(Kutipan Buku "Hingga Senja Meramu Jingga" By: Ningsi_AFJ...Do'akan bisa diterbitkan ya ! ^-^)
Menanti belahan
jiwa seperti menunggu senja di tepi pantai. Diantara kayu dermaga yang berderik
seorang wanita melangkah menuju ke tepi pelabuhan, duduk termangu menunggu
senja. Seiring waktu menghantarkan
perputaran bumi, berspekulasi ada seseorang disebrang samudra yang tengah
menujunya atau menunggunya untuk berlayar menujunya. Sayangnya, wanita itu tetap diam dan bersimpuh ditepi dermaga
lebih memilih menunggu, sembari mengharapkan seseorang di sebrang lautan itu
mulai melebarkan layar bahtera, mengarahkan kompasnya, untuk menjemput. Sedang
Lelaki yang disebrang lautan sana, adalah lelaki yang tidak peka.
Diantara garis pantai yang memisahkan laut dan daratan. Terjadi
tragedi sengit antara wanita pendiam yang duduk di dermaga dan lelaki tak peka
di sebuah pulau seberang laut nun jauh disana. Kisah perempuan yang pendiam
dengan laki-laki yang tak peka seolah menjadi malapetaka. Layaknya bencana
katatropik, mungkin juga seperti gempa yang menghantarkan tsunami terbesar
kemudian menenggelamkan sekujur bumi.
Sudah alamiahnya seorang lelaki
bahwa ia tak terlalu berbakat menerjemahkan keterdiaman. Apalagi lelaki itu, dia terlalu lugu karena
berfirasat bahwa semua baik-baik saja.
Lelaki disebrang samudra itu adalah orang yang tak memiliki keterampilan memadai
untuk mengerti apa yang ada di dalam hati wanita pendiam yang duduk di tepi
dermaga itu. Wanita itu terus membatu. Menjadi patung tanpa ekspresi. Tak
bergerak, tak bersuara, bahkan untuk sekedar mendehem pun enggan. Wanita itu
hanya terdiam menumpahkan air mata ke laut lepas. Menangis dalam heningnya hari,
menunggu senja yang terlampau lama hadir bersama harapan.
Bahkan
satu sama lain tak mengerti, bahwa ombak, laut, dan dalamnya selalu menyimpan
rahasia tak terduga. Kondisi seperti terkadang terasa begitu pelik. Menghimpit
dan menyesakkan. Sebab lelaki yang disana tidak peka. Dan wanita itu seperti telah
dikutuk menjadi diam. Bisakah pulau itu bergeser ke tepian dermaga dengan
sendirinya tanpa perlu mengayuh kapal ?. Mungkin bisa, jika lempeng tektonik
mendengar suara hati mereka, semesta membantu, dan terjadilah keajaiban. Saat
mereka bertemu maka gempalah seisi dunia. Begitulah jika menanti senja bersama
harapan di tepi pantai, menanti lelaki tak peka di sebrang laut lepas pulau
sana.
Seharusnya wanita ditepi dermaga itu sadar bahwa ketika seseorang
membuatnya menunggu, itu artinya ada hal lebih penting bagi orang yang
ditunggunya itu untuk diurusnya
dibandingkan dia. Karena, jika wanita yang ditepi dermaga itu memang penting, sangat
berharga, orang yang ditunggu tidak akan pernah membiarkannya menunggu
terlampau lama. Cukup sederhana. . . yang membuatnya menjadi berbelit adalah
wanita itu tidak tahu siapa yang akan mementingkan kehadiran dirinya. Waktu pun
tertahan, langit tak kunjung senja. Wanita itu menggerak-gerakkan kaki sembari
menggenggam pena, menulis bait-bait puisi tentang jingga.
Coba saja lelaki itu lebih peka dan alangkah lebih baik bila
wanita itu tidak terbawa perasaan sehingga dapat sedikit menggetarkan pita
suaranya. Sayangnya, kenyataan enggan berpihak pada keinginan, selalu
berkepentingan pada kebutuhan. Lelaki itu tidak peka dan wanitanya tak bisa
membunyikan aksara. Lantas semesta menggapai isyarat kedua hati dalam
alunan-alunan do’a.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar