Kita yang pada hari ini dengan pekerjaan
yang memang tak pernah kenal waktu. Tak jua kenal ruang dengan beraneka sudut,
tak pula kenal timbunan rasa yang telah menggunung. Walau pada akhirnya akan
berujung pada keringat dan daki. Kita yang bekerja di naungan punggung mentari.
Belajar menikmati lelah dari pekerjaan yang tak kunjung selesai. Belajar
berdamai bersama kepegalan tubuh untuk mengejar deadline laporan atau tagihan
bulanan. Belajar tenang untuk menghadapi saat si Bos mulai berkasam muka atau
rekan kerja yang tak seiya sekata.
Namun kita melakukan pekerjaan
bukan sekedar untuk memeras keringat atau menciptakan daki. Bahwa kita bekerja
untuk bersyukur. Kesyukuran atas nikmat kesehatan, nikmat akal, nikmat
kesempatan, dan nikmat untuk menghirup udara lepas, bebas, dan puas. Kesyukuran
kita atas pekerjaan sekiranya dapat meregangkan kembali urat-urat syaraf. Kita
menjadi orang-orang yang bebas dari diksi tertekan. Jika rasa syukur bagian
tubuh ibadah, maka melakukan pekerjaan pun adalah ibadah kita. Lantas pekerjaan
ini hari ini ada yang menyaksikan.
“Dan bekerjalah kamu,maka Allah
akan melihat pekerjaan mu, begitupula Rasul dan orang-orang beriman”
(Q.S.
9:105)
Mungkin
kita merasa dikejar-kejar waktu hari ini?. Pada nyatanya kita dan waktu selalu
melangkah bersisiran. Mungkin Kita bukan sedang berkejaran dengan waktu, karena
kita tidak tahu sampai kapan kita hidup. Bisa dikatakan saat ini kita sedang
berkejaran dengan amal. Layaknya amal itu yang tidak dapat diukur dari berapa
panjang usia manusia, tapi dari kualitas saat mengerjakannya. Semoga kita tidak
melewatkan begitu banyak kesempatan untuk berbuat baik.
Kita yang pada hari ini merasa
kepenatan pun mengajak menikmati sepenggal senja hari. Bersama secangkir teh
hangat. Mendendangkan denyut nadi bersimfoni dengan desau angin. Pertanda kita
masih hidup. Masih diminta untuk melanjutkan perjuangan didetik kemudian. Detik
yang akan diminta pula pertangungjawabannya nanti. Senja ini, untuk sekedar
mengusir kepenatan seharian tadi, boleh
lah kita menulis selarik puisi tentang hidup kita yang barusan terlewati, atau
kemarin yang tak bisa dijemput lagi, atau esok yang masih temaram. Mungkin ada
harapan yang dicacah kekecewaan, atau impian yang tak kunjung terpetik. Kita
bisa menggarang dalam liuk-liuk bait, atau menggubah beberapa soneta. Terserah
saja. Semau kita. Luahkan dalam puisi-puisi hati. Kepenatan kita sedari pagi
tadi merupakan kemuliaan yang telah kita ciptakan sendiri. Berbahagialah untuk
hari ini.
“Jikalau salah seorang di antara kamu
mengambil seutas tali, kemudian ia pergi ke gunung, kemudian ia pulang dengan
membawa seutas kayu bakar di atas punggungnya, lalu ia menjualnya, yang dengan
begitu Allah menjaga harga dirinya, niscaya itu lebih mulia baginya daripada ia
meminta-minta kepada sesama manusia”
(al-Hadits)
Kita yang pada hari ini. Coba
lihat langit malam, jangan-jangan bulan sudah terbakar keluhan. Cahayanya
memburam disemprot gerutu. Karena kita yang menampiaskan diri pada bayangan hari-hari yang
panjang. Menghabiskan terik raja siang dengan bongkah-bongkah upaya. Yang kata
orang “demi sesuap nasi dan sebukit berlian”. Keluhan tentang mereka, dia, atau
seseorang yang mengesalkan.
Ada waktunya kita tidak perlu
menghabiskan pikiran dan hati untuk
memikirkan orang-orang yang tidak menyukai. Ada baiknya kita curahkan hati dan
pikiran untuk orang-orang yang menghargai keberadaan kita, untuk orang-orang
yang mencintai atau mungkin sedang menunggu kita.
Malam hari ini akan dikoyak
kaki-kaki waktu. Jangan izinkan rumput hitam di kepala memutih disiram
prasangka-prasangkat tak penting. Mari kita bertasbih menyebut nama Allah.
Merenovasi kerusakan hati dari prasangka melalui istighfar bertalu-talu dan
untuk kepentingan hati, nikmati kembali sujud-sujud kekhusyukan. Berdentinglah tenang
demi tenang. Hingga kedamaian diabadikan malam. Lalu kita terpulas dalam
kebaikan. Semoga segala hal di hari ini lebih baik dari kemarin, hari esok kita
rencanakan untuk lebih baik dari hari ini. Kita pun menjadi yang beruntung.
“Sudah saatnya
kita untuk berbenah, melangkah pada perubahan yang lebih mengistimewakan masa
depan. Tidak baik kan berlama-lamaan dalam tipu daya syaitan ?. Melangkahlah lebih tegap. Mari menuju selaksa
harapan yang berpintal-pintal dalam kalbu.”
Kutipan buku "Perjalanan untuk Sebuah Mimpi"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar