Selasa, 12 April 2016

Hidup Kita dalam Perjalanan




            Sejak awal mula kehidupan ini, sejarah menilai bahwa mereka yang berhasil dalam hidup ini adalah mereka yang berani berjuang dan tak patah arang dalam perjuangan yang digelarnya. Memang hidup ini adalah perjuangan. Kita tidak dinilai dari hasil akhir yang didapatkan, melainkan sebentuk apa perjuangan yang telah kita semai untuk mendapatkanya. Nilai kita di sisi Allah tidak dari titik keberhasilan melainkan dari langkah-langkah kita untuk menggapai keberhasilan. Lantas kita tidak ada urusan dengan takdir namun urusan kita adalah dengan amal, karena takdir itu adalah ketetapan Allah.

“Dan bahwa sesungguhnya tidak ada (balasan) bagi seseorang melainkan balasan dari apa yang telah diusahakannya”
(Q.S.an-Najm: 39)

            Sebagai sebuah perjalanan, hidup pun tidak pernah meminta lebih dari kita selain kemurnian niat. Hanya dengan memurnikan niat untuk tujuan yang benar, yakni mendapatkan keridhoan Allah. Apa pun yang kita lakukan demi keridhoan-Nya akan menjadi ibadah.  Inilah yang menjadikan kita hebat. Sebab kita hidup bukan untuk menjalani diri sendiri melainkan untuk akhir perjalanan yang pasti,  untuk sebuah mimpi, yakni kembali ke kampung kita lagi, Syurga yang seluas langit dan bumi.

Membentuk persepsi positif terhadap diri sendiri dalam menjalani semurni-murninya niat menggeser pribadi kita lebih unggul dari rata-rata manusia. Apalagi jika kita mau lebih sering berkomunikasi pada diri sendiri. Semisalnya saja saat rasa malas mendominasi dalam diri kita. Kemudian kita menghadirkan diri kita yang kedua datang untuk menasihati dan menanyakan. Apakah kemalasan ini akan membaikkan masa depan?, Apakah kemalasan masuk dalam poin-poin pembeli kebahagian akhirat?, Apakah kemalasan akan membuat Allah ridho?, Apakah kemalasan ini akan membawa pada kesuksesan hidup?. Lalu diri kita akan menjawabnya dengan semua jawaban dari pertanyaan itu adalah “tidak”. Pada akhirnya, kita akan bangkit untuk berkegiatan, mengerjakan yang semestinya untuk dituntaskan. Nah…begitulah contoh sederhana dari berkompromi dengan diri sendiri. Apa yang kita perbuat dalam kehidupan ini  akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita berkomunikasi dengan diri sendiri. Bukan bicara sendiri, ntar dikira gak waras pula.
 
Saat kembali merenung. Kita lebih banyak sadar. Bahwa terkadang kita melakukan perjalanan hidup kita terlalu cepat. Sekiranya perlulah kita melambatkan diri. Bahkan sesekali kita perlu berhenti, menengok ke belakang, atau memerhatikan sekitar. Tanpa sadar kita telah melewatkan begitu banyak hal karena kita terlalu berambisi pada tujuan. Tujuan itu penting, tapi memaknai perjalanan juga ada pentingnya. Kita juga tahu bahwa pelajaran itu ada di sepanjang perjalanan.
Hari esok masih entah kah untuk kita ?. Tapi keyakinan kita pada janji-Nya semoga masih menjadi jalan yang di tuju.



         Hidup kita dalam perjalanan, tidak baik jika kita menempuh perjalanan indah ini dengan banyak tidur. Banyak-banyak lah melihat ke kanan dan ke kiri. Mengamati, meniru, dan memberi nilai tambah untuk hal apa saja yang kita temui disepanjang perjalanan. Amatilah orang-orang besar itu, mereka yang namanya telah memuat catatan-catatan sejarah, tilik satu persatu jalan hidupnya. Setelah itu duplikasi lah dalam diri kita kebaikan-kebaikannya atau segala hal yang membantu kita menuju pada pencapaian yang diharapkan. Jika ada kecacatan maka sebaiknya kita konstruksi dengan potensi yang ada pada diri kita dan kita benahi dengan segenap cakrawala yang dimiliki. Jika mereka mampu melakukan satu hal besar maka kita pun berpeluang untuk melakukan hal yang serupa dengan mereka. Pada akhirnya, tergantung pada diri kita mau atau tidak untuk lebih banyak melihat pelajaran-pelajaran yang tersebar di sejauh perjalanan yang kita tempuh.
Hidup kita dalam perjalanan. Maka mari menjalani hidup dalam keberanian. Untuk apa hidup bila kita tak memiliki keberanian? Berani menghadapi segala yang mencacah mental. Berani menghadapi kesementaraan. Dan tentunya berani menghadapi kematian. Bila hidup tujuannya dunia, pasti sesak dengan “keinginan”. Bila hidup tujuannya akhirat, Insya Allah selalu ada kemudahan.
Kompas yang kita pegang kini arahnya kemana? nanti di penghujung kesadaran yang lebih awal arahkan jarum kompas hidup itu kepada satu dimensi agung,Syurga.

 Kutipan buku "Perjalanan untuk Sebuah Mimpi"
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar