Kita yang merasa, perjalanan hari menuju senja itu masih entah.
Masing-masing dari kita akan melampaui lintasan sendiri dengan jarak dan
rintang. Entah siapa dari kita yang tengah berlari. Melaju kencang untuk
merengkuh titik tepi. Melaju berlomba bersama waktu dan para penyanjung agar
kepastian rasa tak lagi utopia. Sayangnya, aku kehabisan energi. Mungkin butuh
istirahat bersama do’a-do’a. Ikhtiar ini cukup menyita banyak hal. Maka Sepertinya, tidak apa-apa kita harus berpisah
jalan dulu, biar saja hari ini kita harus bertahan di jalur masing-masing.
Bukankah esok lusa kita akan bersua di ujung yang sama? Bukankah esok lusa kita
akan bersatu di tujuan yang sama?. Mudah-mudahkan begitu.
Kita yang merasa, perjalanan hari menuju senja itu masih entah.
Terlalu banyak arah membuat hati bimbang ingin menuju kemana. Jelas memang
jalan untuk menuju yang ditakdirkan itu hanya ada satu jalan. Meski pada
awalnya telihat lurus tanpa hambatan, kenyataannya penuh aral dan onak yang
merintang. Kita harus tetap menuju kesana, sebab titik itu adalah akhir yang
tak akan ada lagi persimpangan jalan setelahnya. Kita akan menunggu hingga satu
titik yang disetujui takdir, di tempat yang disebut masa depan. Semoga
perencanaan satu sama lain itu lebih sempurna dengan campur tangan Tuhan.
Kita yang merasa, perjalanan hari menuju senja itu masih entah.
Berdiam diantara jawaban yang tidak benar. Memang inilah ujian. Cobaan bagi
para perindu. Harus menunggu dalam ujian yang bertubi-tubi hingga mencapai apa
yang dirindukan. Terlalu lama kita berjalan saling berpunggungan. Asumsi
membelai asumsi, tak pernah ada ruang untuk hati bicara arti. Dengan
menyerahkan hati pada Ilahi
mudah-mudahakan atas kasih sayang-Nya semua menjadi lebih membaik
kembali. Sebaiknya kita tak perlu terburu-buru. Jika Allah mengiyakan hati kita, tak lagi ada
peluru penyangkalan yang memburu. Mudah-mudahan.
Kita yang merasa, perjalanan hari menuju senja itu masih entah. Kita yang berlari
namun terus dibatasi durasi waktu dan garis finish yang enggan
menampakkan pita kuningnya. Sedang orang lain yang berlari telah disambut penuh
senyum di garis finish. Semua orang, semua penonton, bahkan angin pun
tahu siapa pemenangnya. Hanya saja kita tidak peduli, kita akan terus berlari
meskipun tak ada apapun di garis finish. Karena Tuhan lah yang akan
memberi hadiah dari proses kita. Kita akan tetap berjuang, kan ? Tentu saja berjuang
untuk seseorang yang juga tengah memperjuangkan kita. Yakin saja kita akan menang dengan semua do’a yang dipanjatkan
pada Allah di sepertiga malam. Akhirnya, kita lebih damai.
Kita yang merasa, perjalanan hari menuju senja itu masih entah.
Terbata-bata mencari makna. Memandang jalan yang akan dilalui kedepan.
Perjalanan yang kelak pasti diguyuri sinar mentari, jelas menguras banyak
peluh, menyita banyak waktu, mencurahkan energi yang lebih. Kita sebenarnya
hanya menuju perjalanan yang seperti itu. Bersama orang yang tepat tentu semua
perjalanan panjang itu menjadi nikmat. Sebab akan ada yang menopang disaat
lemah. Ada yang mengingatkan dikala salah. Ada bahu tempat bersandar dari
segenap gelisah. Ada mata yang menyemburatkan cahaya dan menerangi di saat
gelap menerpa. Melangkah sejauh apa pun itu jika bersama, kita yakin kita mampu.
Berjalan menuju bahagia, bersama-sama menuju Allah dengan orang yang
kini masih entah. Siapa kah ?
Kita yang merasa, perjalanan hari menuju senja itu masih entah.
Sembari menikmati hijrah gemawan dari satu bentuk ke bentuk yang lain.
Mengingatkan akan hijrah kita pula. Kita yang banyak berubah setelah mengenang
bahwa kebaikan akan menemukan kebaikan. Maka kita terus berupaya memperbaiki
diri. Mencoba berdamai dengan waktu dan jarak. Memaksa ketabahan yang sesekali
memberontak. Apakah ada yang rela menyusuri jalan sepi?, sebuah jalan yang
tidak banyak diminati orang-orang. Jalan itu adalah jalan yang diridhoi Allah.
Jalan yang memang sepi, tanpa ada interaksi, tanpa ada sapa berbalas sapa, dan
hanya ada kepatuhan akan rambu-rambu di dalamnya. Mungkin jika kita masih bisa
tabah kita akan saling bertemu pada satu jalan yang tercitra namaku dan namamu,
nama kita.
Kelak saat
kita telah bertemu kita akan belajar lagi bahwa kita disatukan bukan untuk
berkompetisi, saling mengalahkan, terus menonjolkan ego masing-masing. Bukan!
Saat takdir senja berpihak pada kita untuk menjinggakan langit, semua menjadi
sebuah awal baru. Awal dari perjalanan
kita. Dalam perjalanan ini kita akan merangkak, berjalan, ataupun
berlari bersisiran. Dan kurasa tidak perlu mengajakku untuk berlari. Nanti aku
bisa lelah. Kita nikmati perjalanan sambil mengeratkan genggaman jemari. Pun
sebenarnya kamu bisa dengan mudah meninggalkanku. Aku berharap kamu akan memilih
tetap membersamaiku, karena aku ingin kita sejajar, bukan saling menarik dan
ditarik, atau digiring dan menggiring.
Jika kau
lihat saat berjalan tali sepatuku lepas, bantulah aku untuk mengikatnya agar
dapat kita tantang bersama jalan yang telah ditelanjangi dari aspal panas. Kadang aku sempat berfikir untuk menjadi menjadi telapak sepatumu, yang
memberi kenyamanan bagi telapakmu untuk berjalan. Yah, aku ingin jadi telapak
sepatumu saja dari kotor dan basah, aku mengabdi tetap untuk bersamamu. Yang sesungguhnya
lelah, tapi untukmu aku tidak pernah
menyerah. InsyaALlah, karena akan bernilai ibadah. Terlebih dari rasa syukuryang
telah menimbulkan rasa bahagia. Bahagia
itulah yang memicu untuk terus menerjang lelah. Sebab dulunya kita telah berupaya
penuh. Ini adalah saatnya kita mensyukuri titik temu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar