Minggu, 17 April 2016

Perasaan ini Sederhana



Perasaan ku pada mu begitu sederhana.
Sesederhana simpul senyum menyambut jingga kala senja. Sesederhana embun pagi yang melembabkan udara. Sesederhana rajutan do'a yang kujalinkan ditubuh sepertiga malam.
Sesederhana upayaku dengan bait, aamiin..aamiin.aamiin.
Begitu lah cara sederhana ku menyembunyikan nama mu tanpa ada yang tahu selain Dia.
Kesederhanaan ini membuat aku cukup untuk menikmati segala upaya. Tanpa getir yang mempelintir  dan gelisah yang membuncah. Semua telah kusederhanakan , karena melibatkan Dia sebagai perantara.

Ada memang kita dianugrahi setumpuk perasaan yang tak menentu. Rasa yang manusiawi. Rasa yang sering menciptakan bait-bait puisi. Rasa yang menggubah larik-larik simfoni. Rasa yang kerap merajai hati dari pagi hingga datang pagi kembali. Rasa yang membuat banyak orang bunuh diri. Rasa yang nyata namun tak dapat dilihat indrawi. Rasa yang hadirnya tak pernah diundang namun sulit untuk diusir. Rasa yang dibilang kawula muda…Ah kalian sudah tahu itu apa.
Lantas salahkah perasaan dalam hati itu?. Dalam hal ini setiap dari kita memiliki sudut pandang yang tak sama. Perasaaan mengagumi, mencintai, kecondongan terhadap seseorang lelaki atau wanita, dapat dikatakan masih normal-normal saja jika dialokasikan pada standarnya, dijaga dengan baik dan diamankan oleh keimanan. Sayangnya perasaan itu sering dibesar-besarkan sehingga menjadi penyakit akut yang meluluhlantakkan segala akal sehat bahkan menjadi ketidakwarasan orang sehat.
            Ada orang yang disebabkan perasaannya. Berubahlah  pagi menjadi mendung. Lantas mendung seolah cerah. Sore menjadi kelam gulita.  Siang  bak berbintang, dan malam tampak matahari. Ironisnya ! Beberapa saat bergembira, lalu berganti duka. Kadang berteriak dalam senyap. Kadang  menangis tanpa suara. Kadang seperti orang linglung, padangannya nanar dan semberaut. Kadang tidak selera makan, malas melakukan apapun. Bahkan kadang bertindak seperti orang gila. Sungguh memprihatikan. Padahal perasaan itu sangat sederhana. Sesederhana menyedu secangkir teh hangat, kita hanya cukup menikmatinya saja.
Terhadap perasaan yang menjadi anugrah, mengapa mesti diubah menjadi petaka. Sekiranya mensyukuri perasaan itu lebih baik daripada menggusarkannya. Kita dapat mengekspresikan rasa syukur itu dalam senandung do’a, dalam menguatkan keimanan, dan terus menjaga ketaatan kepada Allah. Agar perasaan manusiawi itu tumbuh sewajarnya, tidak perlu kita tebas apalagi membunuhnya secara keji.
Kita memiliki perasaan yang sangat kepada seseorang tentu bukan maunya kita. Kemauan yang bukan maunya sendiri, kan ?.  Sebab perasaan itu dititipkan, dan sebagian besar untuk menjadi cobaan. Sanggupkah kita untuk tetap menjadikan Allah yang pertama atau malah hanyut dalam buaian mabuk nafsu.Apalagi menjadi rapuh dan tak kuasa melakukan apa-apa. Aduh, jangan sampai begitu lah ya ? Kehidupan ini memang ada perlunya direalistiskan. Makanya jangan kebanyakan nonton sinetron alay. Agar otak kita bersih dari kontaminasi hama-hama 
Jika perasaan itu membuat kita gusar, pedar, kelengar, dan tepar.. Mari kita terbangkan diri ke taman kesibukan. Agar aktifitas memikirkan si ‘dia’ tergantikan oleh Dia. Mungkin kita terlalu banyak menyita waktu untuk menumbuhkan spekulasi ini dan itu, begini dan begitu, memainkan rasa dalam tabur angan-angan buali. Sehingga perasaan sederhana itu menjadi rumit dan kompleks untuk diselesaikan.Menjadi sianida yang mematikan jiwa. Na'udzubillah.
Itulah gunanya mengisi waktu dengan aktifitas posistif dan produktif. Karena kita hanya melakukan dua hal dalam kehidupan ini. Jika tidak disibukkan oleh hal-hal kebaikan berarti kita tengah disibukkan oleh hal-hal keburukan. Ada perlunya hati itu di merdekakan, dilepaskan ke angkasa luas. Hingga tidak ada satu pun yang mampu menyentuhnya kecuali Allah. Artinya, tidak perlu memberi izin bagi apapun untuk mengisi hati kecuali Allah saja yang merajai taman hati.
Ada perlunya juga kita berdiet untuk mengkonsumsi perasaan yang berlebihan. Perasaan yang mendistorsi lezatnya semangat menyongsong kehebatan masa depan. Sebab perasaan itu pada akhirnya hanya menjadi penyesalan. Masa muda ini terlalu pandir untuk sekedar melakukan hal yang sepele. Menghabiskannya terhadap pekerjaan yang tak memuliakan masa depan. Apalagi hanya untuk meratapi perasaan. Sederhanakan lah perasaan itu agar ia menjadi lebih ringan. Jika hati  masih merasa berat bisa jadi hati itu lagi tersesat.
Sebaiknya kita sadar, yah tanpa perlu membenturkan kepala ke bantal atau tendang diri pakai kaki teddy bear. Bahwa saat ini kita tengah memiliki energi di titik kulminasi. Untuk itu, kita dituntut agar berbuat yang lebih pula. Kata Emak "Manfaatkan masa muda sebelum tua menggerogoti".hehe... Okey ! kini cobalah menyederhanakan perasaan dengan tetap melibatkan Allah untuk apapun peristiwa yang melanda hati.  Perhatikanlah, diam-diam Dia akan membantu kita  menemukan jalan keluar. Dengan menyederhanakan perasaan,  semoga kita terselamatkan.

Jangan lupa untuk tetap menjaga hati, untuk seseorang yang juga tengah menjaga hatinya untuk mu !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar