang gelombang
saja.
Jadi, dalam kondisi tertentu cahaya
menunjukkan sifat sebagai gelombang dan dalam kondisi lain menunjukkan sifat
sebagai partikel. Hal ini disebut sebagai dualisme cahaya.
Ayat Al-Qur’an yang Berhubungan dengan Sinar dan Cahaya
Cahaya
(QS Al Baqarah: 17, 257), (QS Al
A‘raf: 157), (QS An Nisa’: 174), (QS Al
Maidah: 15-16, 44, 46), (QS Al An’am: 91, 122), (QS At Taubah: 32), (QS
Ibrahim: 1, 5), (QS Al Kahf: 90), (QS An Nur: 35, 40), (QS Al Ahzab: 43, 46), (QS
Fathir: 20), (QS Az Zumar: 22, 69), (QS Asy Syura: 52), (QS Al Hadid: 9, 12-13,
19, 28), (QS Ash Shaf: 8), (QS At Taghabun: 8), (QS At Thalaq: 11), (QS At
Tahrim: 8), (QS Nuh: 16), (QS Al Qiamah: 8), (QS Al Insyiqaq: 16), (QS Al Lail:
1), (QS At Thariq: 3), (QS As Syams: 1), (QS Al Hadid: 13), (QS
Yunus: 05), (QS
An-Naba’: 13)
Sinar
(QS
Al Baqarah: 20), (QS Al Qashash: 71)
Dalam fakta empiris
gelombang dari cahaya menjalar dengan rambatan lurus tanpa memerlukan medium.
Saat cahaya bertindak sebagai gelombang maka akan terjadi beberapa peristiwa
yakni refraksi (pembiasan), dispersi (pengahamburan), inteferensi (penumpukan),
dan difraksi (pembelokkan). Dari keempat kejadian inilah terbentuknya
spektrum-spektrum cahaya pada prisma
yang diberikan oleh cahaya polikromatik.
Penguraian cahaya ini menjadi warna-warni yang bertumpuk-tumpuk dengan paduan
warna yang sangat indah. Dalam fenomena sehari-hari dapat kita saksikan
langsung dari gejala alam yang disebut pelangi. Fenomena ini terbentuk dari
pembiasan cahaya oleh butiran-butiran air yang berada di awan.
Peristiwa penumpukan
cahaya, warna pelangi, ternyata telah terabadikan sejak 14 abad yang silam,
saat belum ada satupun penemuan canggih dan teknologi mutakhir untuk melakukan
riset-riset mengenai bagaimana peristiwa ini terjadi. Dalam surat An-Nur ayat
ke-35 dijelaskan :
“Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak
berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu)
dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya
di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa
yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia,
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS An-Nur: 35)
Maha Kuasa Allah dalam
segala firman-Nya. Sungguh indah apa yang telah Allah tegaskan dalam ayat-Nya
bahwasanya Allah-lah Maha Cahaya itu. Pesan ini Allah sampaikan dengan
perumpamaan ilmiah dalam firman-Nya yakni Cahaya di atas cahaya. Ternyata
perumpaan ini bukan hanya sekedar kata yang memiliki nilai sastra tinggi namun
suatu analogi ilmiah yang terbukti secara empiris seperti yang telah dijelaskan
di atas, yaitu peristiwa terbentuknya pelangi.
Dalam surat di atas juga dinyatakan bahwa “Allah membimbing kepada cahaya-Nya”,
makna cahaya dalam konteks ini adalah petunjuk. Secara teori, gelombang cahaya
merambat dengan rambatan lurus tanpa memerlukan medium. Ternyata perumpamaan
ini sangat sinkron dengan apa yang Allah ungkapkan dalam firman di atas, yakni
petunjuk yang disampaikan oleh Allah kepada seorang hamba adalah seperti cahaya
yang merambat lurus. Cahaya petunjuk dari Allah akan membawa kita kepada jalan
dan pengajaran yang lurus, yaitu Islam atau ajaran yang dibawa oleh Rasulullah.
Selain daripada itu, Allah tegaskan bukan manusia yang memberi petunjuk,
melainkan Allah sendirilah yang memberi petunjuk ke dalam hati dan
membimbingnya ke cahaya yang lurus, yaitu petunjuk Allah. Allah tidak
membutuhkan perantara, perumpamaan petunjuk sangat cocok dengan cahaya karena
cahaya tidak butuh medium untuk merambat.
Setiap kata yang
bermakna petunjuk, diberi perumpamaan oleh Allah seperti cahaya. Seperti
petunjuk yang ditemukan di dalam ajaran Islam melalui al-Qur’an dan as-Sunnah. Berikut
penjelasan ayatnya:
“Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu,
(Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an).”(QS
An-Nissa: 174)
“Hai
Nabi sesungguhnya kami mengutusmu
untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan
izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang
menerangi.”(QS Al-Ahzab: 45-46)
“Mereka
berkehendak memadamkan cahaya (agama)
Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki
selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak
menyukai.”(QS At-Taubah: 32)
Sifat gelombang dari
cahaya dapat dilihat dari gambar di atas, keterkaitannya dengan Allah adalah
bentuk desain dari pergerakan elektron pada cahaya itu yang membentuk gelombang.
seperti Dari sini kita mengenal bentuk tasbih semesta alam, karena kita ketahui
seluruh alam ini tersubstansi oleh elektron yang mengelilingi inti dengan
gerakan tasbih membentuk gelombang, seperti alunan gelombang ketika kita
bertasbih menyebut nama Allah swt.
Secara ilmiah terbukti bahwa manusia
dapat melihat karena adanya cahaya dan kiranya tidak ada cahaya seperti malam
hari maka manusia sulit untuk mengetahui apa yang ada di sekitarnya. Pembuktian
secara ilmiah ini ternyata dapat dirujuk dari ayat Al-Qur’an:
1.
“Perumpamaan
mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi
sekelilingnya Allah hilangkan cahaya
(yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat
melihat .” (Q.S al-Baqarah: 17)
2.
Hampir-hampir
kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap
kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan
bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia
melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa
atas segala sesuatu.” (Q.S al-Baqarah: 20)
3.
”
Dan apakah orang yang
sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang
terang, yang dengan cahaya itu dia dapat
berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang
keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar
daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa
yang telah mereka kerjakan.” (Q.S al-An’am: 122)
4.
”
Hai orang-orang yang
beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada
Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan
menjadikan untukmu cahaya yang dengan
cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S al-Hadiid: 28)
Berdasarkan firman Allah di atas
tersirat bahwa penglihatan manusia itu bersumber dari dari Allah dan Allah Maha
Berkuasa atas segala sesuatu. Dalam ayat di atas juga dinyatakan bahwa, yang
menjadikan mata kita dapat melihat suatu benda karena adanya cahaya. Secara
teori empiris dibuktikan bahwa suatu benda dapat terlihat karena cahaya
tersebut bersifat dualisme, yaitu bertindak sebagai gelombang dan partikel.
Selain itu, sifat dualisme cahaya juga
muncul pada peristiwa fotosintesis tumbuhan. Pada saat mengenai klorofil tumbuhan,
cahaya bersifat sebagai partikel dengan diskret energi, foton tertentu. Namun
sebelum mengenai klorofil, panjang gelombang cahaya menentukan penyerapan pada
pigmen klorofil. Cahaya merah adalah cahaya dengan panjang gelombang yang
paling efektif diserap oleh klorofil dan warna paling bermanfaat dalam reaksi
terang. (Campbell, 2000)
“Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan
cahaya merah di waktu senja,”(Q.S al-Insyqaaq: 16)
Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an dinyatakan bahwa syafaq adalah cahaya merah ini terjadi pada waktu yang penuh ketundukan tetapi
menakutkan, sesudah terbenamnya matahari. Alasannya, karena sesudah terbenamnya
matahari, jiwa manusia merasakan ketakutan sekaligus ketenangan yang mendalam.
Hatipun merasakan makna keberpisahan dengan waktu siang, kesedihan yang
membisu, dan keterharuan yang dalam.
Namun selain makna waktu penuh
ketundukan, ada pesan sains untuk kemashlahatan hidup manusia yang tersirat
dalam firman-Nya di atas, mengapa harus cahaya merah? kenapa tidak merah
kekuning-kuningan. Secara sains, cahaya merah adalah panjang gelombang yang
memilki energi paling kecil, namun paling baik untuk proses fotosintesis
tumbuhan. Warna merah juga memiliki panjang gelombang terbesar. Oleh karena itu
warna merah digunakan dalam lampu lalu lintas sebagai tanda berhenti, sebab
gelombang ini paling cepat sampai ke arah mata manusia.
Secara ilmiah sinar berbeda dengan
cahaya. Sinar adalah sumber dari cahaya, contohnya matahari, bintang dengan
reaksi fusi ini akan memancarkan sinar. Semakin banyak reaksi fusi yang terjadi
maka akan semakin besar intensitas sinar yang dipancakan. Sedangkan cahaya
adalah hasil dari sinar itu sendiri, yakni berupa hasil pemecahan ataupun
refleksi dari sinar contohnya matahari. Sinar
yang sampai ke bumi akan menjadi pecahan-pecahan cahaya tampak. Ternyata
AlQur’an yang mulia memfokuskan
perbedaan detil antara cahaya (an-Nur)
dan sinar (dhiya’), yakni dalam
fiman-Nya:
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya)
kepada orang-orang yang mengetahui.”(Q.S Yunus: 5)
1. Allah
menjelaskan bahwa gelap lawannya adalah cahaya (an-Nur) dan bukan sinar (adh-dhiya’)
pada berbagai ayat Al-Qur’an, antara lain dalam firman-Nya:
“Segala
puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap
dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan
mereka.”(Q.S al-An’am: 1)
2.
Ketika Allah mendiskripsikan sifat
Rasulullah sebagai pelita (siraj)
berarti bersinar independen, ditambahkan sifat pelita itu menerangi (dari kata nur).
Rasulullah adalah pelita (sinar)
atau sumber cahaya, maknanya adalah Allah menjadikan Rasulullah sebagai sumber
petunjuk bagi manusia (telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa cahaya adalah
petunjuk).
“Hai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu
untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan
izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.”(Q.S al-Ahzab: 45-46)
3. Ketika
Allah mendeskripsikan karakter api
sebagai sinar (adh-dhiya’) dan
cahayanya yang jatuh di sekelilingnya sebagai cahaya (an-nur), maka Allah membedakan sinar dengan cahaya, sebagaimana firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 17 (pada bab sebelumnya).
4. Allah
mendeskripsikan sinar petir dengan adh-dhiya’,
yakni dalam firman-Nya surat al-Baqarah ayat 20.
5. Allah
mendiskripsikan sifat minyak dengan menyala (dhau’) dan mendiskripsikan jatuhnya sinar itu di sekitarnya yakni
cahaya di atas cahaya dengan nur
yakni dalam surat an-Nur ayat 35.
Tidak ada satupun kitab suci yang memiliki
penjelasan paling ilmiah, akurat dan rinci seperti Al-Qur’an. Tiap perumpaan
memilki makna tersendiri yang bersifat ilmiah dan teruji secara empiris,
seperti penjelasan di atas.
Berdasarkan sifat dualisme cahaya ini berkembanglah
ilmu fisika-kimia modern yang berhasil menciptakan berbagai teknologi mutakhir
pada bidang kesehatan, teknologi dan sains, astronomi, dan sejarah.
” … dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan ...”
(Al-Hadiid: 28)
Dengan cahaya kita dapat menjadi manusia yang
berjalan menuju masa yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti
saat ini. Tanpa cahaya, pengetahuan dan teknologi tidak akan berkembang.
Kehidupan manusia tidak akan menjadi indah dan berwarna. Kita akan tetap berada
pada masa kebodohan dan kegelapan. Maka sudah seharusnya kita bertanya siapakah
yang telah menciptakan cahaya penerang ini?
Allah
(pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi (An Nur: 35)
Sebagai makluk yang lemah maka sudah sepantasnya
kita bersyukur kepada Allah atas segala yang diberikannya kepada kita. Jadikan
cahaya penerang yang dapat kita rasakan ini sebagai peringatan untuk selalu
bersyukur dan bertakwa kepada Allah SWT.
karya mu bagus maka lanjutkan
BalasHapusbagus ibu isinya . menginspirasi saya bu . terimakasih :)
BalasHapusTerimakasih,, Alhamdulillah bisa menemukan artikel ini. 🙏😊
BalasHapus