(Juara Harapan III Sayembara Otonomi Daerah Tingkat Nasional)
Oleh: Sulastriya Ningsi, S.Si
I.
PENDAHULUAN
Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika,
terdiri dari ribuan pulau, ratusan kultur dan subkultur yang menyebar di
seluruh nusantara. Berdasarkan pada variasi lokalitas yang sangat beragam itu
maka sangat tepat untuk menerapkan otonomi daerah. Penerapan desentralisasi dan
otonomi daerah di Indonesia diyakini akan mampu mendekatkan pelayanan
masyarakat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memupuk demokrasi lokal. (Chalid,
2005). Otonomi daerah merupakan komitmen reformasi untuk menjawab kelemahan
pemerintahan yang sentralistik (perspektif media, 2012).
Pada dasarnya, desentralisasi
bertujuan membangun partisipasi masyarakat dan mengundang keterlibatan publik
seluas-luasnya dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan
yang dijalankan. Untuk itu, desentralisasi memberikan ruang yang lebih luas
kepada daerah untuk secara demokratis mengatur pemerintahannya sendiri sebagai
manifestasi dari cita-cita sistem desentralisasi. Tetapi, pelaksanaan sistem
ini mendapatkan tantangan yang cukup besar. Kendala-kendala tersebut
diantaranya adalah (1) mindset atau mentalitas aparat birokrasi yang
belum berubah; (2) hubungan antara institusi pusat dengan daerah; (3) sumber
daya manusia yang terbatas; (4) pertarungan kepentingan yang berorientasi pada
perebutan kekuasaan, penguasaan aset dan adanya semacam gejala powershift
syndrom yang menghinggapi aparat pemerintah; dan (5) keinginan pemerintah
untuk menjadikan desa sebagai unit politik di samping unit sosial budaya dimana
desa memiliki tatanan sosial budaya yang otonom (Chalid, 2005).
Pada kenyataannya, mindset atau
mentalitas menjadi kendala yang cukup besar bagi pelaksanaan tata pemerintahan
yang baru ini. Selama kurang lebih 5 tahun pelaksanaan otonomi daerah (2000- 2005),
timbul berbagai persoalan yang disebabkan karena pola pikir dan mentalitas yang
belum berubah. Tentu saja desentralisasi dan otonomi daerah mengandung berbagai
konsekuensi, diantaranya adalah mentalitas dan kapasitas pemerintah daerah yang
harus memadai sehingga dapat menjamin pelaksanaan desentralisasi secara maksimal.
Dengan kewenangan yang cukup besar berada di tangan pemerintah daerah, berarti
pemerintah daerah memiliki keleluasaan sekaligus tanggung jawab yang lebih
besar daripada sistem yang berlangsung sebelumnya.
Beririsan dengan mentalitas aparat
pelaksana pemerintahan, kita menyaksikan bahwa problematika
hangat yang kerap berjamur di media masa dewasa ini adalah kabar korupsi. Penyakit sosial ini sekarang
telah menyelubungi hingga taraf kompleksitas kehidupan baik ekonomi, politik, hukum, adminitrasi, sosial bahkan
pendidikan. Korupsi di Indonesia telah menjadi wabah yang mencemaskan.
Sebagaimana dilansir oleh sebuah lembaga
penelitian ekonomi independen yang berasal dari Hongkong, Independent Comitte
Anti Korupsi (ICAC), Indonesia termasuk kedalam 10 nominasi negara terkorup di
dunia (www.kpk.go.id, 2008).
Fenomena maraknya korupsi para kepala daerah di era
otonomi ini seakan membenarkan tesis bahwa era reformasi korupsi di kalangan
pemerintah sudah tumbuh ke atas dalam hierarki dan ke bawah menjalar ke
daerah-daerah. Wabah korupsi benar-benar telah sistemis. Endemi korupsi telah
begitu menggurita hingga ke generasi muda. Ini jelas tak bisa dianggap enteng
(Koran Jakarta.com, 2012)
APKASI sebagai asosiasi pemerintahan daerah terbesar
di Indonesia. Para anggota APKASI yakni kabipaten di seluruh Indonesia adalah
manifestasi dari wajah Republik Indonesia yang sesungguhnya. Memperhatikan urgensitas peranan APKASI sebagai
organisasi kepemerintahan yang harus
berjuang mencapai tujuan-tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka melakukan revitalisasi adalah langkah tepat guna untuk menjadikan APKASI lebih baik kedepannya.
Revitalisasi kontemporer yang paling
efektif untuk problematika hangat saat ini, korupsi, adalah pembenahan sisi
internal pada stakeholder APKASI itu
sendiri. Pemberantasan korupsi sangat strategis dengan dari faktor internal
yakni, melalui reparasi dan konstruksi nilai-nilai spiritual (spiritualisasi) yang
dianut oleh makrositas APKASI. Gambaran dari pengejewantahan internal akan
tercitra dalam implementasi eksternalnya di kemudian hari.
II.
SEPUTAR OTONOMI DAERAH
Desentralisasi dan otonomi daerah
merupakan bentuk sistem penyerahan urusan pemerintahan dan pelimpahan wewenang kepada
daerah yang berada dibawahnya. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada tingkat yang terendah, otonomi
berarti mengacu pada perwujudan free will yang melekat pada diri-diri
manusia sebagai satu anugerah paling berharga dari Tuhan (Piliang, 2003). Free
will inilah yang mendorong manusia untuk mengaktualisasikan diri dan
menggali seluruh potensi terbaik dirinya secara maksimal. Berawal dari
individu-individu yang otonom tersebut kemudian membentuk komunitas dan menjadi
bangsa yang unggul.
Pengertian otonomi daerah menurut UU
No. 32 Tahun 2004 sebagai amandemen UU No. 22 Tahun 1999 adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintah oleh pemerintah kepala daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Chalid,
2005).
Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945
secara konstitusional maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat. Sebagaimana digariskan dalam penjelasan UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa melalui otonomi luas, daerah diharapkan
mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan keadilan, keistimewaaan dan kekhususan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Noor,
2012)
Menurut Noor (2012) dalam bukunya
”Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI”, menyatakan akselerasi peran Pemerintah
Daerah dalam menjaga dan mempertahankan NKRI harus mencakup setidak-tidaknya
pelaksanaan kegiatan dalam kerangka 9 (sembilan) program strategis, yakni: Pertama, dukungan atas penguatan kelembagaan,prasarana
dan operasional aparat pertahanan, keamanan, ketertiban serta penegakan hukum
di wilayah-wilayah rawan atas ancaman kedaulatan NKRI. Kedua, pengembangan
program-program kesejahteraan masyarakat lokal. Ketiga, pembangunan pusat-pusat
pertumbuhan dan pengembangan ekonomi – terutama ekonomi unggulan – berbasis
kecamatan dengan melibatkan private sectors serta dukungan partisipasi
rakyat. Keempat, akselerasi pembangunan infrastruktur dan prasarana komuniukasi
di wilayah-wilayah yang rawan ancaman atas kedaulatan negara. Kelima, penguatan
kelembagaan, organisasi dan manajemen bagi pemanfaatan sumberdaya alam lokal.
Keenam, pengembangan sumberdaya manusia untuk mendukung program-program
pengembangan ekonomi lokal. Ketujuh, pengokohan ketahanan sosial-politik
masyarakat dalam arti penanaman wawasan kebangsaan secara luas. Hal ini
mengingat bahawa ancaman atas kedaulatan NKRI bukan hanya bersifat fisik,
tetapi juga berupa ‘ancaman ideologis‘. Kedelapan, pemeliharaan stabilitas
politik di daerah. Pelaksanaan demokrasi dalam bentuk pilkada, pemilu
legislatif dan pilpres harus dijalankan tanpa menimnbulkan luka-luka politik
atau konflik sosial di daerah. Kesembilan, pengembangan sinergi hubungan yang
harmonis,terarah dan bertanggungjawab antara pemerintah pusat, pemerintah
daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten /kota.
III.
SOSOK APKASI DALAM OTONOMI DAERAH
Dalam kurun dua tahun terakhir,
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dibawah kepemimpinan
Ketua Umum Ir. H. Isran Noor, M.Si telah melaksanakan serangkaian kegiatan baik
dalam kerangka realisasi program maupun dalam hubungan dengan pelaksanaan peran
sebagai organisasi yang harus berjuang mencapai tujuan-tujuan nasional Negara
Kesatuan Republik Indonesia .
Dengan dukungan segenap jajaran
pengurus Apkasi serta para Bupati, Ketua Umum Apkasi Ir. H. Isran Noor, M.Si
mendorong dan memimpin Apkasi agar mempunyai peran strategis sebagai organisasi
pelopor dalam penguatan otonomi daerah, serta mengupayakan solusi
masalah-masalah pembangunan daerah. Tidak sebatas itu, Apkasi juga mengerahkan
sumber daya organisasi baik berupa pengabdian nyata maupun pengkomunikasian
gagasan solutif menanggapi masalah-masalah nasionalisme berbagai bidang (Perspektif
Media, 2012).
APKASI sebagai asosiasi
pemerintahan daerah terbesar di Indonesia, menyimpan peranan dan tugas
strategis sebagai mediator untuk mempertemukan berbagai kebutuhan pemerintah
daerah dengan berbagai pihak. Peranan sebagai mediator itu penting karena
daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Meskipun namanya sama yaitu
kabupaten, namun 398 kabupaten itu menghadapi persoalan sendiri-sendiri, yang
terkadang kurang lebih ada yang sama dengan daerah-daerah lain. Wadah APKASI
mempertemukan kesamaan nasib, tempat saling bertukar pengalaman antar kabupaten
dan tempat melakukan perjuangan bersama-sama ketika ada hal-hal yang menghambat
pembangunan di segala bidang pada daerah. Para anggota APKASI yakni kabipaten
di seluruh Indonesia adalah manifestasi dari wajah Republik Indonesia yang
sesungguhnya.
Sulit
untuk menutupi berbagai fakta tentang tersendatnya komunikasi daerah ke pusat.
Sebagai contoh, hal yang paling mendesak adalah ketika daerah menerima setumpuk
peraturan baru yang harus dilaksanakan oleh daerah. Sudah pasti akan
membutuhkan waktu sosialisasi. Bahkan di tiap daerah kerap terjadi perbedaan
interpretasi terhadap peraturan yang disosialisasikan. Disinilah peran mediator
APKASI dibutuhkan, yakni dalam rangka meningkatkan pemahaman daerah atas
peraturan-peraturan yanb dikeluarkan pemerintah pusat, APKASI menjadi
fasilitator mempertemukan pejabat terkait dengan para kepala daerah. Tujuanya
agar daerah menguasai dengan baik peraturan-peraturan yang baru, sehingga tidak
ada perbedaan pemahaman (Perspektif Media, 2012). Apkasi bertekad untuk terus
bekerja memperkuat proses kelembagaan demokrasi di daerah, dan aktif
mengkomunikasikan gagasan serta pemikiran untuk perubahan UU Pemerintah Daerah
, UU Pemilukada, UU tentang Desa, juga UU Pemilu DPR, DPD dan DPRD (Noor, 2012).
IV.
SPESIES VIRUS KORUPSI
Dalam sejarah tercatat bahwa
korupsi sudah bermula sejak awal kehidupan manusia. Agenda ini sudah
berlangsung dan tercatat di dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India,
Cina, Yunani, dan Romawi kuno (Nasir, 2006). Pada 14 abad silam Nabi Muhammad
SAW juga telah memperingatkan sahabatnya untuk meninggalkan segala bentuk
tindakan yang merugikan orang lain yang kemudian dikenal sebagai bagian dari
korupsi (Azhar, 2003).
Dalam Ensiklopedia
Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa latin: corruption= penyuapan) gejala di mana para pejabat, badan-badan
Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta
ketidakberesan lainnya. Adapun secara harfiah korupsi berarti perbuatan tercela
berupa penyelewengan dana, wewenang, amanat dan sebagainya untuk kepentingan
pribadi, keluarga, dan kelompok yang dapat merugikan Negara maupun pihak lain. Korupsi
dalam perspektif hukum positif disebut
sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa, dan
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
againt humanity). Namun demikian korupsi ini merupakan bahasa lain dari mencuri “saraka” yang bermakna
mengambil hak yang bukan miliknya.
Pencurian yang
dimaksud bukan saja kelas ikan teri tapi
lebih dari itu yakni kelas kakap yang ada sangkut pautnya dengan urusan
kenegaraan dan kepentingan umum. Lebih
lanjut penulis membahasakan bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan iblis
sebab ia bukan saja merugikan satu individu tapi lebih dari itu korupsi dapat
merusak sendi perekonomian, merugikan kesejahteraan umum, bahkan menghancurkan
masa depan anak bangsa yang ingin meraih mimpi serta cita-citanya.
Praktek
korupsi yang selama ini terjadi lebih berkaitan
dengan pemerintahan negara atau “public
office”, sebab korupsi biasa dilakukan oleh orang yang mengerti hukum,
mengerti aturan, tapi malah dia yang melanggar hukum tersebut pantaslah
Muhammad Masyhuri dalam catatannya menyebutkan korupsi laksana “dunia hantu”,
dunia yang tidak tampak wujud jasadnya,
tetapi terasakan dampaknya. Dunia hantu merupakan sebuah sebuah ilusi-fantasi
yang mengimplementasikan dunia ketidak-jujuran (uncredible),
kepura-puraan, dan hilangnya kepercayaan (Iacking of trust), kejernihan
hati, pikiran, dan moral. Dunia
hantu adalah dunia semu, dunia bayangan,
dunia instan, dan dunia jalan pintas.
V.
KORUPSI PADA KANCAH PEMERINTAHAN
Otonomi daerah memberi banyak hal positif bagi perkembangan
demokrasi di Indonesia. Dengan otonomi daerah, penyebaran kekuasaan tidak hanya
terpusat seperti di era Orde Baru, tetapi menjadi merata dan kepala daerah
memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Tapi perubahan
sistem yang terlalu cepat dari era terpusat ke era otonomi daerah seringkali
membuat sumber daya manusia bangsa ini tidak siap. Otonomi daerah ternyata menimbulkan ekses dan membuat sistem demokrasi saat ini rawan dengan penyalahgunaan kekuasaan, sepereti melakukan pemerasan dan korupsi (tribunnews.com, 2012)
membuat sumber daya manusia bangsa ini tidak siap. Otonomi daerah ternyata menimbulkan ekses dan membuat sistem demokrasi saat ini rawan dengan penyalahgunaan kekuasaan, sepereti melakukan pemerasan dan korupsi (tribunnews.com, 2012)
Masyarakat kembali disuguhi sebuah kenyataan yang membuat
miris. Sebuah potret yang menunjukkan maraknya abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) yang dilakukan para
pejabat bermental korup. Itulah potret korupsi yang terus saja dipertontonkan
secara telanjang dan kasat mata para pemegang kekuasaan. Betapa tidak,
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat dari 524 kepala daerah
(gubernur, bupati, dan wali kota), 173 di antaranya terlibat kasus korupsi pada
2004-2012. Dari jumlah tersebut, 70 persen telah diputus bersalah dan
diberhentikan, sebuah jumlah yang sungguh mencengangkan. (Koran Jakarta.com,
2012)
Genderang perang terhadapnya tampaknya harus terus ditabuh.
Penyakit kronis korupsi tidak hanya memiskinkan rakyat, tapi juga merupakan
pembusukan peradaban. Apalagi modus operasinya yang selalu bergeser dari masa
ke masa. Pada awal kemerdekaan, korupsi lebih banyak terjadi di level
pemerintah pusat, kemudian pada masa Orde Baru disebabkan semangat kronisme
disertai nepotisme yang begitu kuat.
Era reformasi saat ini
aktor-aktor korupsi telah meluas ke level seantero wilayah Nusantara yang
melibatkan pejabat daerah dengan demikian pesat. Perubahan institusional di era
reformasi tampaknya memang berkontribusi pada pelebaran korupsi. Seperti
dikatakan kalangan neoinstitusionalisme, sebuah perubahan struktur pemerintahan
dan politik akan memengaruhi tingkah laku aktor politik dan mekanisme kebijakan
beserta efek politik yang ditimbulkan.
Dalam konteks desentralisasi, otonomi daerah dipandang lebih banyak melahirkan korupsi daripada kemajuan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan korupsi era otonomi justru semakin menyebar dan meluas. Salah satunya karena aturan legal formal dan pelembagaan penegakan korupsi di daerah belum komprehensif. Selain itu, kelemahan civil society dan pada saat bersamaan budaya politik patronclient cukup kuat (Koran Jakarta.com, 2012)
Dalam konteks desentralisasi, otonomi daerah dipandang lebih banyak melahirkan korupsi daripada kemajuan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan korupsi era otonomi justru semakin menyebar dan meluas. Salah satunya karena aturan legal formal dan pelembagaan penegakan korupsi di daerah belum komprehensif. Selain itu, kelemahan civil society dan pada saat bersamaan budaya politik patronclient cukup kuat (Koran Jakarta.com, 2012)
Mentalitas birokrasi untuk
menunjang pembangunan harus diubah sehingga pemerintah mampu mengoptimalkan
pengembangan wilayah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Kendala yang
disebabkan oleh mentalitas birokrasi diantaranya terjadinya hubungan kolusi antara
birokrasi sebagai penyedia pelayanan publik dengan pengguna jasa yang
menyebabkan diskriminasi dalam pelayanan (Chalid, 2005). Seyogyanya,
secara hukum pemerintah daerah berperan dalam penanggulangan masalah sosial,
bukan malah mensintesis masalah baru dengan adegan-adegan kriminalitas,
korupsi, yang mencekik rakyat.
Persoalan
lain yang kini dihadapi kepala daerah menyangkut efektifitas ‘governability’ Kepala Daerah yakni
kemampuan dan kapasitas untuk memimpin perencanaan, pengendalian dan implementasi
kebijakan publik yang responsif terhadap dinamika pembangunan daerah serta
perkembangan sosial, ekonomi dan politik baik dalam skala nasional maupun
lokal. Kepala daerah seringkali dihadapkan pada kendala bukan saja
permasalahan sumberdaya strategis dalam implementasi kebijakan publik, akan
tetapi juga seringkali dihadang oleh keterbatasan ruang hukum yang memadai
untuk mengambil diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sebagai akibatnya, maka berbagai
inovasi yang dapat dikembangkan oleh Kepala Daerah tidak berjalan, ‘the best practice of governability’
terhalang, dan lebih parah lagi Kepala Daerah dapat menjadi korban
kriminalisasi kebijakan yang meliputi ‘peradilan opini publik’ maupun proses
peradilan tindak pidana korupsi. Peristiwa kriminalisasi ini berdampak negatif
tidak hanya secara personal terhadap Kepala Daerah dan keluarganya , akan
tetapi juga lebih jauh berpengaruh terhadap meluasnya ketidakpercayaan publik
(Noor, 2012).
V.
KINERJA
PEMERINTAH DALAM MENGGULINGKAN KORUPSI
Upaya pemerintah
dalam mencari jalan memberantas korupsi di Indonesia telah dimulai sejak zaman
era Soekarno hingga SBY. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Pusat Kajian
Adminitrasi Internasional Lembaga Adminitrasi Negara Republik Indonesia
memandang perlu untuk melakukan kajian lebih jauh tentang strategi penanganan
korupsi di negara-negara Asia Pasifik, sebagai bahan masukkan untuk memperkuat
(revitalize) penanganan korupsi yang
diterapkan di Indonesia.
Beberapa
gebrakan dan upaya untuk terus meningkatkan pemberantasan korupsi telah
dilakukan. Berbagai kelembagaan antikorupsi telah lahir. Mulai dari dibentuknya
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pada tahun 1999
berdasarkan UU NO. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan pemerintah yang bersih
dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terakhir, lahirnya lembaga independen
khusus yang menangani pemberantasan tindak pidana korupsi untuk melakukan
penyidikan terhadap praktek tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
pada 29 Desember 2003.
Dasar pembentukan KPK adalah
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Komisi pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TPK) secara profesional, intensif, dan berkesinambungan untuk
mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan pancasila dan
UUD Tahun 1945. Lembaga-lembaga sejenis juga didirikan seperti Komisi Omdubsman, Pusat Pelaporan Analisis dan
Transaksi Keuangan (PPAK), Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Timtas Tipikor), dan Komisi Kejaksaan. Pembentukan lembaga ini diharapkan
dapat memperkecil peluang terjadinya korupsi. Sejak lahirnya KPK masyarakat
pun mulai merasa terancam untuk
melakukan korupsi secara “blak-blakan”.
Maka rencana pelaksanaan korupsi semakin halus dan licin, ibarat penelusuran
kasus ini adalah “bak mengambil belut di
lumpur hitam” (Suwarno, 2012).
Persoalan pembinaan
integritas dan keteladanan tetap memainkan peran yang paling menentukan. Selain
itu, mengingat bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi membutuhkan
sebuah lembaga kredibel, eksistensi semacam KPK mutlak. Lembaga semacam ini
patut diberi wewenang yang lebih besar, akses administrasi, dan intelijen yang
memadai. KPK harus memiliki jaringan yang kuat hingga ke pelosok daerah dan
harus mandiri secara politis dan finansial.
VI.
REPARASI DAN KONSTRUKSI NILAI-NILAI SPIRITUAL
Sangat disayangkan, otonomi daerah
yang diharapkan mampu menjadi jembatan bagi terwujudnya desentralisasi
pembangunan justru sebaliknya, desentralisasi menjadi peluang untuk terjadinya korupsi di daerah di
Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya jumlah kasus korupsi yang
melibatkan hingga 240 kepala daerah di Indonesia (regional.kompasiana.com, 2012).
Semua ini tidak terlepas dari kehadiran APKASI yang mulai mencuar ke permukaan
kancah pemerintahan. Sekalipun APKASI
diagung-agungkan dapat menjadi fasilitator maupun mediator perbaikan
hubungan daerah dengan pusat. Ini semua
akan menjadi hambar jika kepercayaan publik terhadap pemerintah telah
tergerus karena fakta-fakta korupsi yang terus menjamur di kalangan pemimpin
dan pejabat yang sebagai stakeholder
dalam APKASI itu sendiri.
Cepisan-cepisan
masalah yang menstimulus hadirnya korupsi seperti tekanan ekonomi, budaya,
hambatan struktur sosial, adminitrasi, dan lain sebagainya. Jika dilihat dari
hukum dan lembaga-lembaga terkait pencegahan korupsi dapat dikatakan sudah
sangat massif dan kompleks. Namun pada realitanya semua ini tidak mampu menjadi
perisai untuk menahan derasnya arus korupsi yang melanda di bangsa tercinta
ini.
Sebenarnya hal tersebut bertunas dari
nilai-nilai spiritual yang terkorosi (kebobrokan). Nilai spiritual tidak
terlepas dari sumbernya yaitu Islam itu sendiri. Jika nilai diterjemahkan
kedalam bahasa agama dikonotasi sebagai akhlak atau etika. Islam memberikan
pedoman khusus yang bersumber dari al-Qur’an dan hadist, kedua warisan tersebut
merupakan sumber nilai yang padu, bulat, dan universal. Sistem nilai dan moral
adalah suatu keseluruhan tatanan yang terdiri dari dua atau lebih komponen yang
satu sama lain saling mempengaruhi, bekerja dalam keterpaduan yang solid, serta
berorientasi pada nilai dan moralitas islami.
Sehingga tekanannya terletak pada action
system. Nilai spiritual yang mengacu pada ketauhidan dan akhlak di sampaikan
Allah pada firman-Nya:
“Sungguh,
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan banyak
mengingat Allah.”
(Q.S. al-Ahzab: 21)
Moral
pada hakikatnya adalah suatu kekuatan konstruktif dan positif, merupakan suatu
kekuatan motivator bagi perkembangan yang berkesinambungan dan bagi kesadaran
diri didalam proses perkembangan tersebut. Menurut masyaikh Sayyid Quthb
(1978), moralitas islami bersumber dari karakter manusia (tabi’ah insaniyah) yang senafas dengan nilai agama, yaitu dorongan
batin yang menuntut pembebasan jiwa dari beban batin karena perbuatan dosa dan tindakan keji yang bertentangan dengan
perintah Ilahi. Atas dorongan batin inilah manusia dengan fitrahnya merasa
wajib untuk berbuat kebajikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
Keunggulan
persentasi penganut agama Islam di Indonesia khususnya pada tataran pelaksana
pemerintah belum dapat mengatasi praktek korupsi yang membahana. Bibit ini
berakar dari kurangnya kesadaran dan kemauan untuk mengamalkan ajaran agama
yang benar yang sesuai dengan rambu-rambu syari’at, selayaknya yang diungkapkan
dalam Q.S. al-Jumu’ah [62]: 5. Hal
ini menjadikan umat Islam terjangkit penyakit cinta dunia dan takut mati.
Perlombaan sebagian umat Islam terhadap dunia telah membuat mereka buta dan
tuli sehingga menghalalkan segala cara, padahal Allah SWT telah menegaskan
dalam firman-Nya:
“Dan
janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan
(janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar
kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal
kamu mengetahuinya.”(Q.S.
al-Baqarah: 188)
Pada
prakteknya sekarang, korupsi dianggap sebagai kegiatan yang telah dilegalisasi.
Hal yang paling faktual dan sering tercemar adalah masalah penyuapan.
Rasulullah SAW telah menekankan kepada umatnya untuk mewaspadai masalah
tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Dari Abu
Hurairah ra. Berkata: Rasulullah melaknat
orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam hukum. (H.R. Turmuzi)
Dari Tsubana
berkata, Rasulullah SAW melaknat orang
yang menyuap dan yang menerima suap serta al-raisya yaitu orang yang menjadi
perantara keduanya. (H.R. Ahmad)
Penerimaan-penerimaan pekerjaan kerap
kali menjadikan uang maupun nepotisme (penyuapan) sebagai fasilitas yang paling
menunjang untuk menentukan kelulusan dan menafikkan keahlian serta
profesionalitas. Kejadian-kejadian selayak inilah yang mencuarkan distorsi
dalam tatanan ekonomi, sosial-budaya, politik, dan adminitrasi.
Reparasi/perbaikan nilai-nilai
spiritual, tauhid dan akhlak, yang integral pada strata APKASI secara otomatis
akan menyuplai sikap-sikap mental yang positif (kesholehan sosial). Dengan
seperti ini maka pelaksanaan otonomi daerah mampu menuntut terwujudnya tata
kelola pemerintahan yang baik (good
governance) dan mendorong para kepala daerah untuk mengembangkan
kepemimpinan yang lebih transparan dan akuntabel, serta mengkondisikan berbagai
langkah reformasi birokrasi. Realisasi kebijakan daerah yang memprioritaskan
kesejahteraan rakyat, pada satu sisi telah meningkatkan Index Pembangunan
manusia (IPM) secara rasional, dan pada sisi lain menghasilkan berkembangnya
sektor-sektor pendidikan dan kesehatan serta pengurangan kemiskinan.
Pencitraan
realisasi otonomi daerah yang sehat tersebut akan teramati pada
kebijakan-kebijakan nasional dan pelaksaan tugas negara. Dapat dirincikan hasil
dari perbaikan nilai-nilai spiritual sebagai berikut (Revida, 2003):
1. Timbulnyakesadaran
rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan
kontrol sosial.
2. Tertanamkan
aspirasi nasional yang membangun, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3. Lahirnya
pemimpin, pejabat, atau pun aparatur pemerintah yang memiliki kejujuran,
tanggung jawab, keteladanan, keberanian dalam memberantas dan menindak tegas
praktek korupsi.
4. Terciptanya
penerimaan pegawai negeri yang bersih
atas dasar keahlian dan profesionalitas bukan uang apalagi nepotisme.
5. Tersintesis
sanksi dan kekuatan untuk menindak, membumihanguskan, dan menghukum pelaku
korupsi.
6. Akselerasi
dalam mencapai cita-cita luhur bangsa.
Selayaknya
kita ketahui, para anggota APKASI yakni seluruh kabupaten di seluruh Indonesia
adalah manifestasi dari wajah Republik Indonesia yang sesungguhnya. Penanaman, pembinaan, dan pengembanan iman dan
tauhid serta akhlaqul karimah pada tatanan APKASI sangat berefek pada
akselerasi dalam pencapaian cita-cita
luhur bangsa. Karena pada hakikanya, ketahanan mental spiritual ke dalam diri
manusia memiliki urgensi yang mendalam untuk menghadapi dan menumpaskan mata
rantai korupsi.
Hal-hal
yang terangkup dalam nilai-nilai spiritual dapat dilakukan dengan cara yang
beragam. Langkah yang paling utama untuk menginstal nilai-nilai spiritual
tersebut haruslah dibangun mulai dari lingkungan keluarga. Setelah itu dapat
melalui pendidikan Islam yang komprehensif dan masif. Bagi aparatur
pemerintahan, pendidikan yang berkaitan dengan fikih antikorupsi sangatlah dianjurkan
bahkan bisa dikatakan “wajib”. Pendidikan ini dapat diteguk dengan membaca
buku-buku sebagai berikut:Membangun
Kesholehan Sosial, Memerangi Korupsi: Geliat Agamawan atas Problem Korupsi di
Indonesia, Korupsi di Negeri Kaum Beragama, Ikhtiar Membangun Fikih Antikorupsi
(Baidowi, 2009).
Mentalitas birokrasi untuk menunjang
pembangunan harus diubah sehingga pemerintah mampu mengoptimalkan pengembangan wilayah
yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Kendala yang disebabkan oleh
mentalitas birokrasi diantaranya. terjadinya hubungan kolusi antara birokrasi
sebagai penyedia pelayanan publik dengan pengguna jasa yang menyebabkan
diskriminasi dalam pelayanan (Chalid, 2005)
Tindakan-tindakan
yang bersifat “operasi mental” dan kesadaran individu tidak lain adalah untuk menciptakan
aparat pemerintah yang berbudi luhur. Terlebih untuk para pemimpin dan pejabat
daerah. Seorang pemimpin sudah semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai
spiritualitas Islam. Oleh karenanya, para aparatur pembangunan kesemuanya perlu
dibangun mentalnya dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran
tasawuf. Tasawuf adalah mensucikan hati daripada sifat-sifat kejiwaan yang
tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat psikologis yang tercela didesak
keluar, dan diisi kedalam jiwa, sifat-sifat psikologis yang terpuji (Rojak,
2009).
Sifat mental “hubbud
dunya” (gila harta), rakus, tamak, “hubbul-jah
war-riyasah” (gila pangkat dan jabatan), diusir keluar, dan diisi dengan
mental “qana’ah” (nerimo, jawa), zuhud (tiada gandrung dunia), ikhlas, sabar, ridha, dan syukur.
Pengahayatan demikian dapat dilatih dengan selalu eling/ingat/dzikir kepada
Allah SWT. Agar dapat selalu menerapkan dzikrullah haruslah melalui latihan
dengan memakai fungsi ganda: 1) mendesak keluar sifat psikis yang buruk, 2)
mengisi ke dalam jiwa, sifat psikis yang terpuji, dan 3) menggerakkan
perbuatan-perbuatan yang terpuji, sesuai dengan getaran jiwa yang terpuji itu
(Rojak, 2009). Jika akhlak seseorang telah diwarnai oleh iman maka peringatan
Allah SWT baik dalam Q.S. al-Anfal
[8]: 27 maupun firman lainnya akan menjadi alat kontrol kalbu untuk mengunci
mati gudang dan ruang korupsi dalam kehidupan. Jika tubuh APKASI yang meliputi
seluruh stakeholder kepemerintahan
daerah dapat menerapkan ini maka proses pemerintah
yang bersih sudah jelas dapat terlaksana.
Sehingga visi APKASI sebagai organisasi kepemerintahan yang berbasis sosial
politik dapat terejawantahkan dan kemanfaatan APKASI dapat mewarnai ruang
lingkup NKRI yang kuat dan bebas korupsi.
VII.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Otonomi
daerah atau sistem desentralisasi adalah sebuah keniscayaan sekaligus amanat
demokrasi. Otonomi daerah adalah wacana yang hangat
dibicarakan dan diperdebatkan karena menyangkut bagaimana upaya negara untuk menyejahterakan
rakyat.
2. Desentralisasi
belum mampu menjawab persoalan pemerataan dan kesejahteraan di daerah. Faktanya,
desentralisasi otonomi daerah yang luas di anggap memberi andil
lahirnya desentralisasi tindakan koruptif yang menyebar ke seluruh
wilayah.
3. APKASI
sebagai asosiasi pemerintahan daerah terbesar di Indonesia yang memainkan peran
penting dalam menyongsong perbaikan otonomi daerah dan mengembalikan
kepercayaan masyarakat terdahap pejabat dan pemimpin pemerintahan.
4. Penanaman,
pembinaan, dan pengembanan iman dan tauhid serta akhlaqul karimah pada
tatanan APKASI sangat berefek pada akselerasi dalam pencapaian cita-cita luhur bangsa Indonesia
dan terwujudnya negara yang bersih korupsi.
Semoga bermanfaat.!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar