Senin, 11 April 2016

Mozaik Rindu

Malam ini aku di bawah jubah langit dan cahaya dewi malam.
Ingin mengurai mozaik-mozaik kisah bersama mereka.
Lagi-lagi cerita  rindu.
Rindu untuk mu saudari seiman ku, saudari yang darinya aku mendapat banyak hal.

Rindu ini elusif....
Terbenam di lekuk hati mengambang di taman imijinasi.
Mengetuk diri untuk kembali memutar kotak kenangan.
Sekelebat ....senyum mereka pun seakan  merekah, sorot mata yang mendamaikan itu, air muka ketawadhukan itu, polah unik itu,  dan kelakar renyah yang mencairkan suasana itu.
Lantas bagaimana hati tak merindu....

ketika jemari menggenggam jemari lalu saling mendekap menghangatkan iman. Ketika bahu menyentuh bahu dalam barisan saf salat. Ketika hati mengokohkan hati dalam do'a rabithah.
Waktu itu kita adalah jiwa-jiwa yang tak kenal selain terus memperbaiki diri dihadapan Allah.
Kita yang dalam hatinya hanya ada kobaran semangat dan gelora iman.
Yang akitifitas kita adalah ilmu dan amal. Belajar, ibadah, dan dakwah.
Sungguh lunau jiwa kita dengan ketakwaan dan basah oleh keimanan.
Dimana ruhiyah satu saudari pun mampu mewarnai segenap kelusuha-jiwa  jiwa yang suram.  Tilawahnya membuat mata tak mampu membendung air mata, Setoran hafalannya menggugah diri untuk berkompetisi mengejar perhatian Allah.
Lantas bagaimana hati tak merindu....

Waktu itu, pembicaraan kita tidak lain adalah Shirah Nabawiyah, Shirah Sahabat,  Sholahuddin al-Ayyubi, Muhammad AlFatih, Mush'ab bin umair, dan heroik Islam yang menyulut api motivasi untuk berjuang melakukan kebaikan dan menebar manfaat. Benar-benar hidayah mencahayai jiwa melalui kata-kata dan kalimat dan teruntai dari bibir mereka.
Lantas bagaimana hati tak merindu....

Waktu itu, kita hanya disibukkan oleh agenda yang menumbuhkan ruhiyah. Ikut daurah sana-sini, seminar ini itu, kajian yang beragam. Dilingkupi saudari yang sholehah, telinga disesakkan oleh lantunan nasyid dan kalamullah, dan dalam penglihatan kita didominasi oleh teladan sikap   RasuLullah saw; lembut, santun, dan memberi contoh dari tindakan.
Lantas bagaimana hati tak merindu....

Waktu itu, kita pun dilatih  untuk belajar makna sabar dalam kebersamaan. Perihal menenggelamkan ego. Dengan itu, kita berhasil untuk menyembunyikan rasa menang sendiri, kita berhasil menaklukkan emosi, kita berhasil mengalah untuk kebaikan bersama, kita berhasil menanam toleransi dan simpati. Saat makan satu tempat untuk 10 orang, saat begadang untuk menyelesaikan rapat internal, saat mesti legowo bila  pindah-pindah rumah, dan banyak rutinitas lainnya. Alhasil yang tercipta adalah harmoni nan latif. Layaknya  jingga yang mengindahkan senja, kala itu adalah  detik-detik  mengalahnya siang kepada malam tuk merajai waktu dan kondisi.
Lantas bagaimana hati tak merindu....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar