Tampilkan postingan dengan label wawasan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wawasan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 November 2017

Internet addiction disorder (IAD)

Pernah mendengar istilah ini Internet addiction disorder (IAD) ?. Hebatnya manuver teknologi bukan hanya menumbuhkan inovasi dalam tatanan kehidupan, namun juga memproduksi sekian sindrom teknologi bagi para pengidapnya.  IAD merujuk pada penggunaan internet secara terus menerus sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari. Terdapat beberapa literasi yang mengungkapkan bahwa kecanduan pada internet dapat mendistorsi hubungan sosial serta kadar withdrawl syndromenya sama dengan kecanduan judi.

Pada editorial 2008 lalu dalam The American Journal if Psychiatry, Jerard J. Block menulis bahwa IAD dicirikan dengan penggunaan yang berlebihan, penarikan diri dan dampak negatif seperti argumentasi serta kelelahan. Penggunaan internet yang tidak sehat juga bisa menyebabkan depresi tingkat akut  (okezone.com).

Kita harus beradaptasi terhadap sirkulasi kehidupan digital dewasa ini. Jangan sampai arus modernitas mengubah karakter baik dari diri itu. Apalagi menimbulkan penyakit psikologis. Na'udzubillah. Gunakan teknologi sewajarnya, sebagai instrumen berkhidmat dalam kebaikan atau untuk ilmu.


Minggu, 17 September 2017

Pengaruh Faktor Sosial terhadap Efektifitas Pembelajaran Siswa

Tidak dapat dielakkan adanya pengaruh sosial terhadap efektifitas pembelajaran siswa di kelas. Beberpa faktor sosial bisa dari lingkungan keluarga, masyarakat, atau sekolah itu sendiri.

Selasa, 22 Agustus 2017

URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER



 Pendidikan karakter dewasa ini bukan saja merupakan hal yang penting bagi lembaga pendidikan, tetapi menjadi kebutuhan yang harus diberikan kepada peserta didik, karena kebutuhan  bangsa ini bukan hanya mengantarkan dan mencetak peserta didik cerdas dalam nalar, tetapi juga harus cerdas dalam moral. Mencetak anak yang berprestasi secara nalar memang tidak mudah, tetapi mencetak anak bermoral jauh lebih sulit dilakukan, apalagi dengan perkembangan teknologi canggih yang seamkin cepat dan pesat, yang tentunya akan berdampak terhadap perkembangan anak.
Pendidikan karakter telah menjadi perhatian banyak pihak, misalnya, pemerintah telah mengagendakan pentingnya pendidikan karakter diterapkan di sekolah-sekolah dan telah menjadi kebijakan nasional yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hampir semua sepakat bahwa krisis moral yang melanda generasi bangsa ini diakibatkan telah melemahnya nilai-nilai moral bangsa dalam kehidupan masyarakat.Hal ini diduga penyebabnya adalah kurang berhasilnya pendidikan yang membina karakter di sekolah.Pendidikan formal dewasa ini lebih dominan mengembangkan aspek kognitif ketimbang aspek moral dan karakter.Oleh karena itu, perlu pendidikan diterapkan di sekolah.Pemikiran ini seolah-olah pendidikan watak atau pendidikan karakter belum pernah dijalankan di sekolah, padahal esensi pendidikan watak atau pendidikan karakter telah ada dan selalu menjadi muatan dalam setiap kurikulum di sekolah. Bahkan sejak dulu pendidikan karakter ini dilabeli dengan nama pendidikan budi pukerti. Hanya memang pendidikan karakter merupakan istilah baru dalam pendidikan atau kurikulum di Indonesia.
Pendidikan karakter sangatlah penting karena karakter akan menunjukkan siapa diri  kita sebenarnya, karakter akan menentukkan bagaimana seseorang membuat keputusan, karakter menentukan sikap, perkataan, dan perbuatan seseorang, sehingga menjadi identitas yang menyatu dan mempersonalisasi terhadap dirinya, sehingga mudah membedakan  dengan identitas yang lainnya. Hal tersebut seperti disampaikan oleh Mufid (2011:447) bahwa karakter membentuk ciri khusus suatu entitas yang menentukan individu tau entitas lain. Kualitas yang menggambarkan suatu karakter bersifat unik, khas, yang mencerminkan pribadi atau entitas dimaksud, yang akan selalu Nampak secara konsisten dalam sikap dan perilaku individu atau entitas dalam menghadapi setiap permasalahan.
Wiratman (2008:264) menyatakan banyak tokoh yang menggarisbawahi [entingnya pendidikan karakter. Seperti mahtma Gandi menyatakan salah satu dosa fatal dari proses pendidikan adalah pendidikan tanpa karakter (education without character). Marthin Luther King menyatakan intelligence plus character that is the goal of the true education (kecerdasan plus karakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). Tidak ketinggalan Theodore Rosevelt berpendapat,to education person in maind and nation morals is to educate a manace to society (mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan  moral adalah ancaman berbahaya pada masyarakat.
Sungguh wajar, Prof.DR.HC.Ir.R.Russeno dalam setiap pidato-pidatonya kerap mengingatkan bangsa Indonesia, khususnya generasi muda, yakni dibutuhkan moralee herbewapening (kesiapsiagaan moral) dalam berprofesi, terutam ahal ini jika dikaitkan dengan kondisi kemajuan ekonomi dan teknologi yang amat sering membawa side effect negarif dan mengganggu moral bangsa (seperti korupsi, pergaulan bebas, narkoba, hingga tingkat kriminalitas). Cara tepat membendung hal-hal negative itu adalah dengan mempersenjatai diri dengan paham-paham dan karakter positif.
Disampi itu Thimas Lickona (1992), memberikan penjelasan mengenai urgensi pendidikan karakter, diantaranya: (1) Banyak generasi muda saling melukai Karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi  peradaban yang paling utama, (3) peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak abak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orang tua, masyarakat, atau lembaga keagmaan, (4) adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggung jawab, (5) demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, oleh, dan untuk masyarakat, (6) tidak ada suatu pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan nilai.Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus jadi guru yang baik, dan (8) pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performance akademik yang meningkat.
Dari beberapa pendapat menganai pentingnya pendidikan karakter di atas, sejatinya memberikan motivasi serta pencerahan bago pemerintah, para pendidik, insan akademik serta stakeholder pendidikan pada umumnya untuk segera sadar dan bangkit berupaya mencari solusi agar pendidikan karakter ini dapat diimplentasikan dengan segera di sekolah/madrasah dan juga di rumah. Bangsa ini haru segera diselamatkan dengan mencetak sumber daya manusia yang berkarakter unggul sesuai dengan nilai-nilai agama, budaya, dan falsafal bangsa.

PENDIDIDIKAN KARAKTER



Pendidikan karakter bersal dari dua akar kata yakni pendidikan dan karakter. Untuk itu, akan diuraikan terlebih dahulu defenisi karakter dari berbabagi sudut pandang para ahli. Secara etimologis, kata karakter berarti tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak ataubudi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain (Poerwadarminta, 1996:521).Dalam bahasa inggris, karakter (character) diberi arti a distinctive differential mark, tanda atau sifat yang membedakan seseorang dengan orang lain (Martin H.Manser, 1995:318).
Para memiliki defenisi tersendiri terhadap pengertian karakter jika ditilik secara terminologis. Menurut Doni Koesoema (2007:80) menjelaskan bahwa  sering diasosiasikan karakter dengan apa yang disebut temperamen yang memberinya defenisi yang menentukan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Karakter juga dipahami dari sudut behavior yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki individu sejak lahir. Istilah karakter tersebut sama dengan kepribadian. Maka kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakterristik atau gaya atau sifat khas dari seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya, keluarga  pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.
Dalam kasus sosiologi, istilah karakter menurut Sunarta (2011:151) adalah ciri khusus dari struktur dasar kepribadian seseorang (watak). Sedangkan watak yang diperoleh (character acquired) merupakan atribut seseorang yang perkembangannya berasal dari sumber lain di luar diirinya oleh karena berhubungan dengan lingkungan alam atau social. Karakter juga dapat diartikan personality bagi individu, dan karakteristik (characteristic) bagi kelompok atau kebudayaan yang menjadi identitasnya. Kita juga mengenal istilah characterization yaitu proses pengambilan ciri-ciri tertentu melalui warisan atau karena lingkungan atau karena kombinasi keduanya.
Dilain pihak, Endang Sumantri (2011:6) menyatakan bahwa, kata karakter dapat dilacak dari kata latin kharakter, kharassein dan kharax, yang maknanya tools for making, to engrave, dan pointed stake. Kata ini mulai banyak digunakan kembali dalam bahasa Prancis “caracter”pada abad ke-14 dan kemudian masuk ke dalam bahasa Inggris menjadi “character” sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia ‘karakter’. Sementara itu, Wyne (2007:242) menjelaskan bahwa kata karakter  berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh karena itu, orang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek.Sementara itu.Orang yang berperilaku sebaliknya dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia.Jadi, istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bias disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Lebih jauh Alport,tokoh psiklogi Amerika yang mengembangkan  teori kepribadian, mendefinisikan karakter sebagai penentu bahwa seseorang sebagai pribadi  (character is personality evaluated). Menurut Freud, character  isstriving system wich underly behavior. Menurut Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistim, yang melandasi pemikiraan sikap dan perilaku yang ditampilkan. Sementara itu, Ahmad Tafsir menganggap bahwa karakter lebih dekat atau sama dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia, sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Dari konsep karakter ini muncul istilah pendidikan karakter (character education). Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1990-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Characterter Education kemudian disusul bukunya Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Respinbility (1991). Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter (Koesima, 2007:16). Sedangkan di Indonesia sendiri, istilah pendidikan karakter mulai diperkanalkan sekitar tahun 2005-an. Hal itu secara implisit ditegaskan dalan Rencana jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan berada berdasarkan falsafal Pancasila.”
Dalam Rencana Aksi Nasional Pendidika Karakter (2010) disebutkan bahwa pendidikan karakter adalah “pendidikan nilai, pendidikan budi pukerti, pendidikan moral, dan pendidikan akhlak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.”
Pendidikan karakter bukan sekar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah,lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik dan buruk, sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotorik). Dengan kata lain, pendidikan karakter harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetatpi juga merasakan dengan baik (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan dan dilakukan (Syarbini 2012:17)
Menurut Ratna Megawangi (2004:95), pendidika karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mepraktkkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Defenisi yang lain dikemukakan oleh Fakry Gaffar (2010:1), pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang, sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.
Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan pendidikan karakter adalah bukan jenis mata pelajaran seperti Pendidikan Agama Islam (PAI), Pendidikan Moral Pancasila (PMP) atau lainnya, tapi merupakan proses internalisasi atau penanaman nilai-nilai positif kepada peserta didik agar mereka memiliki karakter yang baik (good character) sesuai dengan nilai-nilai yang dirujuk, baik dari agama, budya, maupun falsafah bangsa(Syarbini 2012:17).

Rabu, 05 April 2017

Urgensi Pendidikan Karakter



 Pendidikan karakter dewasa ini bukan saja merupakan hal yang penting bagi lembaga pendidikan, tetapi menjadi kebutuhan yang harus diberikan kepada peserta didik, karena kebutuhan  bangsa ini bukan hanya mengantarkan dan mencetak peserta didik cerdas dalam nalar, tetapi juga harus cerdas dalam moral. Mencetak anak yang berprestasi secara nalar memang tidak mudah, tetapi mencetak anak bermoral jauh lebih sulit dilakukan, apalagi dengan perkembangan teknologi canggih yang seamkin cepat dan pesat, yang tentunya akan berdampak terhadap perkembangan anak.
Pendidikan karakter telah menjadi perhatian banyak pihak, misalnya, pemerintah telah mengagendakan pentingnya pendidikan karakter diterapkan di sekolah-sekolah dan telah menjadi kebijakan nasional yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hampir semua sepakat bahwa krisis moral yang melanda generasi bangsa ini diakibatkan telah melemahnya nilai-nilai moral bangsa dalam kehidupan masyarakat. Hal ini diduga penyebabnya adalah kurang berhasilnya pendidikan yang membina karakter di sekolah. Pendidikan formal dewasa ini lebih dominan mengembangkan aspek kognitif ketimbang aspek moral dan karakter. Oleh karena itu, perlu pendidikan diterapkan di sekolah. Pemikiran ini seolah-olah pendidikan watak atau pendidikan karakter belum pernah dijalankan di sekolah, padahal esensi pendidikan watak atau pendidikan karakter telah ada dan selalu menjadi muatan dalam setiap kurikulum di sekolah. Bahkan sejak dulu pendidikan karakter ini dilabeli dengan nama pendidikan budi pukerti. Hanya memang pendidikan karakter merupakan istilah baru dalam pendidikan atau kurikulum di Indonesia.
Pendidikan karakter sangatlah penting karena karakter akan menunjukkan siapa diri  kita sebenarnya, karakter akan menentukkan bagaimana seseorang membuat keputusan, karakter menentukan sikap, perkataan, dan perbuatan seseorang, sehingga menjadi identitas yang menyatu dan mempersonalisasi terhadap dirinya, sehingga mudah membedakan  dengan identitas yang lainnya. Hal tersebut seperti disampaikan oleh Mufid (2011:447) bahwa karakter membentuk ciri khusus suatu entitas yang menentukan individu tau entitas lain. Kualitas yang menggambarkan suatu karakter bersifat unik, khas, yang mencerminkan pribadi atau entitas dimaksud, yang akan selalu Nampak secara konsisten dalam sikap dan perilaku individu atau entitas dalam menghadapi setiap permasalahan.
Wiratman (2008:264) menyatakan banyak tokoh yang menggarisbawahi [entingnya pendidikan karakter. Seperti mahtma Gandi menyatakan salah satu dosa fatal dari proses pendidikan adalah pendidikan tanpa karakter (education without character). Marthin Luther King menyatakan intelligence plus character that is the goal of the true education (kecerdasan plus karakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). Tidak ketinggalan Theodore Rosevelt berpendapat,to education person in maind and nation morals is to educate a manace to society (mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan  moral adalah ancaman berbahaya pada masyarakat.
Sungguh wajar, Prof.DR.HC.Ir.R.Russeno dalam setiap pidato-pidatonya kerap mengingatkan bangsa Indonesia, khususnya generasi muda, yakni dibutuhkan moralee herbewapening (kesiapsiagaan moral) dalam berprofesi, terutam ahal ini jika dikaitkan dengan kondisi kemajuan ekonomi dan teknologi yang amat sering membawa side effect negarif dan mengganggu moral bangsa (seperti korupsi, pergaulan bebas, narkoba, hingga tingkat kriminalitas). Cara tepat membendung hal-hal negative itu adalah dengan mempersenjatai diri dengan paham-paham dan karakter positif.
Disampi itu Thimas Lickona (1992), memberikan penjelasan mengenai urgensi pendidikan karakter, diantaranya: (1) Banyak generasi muda saling melukai Karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi  peradaban yang paling utama, (3) peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak abak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orang tua, masyarakat, atau lembaga keagmaan, (4) adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggung jawab, (5) demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, oleh, dan untuk masyarakat, (6) tidak ada suatu pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus jadi guru yang baik, dan (8) pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performance akademik yang meningkat.
Dari beberapa pendapat menganai pentingnya pendidikan karakter di atas, sejatinya memberikan motivasi serta pencerahan bago pemerintah, para pendidik, insan akademik serta stakeholder pendidikan pada umumnya untuk segera sadar dan bangkit berupaya mencari solusi agar pendidikan karakter ini dapat diimplentasikan dengan segera di sekolah/madrasah dan juga di rumah. Bangsa ini haru segera diselamatkan dengan mencetak sumber daya manusia yang berkarakter unggul sesuai dengan nilai-nilai agama, budaya, dan falsafal bangsa.


Disari dari: Syarbini, Amirullah.2012. Buku Pintar Pendidikan karakter. as@-prima pustaka: Jakarta

PENDIDIKAN BERBASIS INTEGRASI SQ, IQ, DAN EQ UNTUK OPTIMALISASI PERAN PEMUDA INDONESIA DI KACAH KOMPETISI GLOBAL



Oleh: Sulastriya Ningsi,S.Si (Penulis Buku “Perjalanan untuk Sebuah Mimpi”)

Tahun 2045, Indonesia menduduki seratus tahun kemerdekaannya. Hal tersebut menjadi momentum yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Menyadari akan cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa dan negara besar, kuat, disegani dan dihormati keberadaannya di sumbu negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia. Setelah 71 tahun Indonesia merdeka pencapaian cita-cita ini belum sepenuhnya dipenuhi. Faktanya, Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan besar dalam memasuki era tatanan dunia baru bernama globalisasi dana pasar bebas, dimana tantangan terbesar negeri ini ialah rendahnya daya saing yang slah satunya tercermin dari tingkat kemiskinan dan kesejahteraan yang masih sangat rendah, hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk miskin yang terdata pada Biro Pusat Statistik pada bulan Maret 2016 di Indonesia mencapai 28,01 juta jiwa. Jelas perkara ini berkesepadanan pada salah satu  aset besar bangsa ini yakni, para Pemuda.
 Bangsa yang besar,kuat, disegani, dan dihormati harus menyimpan generasi masa depan yang berkualitas. Berkualitas dari beberapa aspek yakni kualitas iman, akhlak, intektual, keterampilan abad 21. Sehingga hadirlah dari bangsa ini, pemuda yang beriman, berkarakter, berprestasi, dan berkarya demi menyongsong Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat dan berdaya saing global di kancah dunia.
Salah satu peran kritis para pemuda adalah sebagai akselerasi pembangunan bangsa di kancah kompetisi global ini. Ikrar Sumpah Pemuda telah dikumandangkan sejak tanggal 28 Oktober 1928 lalu seolah membangunkan jiwa-jiwa yang teritidur. “Pemuda adalah tulang punggung negara”, kata-kata inilah yang biasanya sering diperdengarkan pada pidato-pidato dalam rangka merayakan hari sumpah pemuda. Namun, kontribusi nyata, karya, dan pergerakan aksi para pemuda Indonesia saat ini mengalami tantangan untuk dapat mewujudkan harapan bangsa tercinta ini.
Jika ditelaah beberapa variable tantangan untuk mencapai cita-cita luhur negri ini adalah arus perkembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan kondisi virus moral yang menjangkiti para pemuda. Disisi perkembangan IPTEK tampak terjadi percepatan arus globalisasi yang ketat. Era digital telah menciptakan dan melahirkan kemajuan yang sangat Indiscribible (tidak terdeskripsi), baik kepesatan dalam sains maupun teknologi. Modernitas era digital di awal milenium ketiga ini telah berkolaborasi dengan nuansa globalisasi yang kental instalisasi westernitas (budaya barat).  Gejala tersebut menjadi problematika hangat bangsa Indonesia yang menabrak pada seantaro strata publik dewasa ini. Realita demikian menimbulkan kekhawatiran akan mendistorsi nilai luhur bangsa yang berasaskan pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Disisi lain, betapa memilukan menyaksikan tayangan kondisi moral anak bangsa indonesia sekarang. Kian merebaknya kasus-kasus degradasi moral, terlebih hal ini menimpa para pemuda harapan Indonesia, yaitu kaum yang kelak dinantikan menjadi estafet kebanggaan bangsa ini. Generasi  yang tentunya tidak hanya memiliki good intelektual  (IQ), tetapi juga mengutamakan good spiritual (SQ) dan good emotional (EQ).  Sebuah laporan penelitian di beberapa kota besar (Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya) mendata bahwa perilaku seksual remaja tingkat SMP dan SMU (antara usia 12 tahun sampai 18 tahun) sebagai berikut: 93,7% ciuman, petting, dan oral sex, 62,7 %  remaja tingkat smp tidak perawan, 21,2% remaja tingkat SMU pernah aborsi, 97 % pernah nonton film porno, 52% melakukan sex pra-nikah.
 Kejadian ini mengindikasikan bahwa pemuda saat ini belum memiliki sense of value (kepekaan terhadap nilai-nilai moral). Bentuk dekadansi moral saat ini, tidak hanya sebatas perilaku seksual, namun telah merambah ketingkat yang lebih kompleks. Menggejalanya kenakalan remaja, bisa terekam dalam berbagai aktifitas negatif seperti: merokok, minuman keras, narkoba, perjudian, tawuran, sampai pada ketidakjujuran dalam pelaksaan ujian. Segala aktivitas negatif ini jelas bersifat destruktif dan mencederai masa depan anak bangsa. Pada akhirnya, realitas semacam ini secara perlahan membuat  bangsa ini  semakin merosot dan terpuruk. Padahal, ada lima kelemahan yang harus dijauhi bagi generasi kita, seperti yang diungkapkan Prof. B.J. Habibi yakni lemah harta, lemah fisik, lemah ilmu, lemah semangat hidup dan yang lebih ditakutkan adalah lemah moral (akhlak).
Adapun muara dari dekadansi  moral para pemuda Indonesia adalah minimnya pendidikan moral dan pendidikan tauhid yang berkualitas. Moral (akhlak) dan ketauhidan (iman) merupakan dua hal yang harus terintegrasi satu sama lain secara proposional. Tentunya, integrasi tersebut belum sempurna jika tidak diikuti oleh kapasitas intelektual yang optimal. Jika seseorang hanya memiliki domain intelektual  untuk menerima serta mengolah ilmu pengetahuan dan teknologi namun tidak ditemalikan bersama domain akhlak dan iman maka akan sangat rentan untuk bertindak yang membahayakan diri maupun orang lain. Domain akhlak dan iman berfungsi sebagai  power pengontrol diri seseorang dari segenap tindakan yang diluar nilai-nilai agama dan norma-norma masyarakat.
Generasi menempati dimensi urgentif dalam suatu peradaban dunia.  Ditilik dari segenap sejarah kebangkitan bangsa-bangsa terbukti bahwa pemuda atau generasi muda selalu memiliki peran yang masif dan strategis. Sebab, pemuda memiliki potensi akbar guna mengakselerasi inovasi pembangunan pada suatu bangsa yang sebelumnya  telah diretas para pendahulunya. Idealisme tersebut sejalan dengan orasi Bung Karno, presiden pertama republik ini, dengan lantang pernah berkata, “Berikan aku 1000 orangtua, niscaya aku cabut semeru dari akarnya. Berikan aku 10 orang pemuda, niscaya akan ku guncangkan dunia.”
Untuk menghadapi abad ke 21 dan era globalisasi diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas.  Manusia berkualitas dalam undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah “Manusia Indonesia Seutuhnya”. Adapun “Manusia Indonesia Seutuhnya” dalam undang-undang pendidikan nasional Indonesia adalah: “Manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pukerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantapn dan mandiri,  serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Menjadi yang unggul dan berkualitas dibandingkan dengan yang lainnya, tentu bukan peristiwa kebetulan melainkan hasil dari proses yang diciptakan. Oleh karena itu, generasi unggul dan berkualitas harus diciptakan dan salah satu langkahnya adalah melalui pendidikan, yakni pendidikan yang tidak hanya menekankan pada sisi kualitas good intelektual  (IQ), tetapi juga mengutamakan kualitas good spiritual (SQ) dan good emotional (EQ). Para pemuda Indonesia merupakan harapan bangsa untuk dapat menjadi generasi unggul, sebagai ujung tobak peradaban bangsa. Para pemuda  adalah nafas penyambung bangsa, yang akan meneruskan amanah-amanah negara berikutnya. Optimisme dan upaya kuat seluruh pemuda dengan semangat nasionalisme dan keimanan dalam mewujudkan cita-cita harus tetap dilakukan secara sistematik, sistemik dan berkelanjutan, meskipun dihadapkan pada sekelumit tantangan. Dari pada itu, mengantisipasi tantangan di era globalisasi saat ini sangat butuh penguatan komitmen dengan menjadikan pendidikan sebagai sarana utama untuk menuju terwujudnya bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan berdaya saing tinggi.
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam akselerasi pembangunan nasional menuju bangsa yang berdaya saing global. Tidak dapat disangkal, bahwa melalui pendidikan bangsa kita dapat menjadi lebih baik dan dapat mengejar ketertinggalan dari bangsa lain, baik di bidang sains dan teknologi maupun ekonomi.  Peran pendidikan pun juga  penting dalam membangun peradaban bangsa yang berdasarkan atas jati diri dan karakter bangsa. Hal ini selaras dengan amanat UU NO 20/2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Yuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab“.  Semakin terang bahwa rumusan tujuan pendidikan tidak hanya sebatas memaksimalkan kecerdasan intelektual saja (Intelegence Quoetient) melainkan mengoptimalkan kecerdasan emosional (Emotional Quoetient), dan kecerdasan spiritual (Spiritual  Quotient).
Selain itu, dari penjelasan Undang-undang Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003 juga terefleksi secara makna bahwa orientasi pendidikan sebaiknya melakukan integrasi domain Spritual Quotient (SQ), Emotional Quotient (EQ), dan Intelectual Quotient (IQ) dalam sistem pendidikan, pembelajaran maupun kurikulum. Kecerdasan  Spiritual atau Spritual Quotient (SQ)  adalah  kecerdasan yang dioentingkan dalam  menghadapi  persoalan  makna  atau  value, yaitu kecerdasan inti dalam menempatkan perilaku dan hidup pada konteks makna yang lebih  luas  dan  lebih  kaya,  kecerdasan  untuk  menilai  bahwa  tindakan  atau  jalan  hidup seseorang  lebih  bermakna  dibandingkan  dengan  yang  lain.  SQ  adalah landasan  yang begitu diperlukan  untuk  memfungsikan  IQ  dan  EQ  secara  efektif,  bahkan kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi manusia yang semestinya dioptimalkan.
Sepeetinya, problematika yang tengah menghantam di era globalisai saat ini, terkait penempatan nilai-nilai spiritual di sumbu dinamika peradaban yang terus terjadi dalam pengembangan khazanah intelektual. Pergeseran nilai-nilai spiritual dalam eksplorasi ilmu pengetahuan mensintesis paham materialisme, sekularisme dan hedonisme yang mempertuhankan kemampuan akal dalam ilmu dan teknologi. Permasalahan ini sangat erat kaitannya dengan rencangan, sistem dan program pendidikan yang terimplementasi di Indonesia. Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia untuk membantu, melatih, dan mengarahkan peserta didik melalui transmisi pengetahuan, pengalaman, intelektual yang idelanya dapat mengerucut pada injeksi kemurnian akidah. Untuk itu, dibutuhkan pendidikan yang dapat membentuk generasi unggul dalam mencetak pemuda berkualitas agar dapat menyongsong persaingan global. Gambaran pendidikan tersebut adalah pendidikan yang mengintegrasikan secara seimbang domain SQ, EQ, dan IQ dalam rencana, sistem, dan program pendidikan. Sehingga dilahirkan pemuda unggul harapan bangsa yang memiliki kriteria sebagai berikut:
Pertama, memiliki SQ yang berkualitas. Maksudnya, beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan,ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Pemuda-pemuda unggul Indonesia haruslah memiliki pondasi SQ yang kokoh untuk membawa bangsa ini lebih cerah, damai dan disegani.
Kedua, memiliki EQ yang berkualitas. Maksudnya, beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiativitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya secara baik dan dalam koridor nilai dan norma yang berlaku di agama dan masyarakat. Serta, beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang (i) membina dan memupuk hubungan timbal balik secara positif, (ii) demokratis, (iii) empatik dan simpatik, (iv) menjunjung tinggi hak asasi manusia, (v) ceria dan percaya diri, (vi) menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara, (vii) berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara. Dalam berinteraksi dengan lingkungannya senantiasa memiliki ide-ide inovatif dan brilian untuk diterapkan. Ilmu yang dimilikinya membuat ia mampu berpikir strategis merencanakan masa depannya. Pemuda yang mampu berpikir visioner atau mau berpikir jauh ke arah masa depan. Menyesuaikan diri dengan keterampilan abad 21 yakni keterampilan berfikir kritis, kreatif, inovatif, solutif, keterampilan berkomunikasi, berkolaborasi, dan refleksi diri.
Ketiga, memiliki IQ yang berkualitas. Maksudnya, beraktualisasi diri melalui olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi; aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif, inovatif dan imajinatif. Cerdas kinestetik,yaitu beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insan sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil dan trengginas; serta aktualisasi insan adiguna. Oleh karena itu perbaikan dan pembangunan sektor pendidikan di negeri ini harus memperhatikan agar sumber daya manusia kelak menjadi generasi yang profesional, sesuai bidang keilmuannya dan memiliki kemampuan dan keterampilan untuk  membawa bangsa dan negara ini ke arah peradaban sains dan teknologi mutakhir dunia. Diharapkan dengan menyadari keadaan Indonesia yang sedang berada dalam keterpurukan saat ini, para pemudanya tergerak menjadi pemikir kritis, kreatif dan bertindak solutif terhadap permasalahan negara saat ini. Sehingga setiap detik dalam aktifitas kehidupannya menjadi sesuatu hal yang bermanfaat.
Pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam kehidupan setiap individu, yang mempengaruhi perkembangan fisik, mental, emosional, sosial, dan etik seorang peserta didik. Dengan kata lain pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam mempengaruhi seluruh aspek kepribadian dan kehidupan individu secara umum dan sangat mendasar. Untuk itu, pengembangan sekolah-sekolah yang berbasis integrasi secara seimbang domain SQ, EQ, dan IQ dalam sistem pendidikan, pembelajaran, maupun kurikulum menjadi solusi terbaik untuk menelurkan generasi unggul sebagai estafet peradaban bangsa Indonesia menuju bangsa dan negara yang mampu berkompetesi dalam persaingan global.