Sejak awal mula kehidupan ini,
sejarah menilai bahwa mereka yang berhasil dalam hidup ini adalah mereka yang
berani berjuang dan tak patah arang dalam perjuangan yang digelarnya. Memang
hidup ini adalah perjuangan. Kita tidak dinilai dari hasil akhir yang didapatkan,
melainkan sebentuk apa perjuangan yang telah kita semai untuk mendapatkanya.
Nilai kita di sisi Allah tidak dari titik keberhasilan melainkan dari
langkah-langkah kita untuk menggapai keberhasilan. Lantas kita tidak ada urusan dengan takdir namun urusan kita adalah dengan amal, karena takdir itu adalah ketetapan Allah.
“Dan bahwa sesungguhnya tidak ada
(balasan) bagi seseorang melainkan balasan dari apa yang telah diusahakannya”
(Q.S.an-Najm: 39)
Sebagai sebuah perjalanan, hidup pun
tidak pernah meminta lebih dari kita selain kemurnian niat. Hanya dengan memurnikan
niat untuk tujuan yang benar, yakni mendapatkan keridhoan Allah. Apa pun yang
kita lakukan demi keridhoan-Nya akan menjadi ibadah. Inilah yang menjadikan kita hebat. Sebab kita
hidup bukan untuk menjalani diri sendiri melainkan untuk akhir perjalanan yang
pasti, untuk sebuah mimpi, yakni kembali ke kampung kita lagi, Syurga yang seluas langit dan bumi.
Membentuk persepsi positif terhadap
diri sendiri dalam menjalani semurni-murninya niat menggeser pribadi kita lebih
unggul dari rata-rata manusia. Apalagi jika kita mau lebih sering berkomunikasi
pada diri sendiri. Semisalnya saja saat rasa malas mendominasi dalam diri kita.
Kemudian kita menghadirkan diri kita yang kedua datang untuk menasihati dan
menanyakan. Apakah kemalasan ini akan membaikkan masa depan?, Apakah kemalasan
masuk dalam poin-poin pembeli kebahagian akhirat?, Apakah kemalasan akan
membuat Allah ridho?, Apakah kemalasan ini akan membawa pada kesuksesan hidup?.
Lalu diri kita akan menjawabnya dengan semua jawaban dari pertanyaan itu adalah
“tidak”. Pada akhirnya, kita akan bangkit untuk berkegiatan, mengerjakan yang
semestinya untuk dituntaskan. Nah…begitulah contoh sederhana dari berkompromi
dengan diri sendiri. Apa yang kita perbuat dalam kehidupan ini akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita
berkomunikasi dengan diri sendiri.
Bukan bicara sendiri, ntar dikira gak waras pula.
|
Saat kembali merenung. Kita
lebih banyak sadar. Bahwa terkadang kita melakukan perjalanan hidup kita
terlalu cepat. Sekiranya perlulah kita melambatkan diri. Bahkan sesekali
kita perlu berhenti, menengok ke belakang, atau memerhatikan sekitar. Tanpa
sadar kita telah melewatkan begitu banyak hal karena kita terlalu berambisi
pada tujuan. Tujuan itu penting, tapi memaknai perjalanan juga ada
pentingnya. Kita juga tahu bahwa pelajaran itu ada di sepanjang perjalanan.
Hari esok masih entah kah untuk kita ?. Tapi keyakinan kita
pada janji-Nya semoga masih menjadi jalan yang di tuju.
|
Hidup
kita dalam perjalanan, tidak baik jika kita menempuh perjalanan indah ini
dengan banyak tidur. Banyak-banyak lah melihat ke kanan dan ke kiri. Mengamati,
meniru, dan memberi nilai tambah untuk hal apa saja yang kita temui disepanjang perjalanan. Amatilah orang-orang besar itu, mereka yang namanya telah
memuat catatan-catatan sejarah, tilik satu persatu jalan hidupnya. Setelah itu
duplikasi lah dalam diri kita kebaikan-kebaikannya atau segala hal yang membantu
kita menuju pada pencapaian yang diharapkan. Jika ada kecacatan maka sebaiknya kita konstruksi dengan potensi yang ada pada diri kita dan kita benahi dengan
segenap cakrawala yang dimiliki. Jika mereka mampu melakukan satu hal besar maka
kita pun berpeluang untuk melakukan hal yang serupa dengan mereka. Pada
akhirnya, tergantung pada diri kita mau atau tidak untuk lebih banyak melihat
pelajaran-pelajaran yang tersebar di sejauh perjalanan yang kita tempuh.
Hidup kita dalam
perjalanan. Maka mari menjalani hidup dalam keberanian. Untuk apa hidup bila
kita tak memiliki keberanian? Berani menghadapi segala yang mencacah mental.
Berani menghadapi kesementaraan. Dan tentunya berani menghadapi kematian. Bila hidup tujuannya dunia, pasti sesak dengan “keinginan”. Bila
hidup tujuannya akhirat, Insya Allah selalu ada kemudahan.
Kompas yang kita pegang kini
arahnya kemana? nanti di penghujung kesadaran yang lebih awal arahkan jarum
kompas hidup itu kepada satu dimensi agung,Syurga.
Kutipan buku "Perjalanan untuk Sebuah Mimpi"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar