Perasaan ku pada mu begitu sederhana.
Sesederhana simpul senyum menyambut jingga kala senja. Sesederhana embun pagi yang melembabkan udara. Sesederhana rajutan do'a yang kujalinkan ditubuh sepertiga malam.
Sesederhana simpul senyum menyambut jingga kala senja. Sesederhana embun pagi yang melembabkan udara. Sesederhana rajutan do'a yang kujalinkan ditubuh sepertiga malam.
Sesederhana upayaku dengan bait, aamiin..aamiin.aamiin.
Begitu lah cara sederhana ku menyembunyikan nama mu tanpa ada yang tahu selain Dia.
Kesederhanaan ini membuat aku cukup untuk menikmati segala upaya. Tanpa getir yang mempelintir dan gelisah yang membuncah. Semua telah kusederhanakan , karena melibatkan Dia sebagai perantara.
Begitu lah cara sederhana ku menyembunyikan nama mu tanpa ada yang tahu selain Dia.
Kesederhanaan ini membuat aku cukup untuk menikmati segala upaya. Tanpa getir yang mempelintir dan gelisah yang membuncah. Semua telah kusederhanakan , karena melibatkan Dia sebagai perantara.
Ada memang kita
dianugrahi setumpuk perasaan yang tak menentu. Rasa yang manusiawi. Rasa yang sering
menciptakan bait-bait puisi. Rasa yang menggubah larik-larik simfoni. Rasa yang kerap merajai hati dari pagi hingga
datang pagi kembali. Rasa yang membuat banyak orang bunuh diri. Rasa yang nyata
namun tak dapat dilihat indrawi. Rasa yang hadirnya tak pernah diundang namun
sulit untuk diusir. Rasa yang dibilang kawula muda…Ah kalian sudah tahu itu apa.
Lantas salahkah
perasaan dalam hati itu?. Dalam hal ini setiap dari kita memiliki sudut pandang yang tak sama. Perasaaan
mengagumi, mencintai, kecondongan terhadap seseorang lelaki atau wanita, dapat
dikatakan masih normal-normal saja jika dialokasikan pada standarnya, dijaga dengan baik dan diamankan oleh keimanan. Sayangnya perasaan
itu sering dibesar-besarkan sehingga menjadi penyakit akut yang
meluluhlantakkan segala akal sehat bahkan menjadi ketidakwarasan orang sehat.
Ada orang yang disebabkan perasaannya. Berubahlah pagi menjadi mendung. Lantas mendung seolah cerah. Sore menjadi
kelam gulita. Siang bak berbintang, dan malam tampak matahari. Ironisnya ! Beberapa saat bergembira, lalu berganti duka. Kadang
berteriak dalam senyap. Kadang menangis
tanpa suara. Kadang seperti orang linglung, padangannya nanar dan semberaut. Kadang tidak selera makan, malas
melakukan apapun. Bahkan kadang bertindak seperti orang gila. Sungguh
memprihatikan. Padahal perasaan itu sangat sederhana. Sesederhana menyedu secangkir teh hangat, kita hanya cukup menikmatinya saja.
Terhadap
perasaan yang menjadi anugrah, mengapa mesti diubah menjadi petaka. Sekiranya
mensyukuri perasaan itu lebih baik daripada menggusarkannya. Kita dapat
mengekspresikan rasa syukur itu dalam senandung do’a, dalam menguatkan
keimanan, dan terus menjaga ketaatan kepada Allah. Agar perasaan manusiawi itu
tumbuh sewajarnya, tidak perlu kita tebas apalagi membunuhnya secara keji.
Kita memiliki
perasaan yang sangat kepada seseorang tentu bukan maunya kita. Kemauan yang
bukan maunya sendiri, kan ?. Sebab
perasaan itu dititipkan, dan sebagian besar untuk menjadi cobaan. Sanggupkah
kita untuk tetap menjadikan Allah yang pertama atau malah hanyut dalam buaian
mabuk nafsu.Apalagi menjadi rapuh dan tak kuasa melakukan apa-apa. Aduh, jangan sampai begitu lah ya ? Kehidupan ini memang ada perlunya direalistiskan. Makanya jangan kebanyakan nonton sinetron alay. Agar otak kita bersih dari kontaminasi hama-hama
Jika perasaan
itu membuat kita gusar, pedar, kelengar, dan tepar.. Mari kita terbangkan diri ke taman kesibukan. Agar
aktifitas memikirkan si ‘dia’ tergantikan oleh Dia. Mungkin kita terlalu banyak
menyita waktu untuk menumbuhkan spekulasi ini dan itu, begini dan begitu, memainkan
rasa dalam tabur angan-angan buali. Sehingga perasaan sederhana itu menjadi
rumit dan kompleks untuk diselesaikan.Menjadi sianida yang mematikan jiwa. Na'udzubillah.
Itulah gunanya
mengisi waktu dengan aktifitas posistif dan produktif. Karena kita hanya
melakukan dua hal dalam kehidupan ini. Jika tidak disibukkan oleh hal-hal
kebaikan berarti kita tengah disibukkan oleh hal-hal keburukan. Ada perlunya
hati itu di merdekakan, dilepaskan ke angkasa luas. Hingga tidak ada satu pun
yang mampu menyentuhnya kecuali Allah. Artinya, tidak perlu memberi izin bagi
apapun untuk mengisi hati kecuali Allah saja yang merajai taman hati.
Ada perlunya juga
kita berdiet untuk mengkonsumsi perasaan yang berlebihan. Perasaan yang mendistorsi
lezatnya semangat menyongsong kehebatan masa depan. Sebab perasaan itu pada
akhirnya hanya menjadi penyesalan. Masa muda ini terlalu pandir untuk sekedar
melakukan hal yang sepele. Menghabiskannya terhadap pekerjaan yang tak
memuliakan masa depan. Apalagi hanya untuk meratapi perasaan. Sederhanakan lah perasaan itu agar ia menjadi lebih ringan. Jika hati masih merasa berat bisa jadi hati itu lagi tersesat.
Sebaiknya kita sadar, yah tanpa perlu membenturkan kepala ke bantal atau tendang diri pakai kaki teddy bear. Bahwa saat ini kita tengah
memiliki energi di titik kulminasi. Untuk itu, kita dituntut
agar berbuat yang lebih pula. Kata Emak "Manfaatkan masa muda sebelum tua menggerogoti".hehe...
Okey ! kini cobalah menyederhanakan perasaan dengan tetap melibatkan Allah untuk apapun
peristiwa yang melanda hati. Perhatikanlah, diam-diam Dia akan membantu kita menemukan jalan keluar. Dengan menyederhanakan perasaan, semoga
kita terselamatkan.
Jangan lupa untuk tetap menjaga hati, untuk seseorang yang juga tengah menjaga hatinya untuk mu !
Jangan lupa untuk tetap menjaga hati, untuk seseorang yang juga tengah menjaga hatinya untuk mu !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar