Minggu, 10 November 2013

KONSTRUKSI JIWA APKASI YANG BERMENTAL SEHAT MENUJU INDONESIA BEBAS KORUPSI


(Juara Harapan III Sayembara Otonomi Daerah Tingkat Nasional)
Oleh: Sulastriya Ningsi, S.Si



I.          PENDAHULUAN
Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika, terdiri dari ribuan pulau, ratusan kultur dan subkultur yang menyebar di seluruh nusantara. Berdasarkan pada variasi lokalitas yang sangat beragam itu maka sangat tepat untuk menerapkan otonomi daerah. Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia diyakini akan mampu mendekatkan pelayanan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memupuk demokrasi lokal. (Chalid, 2005). Otonomi daerah merupakan komitmen reformasi untuk menjawab kelemahan pemerintahan yang sentralistik (perspektif media, 2012).
Pada dasarnya, desentralisasi bertujuan membangun partisipasi masyarakat dan mengundang keterlibatan publik seluas-luasnya dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan yang dijalankan. Untuk itu, desentralisasi memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk secara demokratis mengatur pemerintahannya sendiri sebagai manifestasi dari cita-cita sistem desentralisasi. Tetapi, pelaksanaan sistem ini mendapatkan tantangan yang cukup besar. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah (1) mindset atau mentalitas aparat birokrasi yang belum berubah; (2) hubungan antara institusi pusat dengan daerah; (3) sumber daya manusia yang terbatas; (4) pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan, penguasaan aset dan adanya semacam gejala powershift syndrom yang menghinggapi aparat pemerintah; dan (5) keinginan pemerintah untuk menjadikan desa sebagai unit politik di samping unit sosial budaya dimana desa memiliki tatanan sosial budaya yang otonom (Chalid, 2005).
Pada kenyataannya, mindset atau mentalitas menjadi kendala yang cukup besar bagi pelaksanaan tata pemerintahan yang baru ini. Selama kurang lebih 5 tahun pelaksanaan otonomi daerah (2000- 2005), timbul berbagai persoalan yang disebabkan karena pola pikir dan mentalitas yang belum berubah. Tentu saja desentralisasi dan otonomi daerah mengandung berbagai konsekuensi, diantaranya adalah mentalitas dan kapasitas pemerintah daerah yang harus memadai sehingga dapat menjamin pelaksanaan desentralisasi secara maksimal. Dengan kewenangan yang cukup besar berada di tangan pemerintah daerah, berarti pemerintah daerah memiliki keleluasaan sekaligus tanggung jawab yang lebih besar daripada sistem yang berlangsung sebelumnya.
Beririsan dengan mentalitas aparat pelaksana pemerintahan, kita menyaksikan bahwa problematika hangat yang kerap berjamur di media masa dewasa ini adalah  kabar korupsi. Penyakit sosial ini sekarang telah menyelubungi hingga taraf kompleksitas kehidupan baik ekonomi,  politik, hukum, adminitrasi, sosial bahkan pendidikan. Korupsi di Indonesia telah menjadi wabah yang mencemaskan. Sebagaimana  dilansir oleh sebuah lembaga penelitian ekonomi independen yang berasal dari Hongkong, Independent Comitte Anti Korupsi (ICAC), Indonesia termasuk kedalam 10 nominasi negara terkorup di dunia (www.kpk.go.id, 2008).
Fenomena maraknya korupsi para kepala daerah di era otonomi ini seakan membenarkan tesis bahwa era reformasi korupsi di kalangan pemerintah sudah tumbuh ke atas dalam hierarki dan ke bawah menjalar ke daerah-daerah. Wabah korupsi benar-benar telah sistemis. Endemi korupsi telah begitu menggurita hingga ke generasi muda. Ini jelas tak bisa dianggap enteng (Koran Jakarta.com, 2012)
APKASI sebagai asosiasi pemerintahan daerah terbesar di Indonesia. Para anggota APKASI yakni kabipaten di seluruh Indonesia adalah manifestasi dari wajah Republik Indonesia yang sesungguhnya. Memperhatikan urgensitas peranan APKASI sebagai organisasi kepemerintahan  yang harus berjuang mencapai tujuan-tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka melakukan revitalisasi adalah langkah tepat guna untuk menjadikan  APKASI lebih baik kedepannya. Revitalisasi  kontemporer yang paling efektif untuk problematika hangat saat ini, korupsi, adalah pembenahan sisi internal pada stakeholder APKASI itu sendiri. Pemberantasan korupsi sangat strategis dengan dari faktor internal yakni, melalui reparasi dan konstruksi nilai-nilai spiritual (spiritualisasi) yang dianut oleh makrositas APKASI. Gambaran dari pengejewantahan internal akan tercitra dalam implementasi eksternalnya di kemudian hari.




II.          SEPUTAR OTONOMI DAERAH
Desentralisasi dan otonomi daerah merupakan bentuk sistem penyerahan urusan pemerintahan dan pelimpahan wewenang kepada daerah yang berada dibawahnya. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada tingkat yang terendah, otonomi berarti mengacu pada perwujudan free will yang melekat pada diri-diri manusia sebagai satu anugerah paling berharga dari Tuhan (Piliang, 2003). Free will inilah yang mendorong manusia untuk mengaktualisasikan diri dan menggali seluruh potensi terbaik dirinya secara maksimal. Berawal dari individu-individu yang otonom tersebut kemudian membentuk komunitas dan menjadi bangsa yang unggul.
Pengertian otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 sebagai amandemen UU No. 22 Tahun 1999 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepala daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Chalid, 2005).
Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945 secara konsti­tusional maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Sebagaimana digariskan dalam penjelasan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa mela­lui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan keadilan, keis­timewaaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Noor, 2012)
Menurut Noor (2012) dalam bukunya ”Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI”, menyatakan akselerasi peran Pemerintah Daerah dalam menjaga dan mempertahankan NKRI harus mencakup setidak-tidaknya pelaksanaan kegiatan dalam kerangka 9 (sembi­lan) program strategis, yakni:  Pertama, dukungan atas penguatan kelembagaan,prasarana dan operasional aparat pertahanan, keamanan, ketertiban serta penegakan hukum di wilayah-wilayah rawan atas ancaman kedaulatan NKRI. Kedua, pengembangan program-program kesejahteraan masyarakat lokal. Ketiga, pembangunan pusat-pusat pertumbuhan dan pengembangan ekonomi – terutama ekonomi unggulan – berbasis kecamatan dengan melibatkan private sec­tors serta dukungan partisipasi rakyat. Keempat, akselerasi pembangunan infrastruktur dan prasarana komuniukasi di wilayah-wilayah yang rawan ancaman atas kedaulatan negara. Kelima, penguatan kelembagaan, organisasi dan manajemen bagi pemanfaatan sumberdaya alam lokal. Keenam, pengembangan sumberdaya manusia untuk mendukung program-pro­gram pengembangan ekonomi lokal. Ketujuh, pengokohan ketahanan sosial-politik masyarakat dalam arti penana­man wawasan kebangsaan secara luas. Hal ini mengingat bahawa ancaman atas kedaulatan NKRI bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga berupa ‘ancaman ideolo­gis‘. Kedelapan, pemeliharaan stabilitas politik di daerah. Pelaksanaan demokrasi dalam bentuk pilkada, pemilu legislatif dan pilpres harus dijalankan tanpa menimnbulkan luka-luka politik atau konflik sosial di daerah. Kesembilan, pengembangan sinergi hubungan yang harmonis,terarah dan bertang­gungjawab antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten /kota.

III.       SOSOK APKASI DALAM OTONOMI DAERAH
Dalam kurun dua tahun terakhir, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dibawah kepemimpinan Ketua Umum Ir. H. Isran Noor, M.Si telah melaksanakan serangkaian kegiatan baik dalam kerangka realisasi program maupun dalam hubungan dengan pelaksanaan peran sebagai organisasi yang harus berjuang mencapai tujuan-tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia .
Dengan dukungan segenap jajaran pengurus Apkasi serta para Bupati, Ketua Umum Apkasi Ir. H. Isran Noor, M.Si mendorong dan memimpin Apkasi agar mempunyai peran strategis sebagai organisasi pelopor dalam penguatan otonomi daerah, serta mengupayakan solusi masalah-masalah pembangunan daerah. Tidak sebatas itu, Apkasi juga mengerahkan sumber daya organisasi baik berupa pengabdian nyata maupun pengkomunikasian gagasan solutif menanggapi masalah-masalah nasionalisme berbagai bidang (Perspektif Media, 2012).
APKASI sebagai asosiasi pemerintahan daerah terbesar di Indonesia, menyimpan peranan dan tugas strategis sebagai mediator untuk mempertemukan berbagai kebutuhan pemerintah daerah dengan berbagai pihak. Peranan sebagai mediator itu penting karena daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Meskipun namanya sama yaitu kabupaten, namun 398 kabupaten itu menghadapi persoalan sendiri-sendiri, yang terkadang kurang lebih ada yang sama dengan daerah-daerah lain. Wadah APKASI mempertemukan kesamaan nasib, tempat saling bertukar pengalaman antar kabupaten dan tempat melakukan perjuangan bersama-sama ketika ada hal-hal yang menghambat pembangunan di segala bidang pada daerah. Para anggota APKASI yakni kabipaten di seluruh Indonesia adalah manifestasi dari wajah Republik Indonesia yang sesungguhnya.
Sulit untuk menutupi berbagai fakta tentang tersendatnya komunikasi daerah ke pusat. Sebagai contoh, hal yang paling mendesak adalah ketika daerah menerima setumpuk peraturan baru yang harus dilaksanakan oleh daerah. Sudah pasti akan membutuhkan waktu sosialisasi. Bahkan di tiap daerah kerap terjadi perbedaan interpretasi terhadap peraturan yang disosialisasikan. Disinilah peran mediator APKASI dibutuhkan, yakni dalam rangka meningkatkan pemahaman daerah atas peraturan-peraturan yanb dikeluarkan pemerintah pusat, APKASI menjadi fasilitator mempertemukan pejabat terkait dengan para kepala daerah. Tujuanya agar daerah menguasai dengan baik peraturan-peraturan yang baru, sehingga tidak ada perbedaan pemahaman (Perspektif Media, 2012). Apkasi bertekad untuk terus bekerja memperkuat proses kelembagaan demokrasi di daerah, dan aktif mengkomunikasikan gagasan serta pemikiran untuk perubahan UU Pemerintah Daerah , UU Pemilukada, UU tentang Desa, juga UU Pemilu DPR, DPD dan DPRD (Noor, 2012).

IV.       SPESIES VIRUS KORUPSI 
Dalam sejarah tercatat bahwa korupsi sudah bermula sejak awal kehidupan manusia. Agenda ini sudah berlangsung dan tercatat di dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan Romawi kuno (Nasir, 2006). Pada 14 abad silam Nabi Muhammad SAW juga telah memperingatkan sahabatnya untuk meninggalkan segala bentuk tindakan yang merugikan orang lain yang kemudian dikenal sebagai bagian dari korupsi (Azhar, 2003).
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa latin: corruption= penyuapan) gejala di mana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun secara harfiah korupsi berarti perbuatan tercela berupa penyelewengan dana, wewenang, amanat dan sebagainya untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok yang dapat merugikan Negara maupun pihak lain. Korupsi dalam perspektif hukum positif  disebut sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa, dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againt humanity). Namun demikian korupsi ini merupakan bahasa  lain dari mencuri “saraka” yang  bermakna mengambil hak yang bukan miliknya.
Pencurian yang dimaksud  bukan saja kelas ikan teri tapi lebih dari itu yakni kelas kakap yang ada sangkut pautnya dengan urusan kenegaraan dan kepentingan umum.  Lebih lanjut penulis membahasakan bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan iblis sebab ia bukan saja merugikan satu individu tapi lebih dari itu korupsi dapat merusak sendi perekonomian, merugikan kesejahteraan umum, bahkan menghancurkan masa depan anak bangsa yang ingin meraih mimpi serta cita-citanya.
Praktek korupsi yang selama ini terjadi lebih berkaitan  dengan pemerintahan negara atau “public office”, sebab korupsi biasa dilakukan oleh orang yang mengerti hukum, mengerti aturan, tapi malah dia yang melanggar hukum tersebut pantaslah Muhammad Masyhuri dalam catatannya menyebutkan korupsi laksana “dunia hantu”, dunia yang  tidak tampak wujud jasadnya, tetapi terasakan dampaknya. Dunia hantu merupakan sebuah sebuah ilusi-fantasi yang mengimplementasikan dunia ketidak-jujuran (uncredible), kepura-puraan, dan hilangnya kepercayaan (Iacking of trust), kejernihan hati, pikiran, dan  moral. Dunia hantu  adalah dunia semu, dunia bayangan, dunia instan, dan dunia jalan pintas.

V.          KORUPSI PADA KANCAH  PEMERINTAHAN

Otonomi daerah memberi banyak hal positif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Dengan otonomi daerah, penyebaran kekuasaan tidak hanya terpusat seperti di era Orde Baru, tetapi menjadi merata dan kepala daerah memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Tapi perubahan sistem yang terlalu cepat dari era terpusat ke era otonomi daerah seringkali
membuat sumber daya manusia bangsa ini tidak siap. Otonomi daerah ternyata menimbulkan ekses dan membuat sistem demokrasi saat ini rawan dengan penyalahgunaan kekuasaan, sepereti melakukan pemerasan dan korupsi (tribunnews.com, 2012)
Masyarakat kembali disuguhi sebuah kenyataan yang membuat miris. Sebuah potret yang menunjukkan maraknya abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) yang dilakukan para pejabat bermental korup. Itulah potret korupsi yang terus saja dipertontonkan secara telanjang dan kasat mata para pemegang kekuasaan. Betapa tidak, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat dari 524 kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota), 173 di antaranya terlibat kasus korupsi pada 2004-2012. Dari jumlah tersebut, 70 persen telah diputus bersalah dan diberhentikan, sebuah jumlah yang sungguh mencengangkan. (Koran Jakarta.com, 2012)
Genderang perang terhadapnya tampaknya harus terus ditabuh. Penyakit kronis korupsi tidak hanya memiskinkan rakyat, tapi juga merupakan pembusukan peradaban. Apalagi modus operasinya yang selalu bergeser dari masa ke masa. Pada awal kemerdekaan, korupsi lebih banyak terjadi di level pemerintah pusat, kemudian pada masa Orde Baru disebabkan semangat kronisme disertai nepotisme yang begitu kuat.
Era reformasi saat ini aktor-aktor korupsi telah meluas ke level seantero wilayah Nusantara yang melibatkan pejabat daerah dengan demikian pesat. Perubahan institusional di era reformasi tampaknya memang berkontribusi pada pelebaran korupsi. Seperti dikatakan kalangan neoinstitusionalisme, sebuah perubahan struktur pemerintahan dan politik akan memengaruhi tingkah laku aktor politik dan mekanisme kebijakan beserta efek politik yang ditimbulkan.
            Dalam konteks desentralisasi, otonomi daerah dipandang lebih banyak melahirkan korupsi daripada kemajuan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan korupsi era otonomi justru semakin menyebar dan meluas. Salah satunya karena aturan legal formal dan pelembagaan penegakan korupsi di daerah belum komprehensif. Selain itu, kelemahan civil society dan pada saat bersamaan budaya politik patronclient cukup kuat (Koran Jakarta.com, 2012)
Mentalitas birokrasi untuk menunjang pembangunan harus diubah sehingga pemerintah mampu mengoptimalkan pengembangan wilayah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Kendala yang disebabkan oleh mentalitas birokrasi diantaranya terjadinya hubungan kolusi antara birokrasi sebagai penyedia pelayanan publik dengan pengguna jasa yang menyebabkan diskriminasi dalam pelayanan (Chalid, 2005). Seyogyanya, secara hukum pemerintah daerah berperan dalam penanggulangan masalah sosial, bukan malah mensintesis masalah baru dengan adegan-adegan kriminalitas, korupsi, yang mencekik rakyat. 
Persoalan lain yang kini dihadapi kepala daerah menyangkut efektifitas ‘governabil­ity’ Kepala Daerah yakni kemampuan dan kapasitas untuk memimpin perencanaan, pengendalian dan implementasi kebijakan publik yang responsif terhadap dinamika pembangunan daerah serta perkembangan sosial, ekonomi dan politik baik dalam skala nasional maupun lokal. Kepala daerah seringkali dihadapkan pada kendala bu­kan saja permasalahan sumberdaya strategis dalam implementasi kebijakan publik, akan tetapi juga seringkali dihadang oleh keterbatasan ruang hukum yang memadai untuk mengambil diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sebagai akibatnya, maka berbagai inovasi yang dapat dikembangkan oleh Kepala Daerah tidak berjalan, ‘the best practice of governability’ terhalang, dan lebih pa­rah lagi Kepala Daerah dapat menjadi korban kriminalisasi kebijakan yang meliputi ‘peradilan opini publik’ maupun proses peradilan tindak pidana korupsi. Peristiwa kriminalisasi ini berdampak negatif tidak hanya secara personal terhadap Kepala Daerah dan keluarganya , akan tetapi juga lebih jauh berpengaruh terhadap melu­asnya ketidakpercayaan publik (Noor, 2012).

V.   KINERJA PEMERINTAH DALAM MENGGULINGKAN KORUPSI
Upaya pemerintah dalam mencari jalan memberantas korupsi di Indonesia telah dimulai sejak zaman era Soekarno hingga SBY. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Pusat Kajian Adminitrasi Internasional Lembaga Adminitrasi Negara Republik Indonesia memandang perlu untuk melakukan kajian lebih jauh tentang strategi penanganan korupsi di negara-negara Asia Pasifik, sebagai bahan masukkan untuk memperkuat (revitalize) penanganan korupsi yang diterapkan di Indonesia.
Beberapa gebrakan dan upaya untuk terus meningkatkan pemberantasan korupsi telah dilakukan. Berbagai kelembagaan antikorupsi telah lahir. Mulai dari dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pada tahun 1999 berdasarkan UU NO. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terakhir, lahirnya lembaga independen khusus yang menangani pemberantasan tindak pidana korupsi untuk melakukan penyidikan terhadap praktek tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 29 Desember 2003.
Dasar pembentukan KPK adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) secara profesional, intensif, dan berkesinambungan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan pancasila dan UUD Tahun 1945. Lembaga-lembaga sejenis juga didirikan seperti Komisi Omdubsman, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPAK), Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), dan Komisi Kejaksaan. Pembentukan lembaga ini diharapkan dapat memperkecil peluang terjadinya korupsi. Sejak lahirnya KPK masyarakat pun  mulai merasa terancam untuk melakukan korupsi secara “blak-blakan”. Maka rencana pelaksanaan korupsi semakin halus dan licin, ibarat penelusuran kasus ini adalah “bak mengambil belut di lumpur hitam” (Suwarno, 2012).
Persoalan pembinaan integritas dan keteladanan tetap memainkan peran yang paling menentukan. Selain itu, mengingat bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi membutuhkan sebuah lembaga kredibel, eksistensi semacam KPK mutlak. Lembaga semacam ini patut diberi wewenang yang lebih besar, akses administrasi, dan intelijen yang memadai. KPK harus memiliki jaringan yang kuat hingga ke pelosok daerah dan harus mandiri secara politis dan finansial.

VI.   REPARASI  DAN KONSTRUKSI NILAI-NILAI SPIRITUAL
Sangat disayangkan, otonomi daerah yang diharapkan mampu menjadi jembatan bagi terwujudnya desentralisasi pembangunan justru sebaliknya, desentralisasi menjadi  peluang untuk terjadinya korupsi di daerah di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya jumlah kasus korupsi yang melibatkan hingga 240 kepala daerah di Indonesia (regional.kompasiana.com, 2012). Semua ini tidak terlepas dari kehadiran APKASI yang mulai mencuar ke permukaan kancah pemerintahan. Sekalipun APKASI  diagung-agungkan dapat menjadi fasilitator maupun mediator perbaikan hubungan daerah dengan pusat. Ini semua  akan menjadi hambar jika kepercayaan publik terhadap pemerintah telah tergerus karena fakta-fakta korupsi yang terus menjamur di kalangan pemimpin dan pejabat yang sebagai stakeholder dalam APKASI itu sendiri.
Cepisan-cepisan masalah yang menstimulus hadirnya korupsi seperti tekanan ekonomi, budaya, hambatan struktur sosial, adminitrasi, dan lain sebagainya. Jika dilihat dari hukum dan lembaga-lembaga terkait pencegahan korupsi dapat dikatakan sudah sangat massif dan kompleks. Namun pada realitanya semua ini tidak mampu menjadi perisai untuk menahan derasnya arus korupsi yang melanda di bangsa tercinta ini.
 Sebenarnya hal tersebut bertunas dari nilai-nilai spiritual yang terkorosi (kebobrokan). Nilai spiritual tidak terlepas dari sumbernya yaitu Islam itu sendiri. Jika nilai diterjemahkan kedalam bahasa agama dikonotasi sebagai akhlak atau etika. Islam memberikan pedoman khusus yang bersumber dari al-Qur’an dan hadist, kedua warisan tersebut merupakan sumber nilai yang padu, bulat, dan universal. Sistem nilai dan moral adalah suatu keseluruhan tatanan yang terdiri dari dua atau lebih komponen yang satu sama lain saling mempengaruhi, bekerja dalam keterpaduan yang solid, serta berorientasi pada nilai dan moralitas islami.  Sehingga tekanannya terletak pada action system. Nilai spiritual yang mengacu pada ketauhidan dan akhlak di sampaikan Allah pada firman-Nya:

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan banyak mengingat Allah.” (Q.S. al-Ahzab: 21)

Moral pada hakikatnya adalah suatu kekuatan konstruktif dan positif, merupakan suatu kekuatan motivator bagi perkembangan yang berkesinambungan dan bagi kesadaran diri didalam proses perkembangan tersebut. Menurut masyaikh Sayyid Quthb (1978), moralitas islami bersumber dari karakter manusia (tabi’ah insaniyah) yang senafas dengan nilai agama, yaitu dorongan batin yang menuntut pembebasan jiwa dari beban batin karena perbuatan dosa  dan tindakan keji yang bertentangan dengan perintah Ilahi. Atas dorongan batin inilah manusia dengan fitrahnya merasa wajib untuk berbuat kebajikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
Keunggulan persentasi penganut agama Islam di Indonesia khususnya pada tataran pelaksana pemerintah belum dapat mengatasi praktek korupsi yang membahana. Bibit ini berakar dari kurangnya kesadaran dan kemauan untuk mengamalkan ajaran agama yang benar yang sesuai dengan rambu-rambu syari’at, selayaknya yang diungkapkan dalam Q.S. al-Jumu’ah [62]: 5. Hal ini menjadikan umat Islam terjangkit penyakit cinta dunia dan takut mati. Perlombaan sebagian umat Islam terhadap dunia telah membuat mereka buta dan tuli sehingga menghalalkan segala cara, padahal Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya:

“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahuinya.”(Q.S. al-Baqarah: 188)

Pada prakteknya sekarang, korupsi dianggap sebagai kegiatan yang telah dilegalisasi. Hal yang paling faktual dan sering tercemar adalah masalah penyuapan. Rasulullah SAW telah menekankan kepada umatnya untuk mewaspadai masalah tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam hukum. (H.R. Turmuzi)

Dari Tsubana berkata, Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap serta al-raisya yaitu orang yang menjadi perantara keduanya. (H.R. Ahmad)

Penerimaan-penerimaan pekerjaan kerap kali menjadikan uang maupun nepotisme (penyuapan) sebagai fasilitas yang paling menunjang untuk menentukan kelulusan dan menafikkan keahlian serta profesionalitas. Kejadian-kejadian selayak inilah yang mencuarkan distorsi dalam tatanan ekonomi, sosial-budaya, politik, dan adminitrasi.
Reparasi/perbaikan nilai-nilai spiritual, tauhid dan akhlak, yang integral pada strata APKASI secara otomatis akan menyuplai sikap-sikap mental yang positif (kesholehan sosial). Dengan seperti ini maka pelaksanaan otonomi daerah mampu menuntut terwu­judnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan mendorong para kepala daerah untuk mengembangkan kepemimpinan yang lebih transparan dan akuntabel, serta mengkondisikan berbagai langkah reformasi birokrasi. Realisasi kebijakan daerah yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat, pada satu sisi telah meningkatkan Index Pembangunan manusia (IPM) secara rasional, dan pada sisi lain menghasilkan berkembangnya sektor-sektor pendidikan dan kesehatan ser­ta pengurangan kemiskinan.
Pencitraan realisasi otonomi daerah yang sehat tersebut akan teramati pada kebijakan-kebijakan nasional dan pelaksaan tugas negara. Dapat dirincikan hasil dari perbaikan nilai-nilai spiritual sebagai berikut (Revida, 2003):
1.    Timbulnyakesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial.
2.    Tertanamkan aspirasi nasional yang membangun, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3.    Lahirnya pemimpin, pejabat, atau pun aparatur pemerintah yang memiliki kejujuran, tanggung jawab, keteladanan, keberanian dalam memberantas dan menindak tegas praktek korupsi.
4.    Terciptanya penerimaan pegawai  negeri yang bersih atas dasar keahlian dan profesionalitas bukan uang apalagi nepotisme.
5.    Tersintesis sanksi dan kekuatan untuk menindak, membumihanguskan, dan menghukum pelaku korupsi.
6.    Akselerasi dalam mencapai cita-cita luhur bangsa.
Selayaknya kita ketahui, para anggota APKASI yakni seluruh kabupaten di seluruh Indonesia adalah manifestasi dari wajah Republik Indonesia yang sesungguhnya.  Penanaman, pembinaan, dan pengembanan iman dan tauhid serta akhlaqul karimah  pada tatanan APKASI sangat berefek pada akselerasi dalam  pencapaian cita-cita luhur bangsa. Karena pada hakikanya, ketahanan mental spiritual ke dalam diri manusia memiliki urgensi yang mendalam untuk menghadapi dan menumpaskan mata rantai korupsi.
Hal-hal yang terangkup dalam nilai-nilai spiritual dapat dilakukan dengan cara yang beragam. Langkah yang paling utama untuk menginstal nilai-nilai spiritual tersebut haruslah dibangun mulai dari lingkungan keluarga. Setelah itu dapat melalui pendidikan Islam yang komprehensif dan masif. Bagi aparatur pemerintahan, pendidikan yang berkaitan dengan fikih antikorupsi sangatlah dianjurkan bahkan bisa dikatakan “wajib”. Pendidikan ini dapat diteguk dengan membaca buku-buku sebagai berikut:Membangun Kesholehan Sosial, Memerangi Korupsi: Geliat Agamawan atas Problem Korupsi di Indonesia, Korupsi di Negeri Kaum Beragama, Ikhtiar Membangun Fikih Antikorupsi (Baidowi, 2009).
Mentalitas birokrasi untuk menunjang pembangunan harus diubah sehingga pemerintah mampu mengoptimalkan pengembangan wilayah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Kendala yang disebabkan oleh mentalitas birokrasi diantaranya. terjadinya hubungan kolusi antara birokrasi sebagai penyedia pelayanan publik dengan pengguna jasa yang menyebabkan diskriminasi dalam pelayanan (Chalid, 2005)
Tindakan-tindakan yang bersifat “operasi mental” dan kesadaran individu tidak lain adalah untuk menciptakan aparat pemerintah yang berbudi luhur. Terlebih untuk para pemimpin dan pejabat daerah. Seorang pemimpin sudah semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai spiritualitas Islam. Oleh karenanya, para aparatur pembangunan kesemuanya perlu dibangun mentalnya dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran tasawuf. Tasawuf adalah mensucikan hati daripada sifat-sifat kejiwaan yang tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat psikologis yang tercela didesak keluar, dan diisi kedalam jiwa, sifat-sifat psikologis yang terpuji (Rojak, 2009).
Sifat mental “hubbud dunya” (gila harta), rakus, tamak, “hubbul-jah war-riyasah” (gila pangkat dan jabatan), diusir keluar, dan diisi dengan mental “qana’ah” (nerimo, jawa), zuhud (tiada gandrung dunia), ikhlas, sabar, ridha, dan syukur. Pengahayatan demikian dapat dilatih dengan selalu eling/ingat/dzikir kepada Allah SWT. Agar dapat selalu menerapkan dzikrullah haruslah melalui latihan dengan memakai fungsi ganda: 1) mendesak keluar sifat psikis yang buruk, 2) mengisi ke dalam jiwa, sifat psikis yang terpuji, dan 3) menggerakkan perbuatan-perbuatan yang terpuji, sesuai dengan getaran jiwa yang terpuji itu (Rojak, 2009). Jika akhlak seseorang telah diwarnai oleh iman maka peringatan Allah SWT baik dalam Q.S. al-Anfal [8]: 27 maupun firman lainnya akan menjadi alat kontrol kalbu untuk mengunci mati gudang dan ruang korupsi dalam kehidupan. Jika tubuh APKASI yang meliputi seluruh stakeholder kepemerintahan daerah dapat menerapkan ini maka proses pemerintah yang bersih sudah jelas  dapat terlaksana. Sehingga visi APKASI sebagai organisasi kepemerintahan yang berbasis sosial politik dapat terejawantahkan dan kemanfaatan APKASI dapat mewarnai ruang lingkup NKRI yang kuat dan bebas korupsi.

VII.      KESIMPULAN

Dari uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Otonomi daerah atau sistem desentralisasi adalah sebuah keniscayaan sekaligus amanat demokrasi. Otonomi daerah adalah wacana yang hangat dibicarakan dan diperdebatkan karena menyangkut bagaimana upaya negara untuk menyejahterakan rakyat.
2.      Desentralisasi belum mampu menjawab persoalan pemerataan dan kesejahteraan di daerah. Faktanya, desentralisasi otonomi daerah yang luas di anggap memberi andil lahirnya desentralisasi tindakan koruptif yang menyebar ke seluruh wilayah. 
3.      APKASI sebagai asosiasi pemerintahan daerah terbesar di Indonesia yang memainkan peran penting dalam menyongsong perbaikan otonomi daerah dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terdahap pejabat dan pemimpin pemerintahan.
4.      Penanaman, pembinaan, dan pengembanan iman dan tauhid serta akhlaqul karimah  pada tatanan APKASI sangat berefek pada akselerasi dalam  pencapaian cita-cita luhur bangsa Indonesia dan terwujudnya negara yang bersih korupsi.
Semoga bermanfaat.!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar