Selasa, 12 April 2016

Senja di Tepian Dermaga

(Kutipan Buku "Hingga Senja Meramu Jingga" By: Ningsi_AFJ...Do'akan bisa diterbitkan ya ! ^-^)



Menanti belahan jiwa seperti menunggu senja di tepi pantai. Diantara kayu dermaga yang berderik seorang wanita melangkah menuju ke tepi pelabuhan, duduk termangu menunggu senja.  Seiring waktu menghantarkan perputaran bumi, berspekulasi ada seseorang disebrang samudra yang tengah menujunya atau menunggunya untuk berlayar menujunya.  Sayangnya, wanita  itu tetap diam dan bersimpuh ditepi dermaga lebih memilih menunggu, sembari mengharapkan seseorang di sebrang lautan itu mulai melebarkan layar bahtera, mengarahkan kompasnya, untuk menjemput. Sedang Lelaki yang disebrang lautan sana, adalah lelaki yang tidak peka. 

            Diantara garis pantai yang memisahkan laut dan daratan. Terjadi tragedi sengit antara wanita pendiam yang duduk di dermaga dan lelaki tak peka di sebuah pulau seberang laut nun jauh disana. Kisah perempuan yang pendiam dengan laki-laki yang tak peka seolah menjadi malapetaka. Layaknya bencana katatropik, mungkin juga seperti gempa yang menghantarkan tsunami terbesar kemudian menenggelamkan sekujur bumi. 

                Sudah alamiahnya seorang lelaki bahwa ia tak terlalu berbakat menerjemahkan keterdiaman.  Apalagi lelaki itu, dia terlalu lugu karena berfirasat  bahwa semua baik-baik saja. Lelaki disebrang samudra itu adalah orang yang tak memiliki keterampilan memadai untuk mengerti apa yang ada di dalam hati wanita pendiam yang duduk di tepi dermaga itu. Wanita itu terus membatu. Menjadi patung tanpa ekspresi. Tak bergerak, tak bersuara, bahkan untuk sekedar mendehem pun enggan. Wanita itu hanya terdiam menumpahkan air mata ke laut lepas. Menangis dalam heningnya hari, menunggu senja yang terlampau lama hadir bersama harapan. 

                Bahkan satu sama lain tak mengerti, bahwa ombak, laut, dan dalamnya selalu menyimpan rahasia tak terduga. Kondisi seperti terkadang terasa begitu pelik. Menghimpit dan menyesakkan. Sebab lelaki yang disana tidak peka. Dan wanita itu seperti telah dikutuk menjadi diam. Bisakah pulau itu bergeser ke tepian dermaga dengan sendirinya tanpa perlu mengayuh kapal ?. Mungkin bisa, jika lempeng tektonik mendengar suara hati mereka, semesta membantu, dan terjadilah keajaiban. Saat mereka bertemu maka gempalah seisi dunia. Begitulah jika menanti senja bersama harapan di tepi pantai, menanti lelaki tak peka di sebrang laut lepas pulau sana.

Seharusnya wanita ditepi dermaga itu sadar bahwa ketika seseorang membuatnya menunggu, itu artinya ada hal lebih penting bagi orang yang ditunggunya itu untuk  diurusnya dibandingkan dia. Karena, jika wanita yang ditepi dermaga itu memang penting, sangat berharga, orang yang ditunggu tidak akan pernah membiarkannya menunggu terlampau lama. Cukup sederhana. . . yang membuatnya menjadi berbelit adalah wanita itu tidak tahu siapa yang akan mementingkan kehadiran dirinya. Waktu pun tertahan, langit tak kunjung senja. Wanita itu menggerak-gerakkan kaki sembari menggenggam pena, menulis bait-bait puisi tentang jingga.

Coba saja lelaki itu lebih peka dan alangkah lebih baik bila wanita itu tidak terbawa perasaan sehingga dapat sedikit menggetarkan pita suaranya. Sayangnya, kenyataan enggan berpihak pada keinginan, selalu berkepentingan pada kebutuhan. Lelaki itu tidak peka dan wanitanya tak bisa membunyikan aksara. Lantas semesta menggapai isyarat kedua hati dalam alunan-alunan do’a.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar