Beberapa
dari kita yang merasa bahwa dirinya berada dalam kesendirian. Mengunyah
kesunyian dalam hati yang tak bergeming. Menimang-nimang kehampaan yang merayap
entah kemana. Dimana kita benar-benar merasa sendiri menjalani hari. Tak pelak,
kadang hal itu membingungkannya, membuatnya jengah, adakalanya merasa tertekan,
hingga berpemikiran skeptis kalau kalau memang dirinya boleh jadi diciptakan
untuk ‘sendiri’. Hembusan nafas pun melemah sekali-kali, menciptakan suasana ngeri.
Kesendirian
baginya mungkin seperti kedamaian yang menyesakkan sekaligus meresahkan. Lantas
ia bertanya kapan kedamaiannya menjadi luas dan lega. Di sini sepertinya ia
sedang lupa bahwa ia tidak pernah sendiri dan kelapangan akan dicurahkan bagi
segenap hati yang banyak mengingat-Nya. Allah memang menyelipkan resah agar
kita mampu menggiringnya pada do’a dan pasrah yang akhirnya akan indah. Atau
mungkin kita memang tak lagi bersunguh-sungguh menujukan hati pada Allah. Maka
keresahan lah yang mendayung sampan hati kita pada –Nya. Sebab, barangsiapa memfokuskan
hatinya kepada Rabbnya maka ia akan tenang dan nyaman, dan barangsiapa
melepaskan hatinya kepada manusia maka ia akan goncang dan sangat resah.
Mungkin
ada pula beberapa dari kita yang sebenarnya mencari-cari dirinya sendiri di
sebentang keramaian, mencari ketinggian demografi untuk tahu dimana dan seperti
apa posisinya di keramaian. Kemudain Ia beringsut menghampiri rumah kosong yang
gulita dan temaramnya telah habis dimakan gelap, ia berdiam di suatu ruang
tepat di tengah ramainya lalu-lalang orang lain. Bersembunyi dalam variabel
yang ia sebut sebagai aktualisasi diri.
Hingga lelah ia menatap keramaian dalam kesunyian yang ia ciptakan sendiri. lalu menangis dalam sunyi. Tak setiap hari,
sebab terlampau dari batasnya akan menyakitkan diri sendiri, ia tidak
suka mengumbarnya. Tapi sekalinya melinangkan air mata, pertanda sesuatu yang
ia tangisi adalah hal yang teramat berharga. Sekiranya orang-orang diluar sana
tahu, garis-garis bekas linangan air matanya selama ini telah mengerak menjadi
bongkahan ketegaran. Akhirnya suatu waktu, linangan air mata itu mengalir bukan
karena ia lemah, melainkan itulah caranya untuk bertahan menghadapi
semuanya. Cara baginya untuk membangun kekuatan jiwa. Selagi air mata itu
bukan penyesalan melainkan keluluhan hati atas ketetapan Allah.
Dan mungkin juga ada beberapa dari kita yang menyadari betapa
pentingnya menyendiri. Ia dapat leluasa berenang di samudra ketenangan,
menenggelamkan diri untuk mencari makna kehidupan dan tujuan hidup yang ingin
dituju. Ia jadi menghangat dalam pilihannya sendiri, lebih menghargai dan bisa
menyentuh relung terdalam untuk mencari sebuah arti. Ombak perjuangannya telah
membuatnya lelah lalu dibentuknya jeda perjalanan lantas berlabuh di sebuah
pulau, menyendiri. Disana Ia diperkenalkan Allah dengan istiqamah. Ia tersenyum
dan tenang karena telah berhasil berteman dengan dirinya sendiri, yang selama
ini terlelap dalam tarian kepalsuan.
Bisa jadi ia memang butuh untuk bersendiri. Menikmati masa-masa yang cuma ada
dia dan Allahnya.
Tak ada kegagalan yang paling ditakutkan,
selain kegagalan memahami kesepian diri sendiri. Kita atau pun ia
mungkin bagian dari puzel-puzel paragraf di atas.
Kutipan buku "Perjalanan untuk Sebuah Mimpi"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar