Ini adalah kesekian kalinya aku ditakjubi oleh bertubi-tubi kisah mereka. Sungguh telah lama ingin kurekatkan hikmah dari cerita mereka dalam rangkuman diksi sedemikian rupa hingga akhirnya mampu menuturkan pemahaman mendalam mengenai "jalan jodoh".
Masalah perasaan, menjadi sekelumit bahan perbincangan yang hangat dikalangan kawula muda bahkan tidak menutup kemungkinan di level yang orang yang telah bekeluarga pun dapat terjangkiti problematika hati. Jelasnya, masalah hati disini akan dikerucutkan ke dalam pengertian kecenderungan pada lawan jenis, pasangan jiwa. Sejauh jangkauan pengetahuan yang kutangkap, setiap dari mereka yang masih meraba-raba takdir Allah tentang jodoh memiliki pengalaman rumit tersendiri. Sebelumnya kita sering menduga bahwa teman kita si A, si B, dan si-si yang lain sepertinya bakal anteng aja dah buat dapatin pasangan hidup. Karena kita memandang bahwa mereka telah memiliki apa saja yang menjadi kemudahan untuk menemukan pasangan hidupnya. Baik itu dari rupa, tahta, keluarga, bahkan agama. Dengan izin Allah, kita pun diberi pemahaman setelah mengetahui perjalanan kisah mereka ternyata untuk berjodoh tetap harus diuji berkali-kali, walau ada juga yang jalannya sangat dimudahkan Allah.
Aku menyaksikan langsung kisah-kisah mereka (para ladies) dalam menempuh jalan jodoh itu. Ada yang sudah sampai di garis finish dan ada yang masih berjuang menuju akhir dari perjalanan yang melelahkan tersebut. Mereka yang masih berjuang itu, benar-benar melelahkan, itulah yang didapati dari kisah mereka. Sebab wanita tidak bisa berjuang lebih selain dari melontarkan sebanyak-banyaknya puluru do'a ke kaki langit. Namun, diantara mereka juga ada yang berjuang dengan sesegukan keberanian untuk mengutarakan langsung, tentu ini tidak mudah, penuh resiko, tidak semua orang bisa menerima dan jika merasa tidak sanggup dg cara ini sebaiknya duduk manis menunggu do'a-do'a di ijabah oleh-Nya.
Terkadang ada dari mereka yang telah siap dan keluarga sudah sangat mengharapkan anaknya untuk berkeluarga. Namun terkendala dengan proses yang kesekian kali harus gagal dan gagal. Dicerita yang lain, ada yang sudah mantap saat proses lantas terhadang di restu keluarga. Ada yang terhambat karena jenjang usia, ada terhalang oleh strata finansial, tapi masih banyak yang masih duduk manis dalam kesabaran menunggu seseorang yang akan menjemputnya *sabar ya ciiiin*
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Faktor "U" adalah sebentuk variabel yang sensitif bagi segenap wanita. Eeuuummm...aku bilang begitu, sebab aku wanita. Tidak sedikit kita temui, termasuk aku sendiri, fakta bahwa para wanita yang diusianya yang sudah patut untuk memiliki pasangan hidup ternyata tidak begitu yang tertera pada skenario Allah swt. Ini fakta, bukan menerka dan bukan pula dongeng sebelum tidur. Mungkin karena sudah masanya juga, aku dibawa pengalaman untuk dapat belajar dari proses mereka yang hingga saat ini tetap bertahan dalam keteguhan hati,sebutlah itu prinsip, untuk mendapatkan pasangan bukan mesti yang terbaik dalam pandangan kita tapi yang terbaik dalam ketetapan Allah. Bukan saat kita ingin namun saat kita telah siap dalam pandangan Allah untuk mendapatkan amanah sebagai seorang istri lalu ibu. Konklusinya, So...bagi para jomblowati tidak perlu menggusarkan masalah faktor "U", jangan sampai mau menerima siapa saja karena alasan angka usia yang terus bertambah. Yakin lah, Allah menangguhkan waktunya berlandaskan sifat-Nya yang Maha Baik lagi Maha Bijaksana. Percayalah Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang taat.
Sungguh, jika aku dapat merangkai bahasa yang tepat dan baik untuk menceritakannya, sangat ingin kuceritakan dengan rinci. Dari semua itu, yang ku inginkan adalah agar banyak dari orang menjadi mengerti dan menerima bahwasanya tidak ada wanita yang ingin menikah dalam usia yang sudah terlampau. Normalnya,wanita selalu mendambakan dalam perjalanan hidupnya ada sosok yang kuat dan mampu menemani perjalanannya. Sosok yang menjadi sandaran dan pemimpinnya untuk menempuh perjalanan itu, kehidupan di dunia ini. Sosok yang akan menjadi tempat bersandar dan jalan menuju Allah. Namun, begitu banyak hal yang membuat mereka harus menunda semua harapan untuk menggenapkan separuh agama itu. Amat banyak aral yang pada akhirnya membuat detik-detik kebahagiaan itu mesti ditangguhkan. Tentu musababnya hanya masing-masing dari mereka yang tahu, elusif bagi kita karena hal itu sangat sensitif, privasi dan prinsip.
Seiring perputaran bumi mengelilingi matahari , kita semakin merasa ditempa waktu agar bisa menyadari tentang diri sendiri. Agar bisa mengenali kepada Siapa hidup ini dipersembahkan ?, untuk apa kita menjalani kehidupan, lantas apa hikmah yang akan Allah hadiahkan untuk kita setelah sedemikian rupa jenak-jenak hidup yang dilalui?. Pada akhirnya, kita menjadi lebih mengerti dari diri kita yang kemarin. Hanya saja kondisi kerap menjungkirbalikkan kembali kita dalam kebingungan. Jika kita mau berkompromi dengan nurani maka kita dapat menemukan solusinya yakni kesabaran. Ini bukanlah ilmu filsafat, bukan alur drama film yang dibuat manusia. Kehidupan kita adalah sebuah kepastian yang tidak boleh main-main kita jalani. Kata sabar merupakan kata yang tidak sedikit Allah ukir indah dalam firman-Nya. Kesabaran adakalanya dapat kita jadikan sebagai kata benda, yang difungsikan untuk menolong diri kita agar terhindar dari mengambil keputusan yang gegabah.
Banyak dari cerita mereka kutelaah mengenai atas landasan apa mereka ingin menggenapkan separuh agama. Ternyata ada dari mereka yang dipaksa kondisi untuk menikah. Ada pula dari mereka yang membatalkan proses ta'aruf karena memilih yang lain yang lebih baik dalam pandangan orang dari sisi duniawi. Parahnya, kondisi berhasil merancukan niat mereka untuk menikah. Jadilah dari mereka ada yang menikah karena gengsi, karena ingin berstatus gak lagi jadi jomblo menahun sebab rata-rata teman se-angkatan bahkan junior sudah melayarkan bahtera rumah tangga, ada juga karena ingin menunjukkan kemantan atau ttm-nya dulu bahwa dia juga bisa mendapatkan pasangan hidup yang lebih, ada pula karena tuntutan orang tua dan keluarga, ada juga karena malu dampak usia yang sudah kian bertambah, dan karena-karena banyak lainnya. Semestinya, kita menempah semurni-murninya niat untuk menggenapkan separuh agama itu karena Alllah, tanpa terinfiltrasi selain dari Dia. Disanalah pentingnya ilmu, tapi punya ilmunya saja tidak cukup, butuh kebesaran dan kerendahan hati untuk menempatkannya sesuai dengan yang dianjurkan-Nya.
Belakangan ini aku sering mendapatkan diskusi dari beberapa adik, teman, kakak tentang bagaimana sedemikian rupa perjuangan imannya agar dapat melewati ujian-ujian perasaan itu. Mereka yang menceritakan betapa getirnya pengalaman yang telah terlewati dengan orang A, B, C hingga Z yang ujung-ujungnya tidak jadi berjodoh. Meski sudah menguras habis perasaan, energi, waktu, bahkan harta. Sekian dari mereka dihadirkan Allah hanya untuk menjadi ujian belaka bukan menjadi jodoh. Lalu Allah memiliki elaborasi yang hanya waktu dapat memaparkannya kelak, sebagai bentuk jawaban dari soal-soal yang kini belum mendapatkan jawaban. Bagi kita yang belum sampai pemahamannya tentu ketika berada dalam posisi mereka akan membuat hati ambivalen, ada rasa ragu dan yakin menuju satu titik pertemuan. Begitulah ujiannya bukan ? Yang ragu, tanpa disadari telah gagal menempuh ujian 'jalan jodoh' dan yang yakin mendapat impresi baik di sisi Allah lalu Allah berikan sesuai dengan hal baik yang kita yakini itu. Sebenarnya kita hanya perlu menyibak tirai hati untuk mempercayai semua kisah kita di kehendak-Nya.
Sebab topik kita adalah cerita mereka tentang 'Jalan Jodoh', maka banyak aspek yang dapat diuraikan dari sini. Terangnya lagi, aku mendapat banyak hal dari cerita mereka tentang pentingnya menjaga hati untuk menempuh jalan jodoh itu. Sebenarnya agak terhenyak ketika mendengar pengakuan mereka bahwa setelah mereka menikah ternyata mereka masih memendam rasa di hatinya untuk yang bukan pasangan hidupnya saat ini tapi untuk seseorang yang dulu gagal berjodoh dengannya. Na'udzubillah. Pada hakikatnya, semua itu memang lah ujian keimanan. Ketika harapan tidak seirama dengan kehendak Allah. Kita banyak lebih fokus pada ketidakadilan takdir. Lalu menghadirkan gerutu panjang dari cerita yang kita reka-reka sendiri tanpa melibatkan Allah dalam cerita itu. Nah, siapa yang salah ?. Jika sedari awal harapan itu tidak digantungkan pada manusia, pasti kita tidak pernah kecewa, kan ?. Beruntunglah mereka yang selalu berupaya untuk mensterilkan hati dari segala sesuatu yang mengotori. Tidak baik menyematkan kata 'bahagia' pada satu nama. Sebab jalan jodoh adalah rahasia semesta.
Cerita belum tuntas...
Masalah perasaan, menjadi sekelumit bahan perbincangan yang hangat dikalangan kawula muda bahkan tidak menutup kemungkinan di level yang orang yang telah bekeluarga pun dapat terjangkiti problematika hati. Jelasnya, masalah hati disini akan dikerucutkan ke dalam pengertian kecenderungan pada lawan jenis, pasangan jiwa. Sejauh jangkauan pengetahuan yang kutangkap, setiap dari mereka yang masih meraba-raba takdir Allah tentang jodoh memiliki pengalaman rumit tersendiri. Sebelumnya kita sering menduga bahwa teman kita si A, si B, dan si-si yang lain sepertinya bakal anteng aja dah buat dapatin pasangan hidup. Karena kita memandang bahwa mereka telah memiliki apa saja yang menjadi kemudahan untuk menemukan pasangan hidupnya. Baik itu dari rupa, tahta, keluarga, bahkan agama. Dengan izin Allah, kita pun diberi pemahaman setelah mengetahui perjalanan kisah mereka ternyata untuk berjodoh tetap harus diuji berkali-kali, walau ada juga yang jalannya sangat dimudahkan Allah.
Aku menyaksikan langsung kisah-kisah mereka (para ladies) dalam menempuh jalan jodoh itu. Ada yang sudah sampai di garis finish dan ada yang masih berjuang menuju akhir dari perjalanan yang melelahkan tersebut. Mereka yang masih berjuang itu, benar-benar melelahkan, itulah yang didapati dari kisah mereka. Sebab wanita tidak bisa berjuang lebih selain dari melontarkan sebanyak-banyaknya puluru do'a ke kaki langit. Namun, diantara mereka juga ada yang berjuang dengan sesegukan keberanian untuk mengutarakan langsung, tentu ini tidak mudah, penuh resiko, tidak semua orang bisa menerima dan jika merasa tidak sanggup dg cara ini sebaiknya duduk manis menunggu do'a-do'a di ijabah oleh-Nya.
Terkadang ada dari mereka yang telah siap dan keluarga sudah sangat mengharapkan anaknya untuk berkeluarga. Namun terkendala dengan proses yang kesekian kali harus gagal dan gagal. Dicerita yang lain, ada yang sudah mantap saat proses lantas terhadang di restu keluarga. Ada yang terhambat karena jenjang usia, ada terhalang oleh strata finansial, tapi masih banyak yang masih duduk manis dalam kesabaran menunggu seseorang yang akan menjemputnya *sabar ya ciiiin*
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Faktor "U" adalah sebentuk variabel yang sensitif bagi segenap wanita. Eeuuummm...aku bilang begitu, sebab aku wanita. Tidak sedikit kita temui, termasuk aku sendiri, fakta bahwa para wanita yang diusianya yang sudah patut untuk memiliki pasangan hidup ternyata tidak begitu yang tertera pada skenario Allah swt. Ini fakta, bukan menerka dan bukan pula dongeng sebelum tidur. Mungkin karena sudah masanya juga, aku dibawa pengalaman untuk dapat belajar dari proses mereka yang hingga saat ini tetap bertahan dalam keteguhan hati,sebutlah itu prinsip, untuk mendapatkan pasangan bukan mesti yang terbaik dalam pandangan kita tapi yang terbaik dalam ketetapan Allah. Bukan saat kita ingin namun saat kita telah siap dalam pandangan Allah untuk mendapatkan amanah sebagai seorang istri lalu ibu. Konklusinya, So...bagi para jomblowati tidak perlu menggusarkan masalah faktor "U", jangan sampai mau menerima siapa saja karena alasan angka usia yang terus bertambah. Yakin lah, Allah menangguhkan waktunya berlandaskan sifat-Nya yang Maha Baik lagi Maha Bijaksana. Percayalah Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang taat.
Sungguh, jika aku dapat merangkai bahasa yang tepat dan baik untuk menceritakannya, sangat ingin kuceritakan dengan rinci. Dari semua itu, yang ku inginkan adalah agar banyak dari orang menjadi mengerti dan menerima bahwasanya tidak ada wanita yang ingin menikah dalam usia yang sudah terlampau. Normalnya,wanita selalu mendambakan dalam perjalanan hidupnya ada sosok yang kuat dan mampu menemani perjalanannya. Sosok yang menjadi sandaran dan pemimpinnya untuk menempuh perjalanan itu, kehidupan di dunia ini. Sosok yang akan menjadi tempat bersandar dan jalan menuju Allah. Namun, begitu banyak hal yang membuat mereka harus menunda semua harapan untuk menggenapkan separuh agama itu. Amat banyak aral yang pada akhirnya membuat detik-detik kebahagiaan itu mesti ditangguhkan. Tentu musababnya hanya masing-masing dari mereka yang tahu, elusif bagi kita karena hal itu sangat sensitif, privasi dan prinsip.
Seiring perputaran bumi mengelilingi matahari , kita semakin merasa ditempa waktu agar bisa menyadari tentang diri sendiri. Agar bisa mengenali kepada Siapa hidup ini dipersembahkan ?, untuk apa kita menjalani kehidupan, lantas apa hikmah yang akan Allah hadiahkan untuk kita setelah sedemikian rupa jenak-jenak hidup yang dilalui?. Pada akhirnya, kita menjadi lebih mengerti dari diri kita yang kemarin. Hanya saja kondisi kerap menjungkirbalikkan kembali kita dalam kebingungan. Jika kita mau berkompromi dengan nurani maka kita dapat menemukan solusinya yakni kesabaran. Ini bukanlah ilmu filsafat, bukan alur drama film yang dibuat manusia. Kehidupan kita adalah sebuah kepastian yang tidak boleh main-main kita jalani. Kata sabar merupakan kata yang tidak sedikit Allah ukir indah dalam firman-Nya. Kesabaran adakalanya dapat kita jadikan sebagai kata benda, yang difungsikan untuk menolong diri kita agar terhindar dari mengambil keputusan yang gegabah.
Banyak dari cerita mereka kutelaah mengenai atas landasan apa mereka ingin menggenapkan separuh agama. Ternyata ada dari mereka yang dipaksa kondisi untuk menikah. Ada pula dari mereka yang membatalkan proses ta'aruf karena memilih yang lain yang lebih baik dalam pandangan orang dari sisi duniawi. Parahnya, kondisi berhasil merancukan niat mereka untuk menikah. Jadilah dari mereka ada yang menikah karena gengsi, karena ingin berstatus gak lagi jadi jomblo menahun sebab rata-rata teman se-angkatan bahkan junior sudah melayarkan bahtera rumah tangga, ada juga karena ingin menunjukkan kemantan atau ttm-nya dulu bahwa dia juga bisa mendapatkan pasangan hidup yang lebih, ada pula karena tuntutan orang tua dan keluarga, ada juga karena malu dampak usia yang sudah kian bertambah, dan karena-karena banyak lainnya. Semestinya, kita menempah semurni-murninya niat untuk menggenapkan separuh agama itu karena Alllah, tanpa terinfiltrasi selain dari Dia. Disanalah pentingnya ilmu, tapi punya ilmunya saja tidak cukup, butuh kebesaran dan kerendahan hati untuk menempatkannya sesuai dengan yang dianjurkan-Nya.
Belakangan ini aku sering mendapatkan diskusi dari beberapa adik, teman, kakak tentang bagaimana sedemikian rupa perjuangan imannya agar dapat melewati ujian-ujian perasaan itu. Mereka yang menceritakan betapa getirnya pengalaman yang telah terlewati dengan orang A, B, C hingga Z yang ujung-ujungnya tidak jadi berjodoh. Meski sudah menguras habis perasaan, energi, waktu, bahkan harta. Sekian dari mereka dihadirkan Allah hanya untuk menjadi ujian belaka bukan menjadi jodoh. Lalu Allah memiliki elaborasi yang hanya waktu dapat memaparkannya kelak, sebagai bentuk jawaban dari soal-soal yang kini belum mendapatkan jawaban. Bagi kita yang belum sampai pemahamannya tentu ketika berada dalam posisi mereka akan membuat hati ambivalen, ada rasa ragu dan yakin menuju satu titik pertemuan. Begitulah ujiannya bukan ? Yang ragu, tanpa disadari telah gagal menempuh ujian 'jalan jodoh' dan yang yakin mendapat impresi baik di sisi Allah lalu Allah berikan sesuai dengan hal baik yang kita yakini itu. Sebenarnya kita hanya perlu menyibak tirai hati untuk mempercayai semua kisah kita di kehendak-Nya.
Sebab topik kita adalah cerita mereka tentang 'Jalan Jodoh', maka banyak aspek yang dapat diuraikan dari sini. Terangnya lagi, aku mendapat banyak hal dari cerita mereka tentang pentingnya menjaga hati untuk menempuh jalan jodoh itu. Sebenarnya agak terhenyak ketika mendengar pengakuan mereka bahwa setelah mereka menikah ternyata mereka masih memendam rasa di hatinya untuk yang bukan pasangan hidupnya saat ini tapi untuk seseorang yang dulu gagal berjodoh dengannya. Na'udzubillah. Pada hakikatnya, semua itu memang lah ujian keimanan. Ketika harapan tidak seirama dengan kehendak Allah. Kita banyak lebih fokus pada ketidakadilan takdir. Lalu menghadirkan gerutu panjang dari cerita yang kita reka-reka sendiri tanpa melibatkan Allah dalam cerita itu. Nah, siapa yang salah ?. Jika sedari awal harapan itu tidak digantungkan pada manusia, pasti kita tidak pernah kecewa, kan ?. Beruntunglah mereka yang selalu berupaya untuk mensterilkan hati dari segala sesuatu yang mengotori. Tidak baik menyematkan kata 'bahagia' pada satu nama. Sebab jalan jodoh adalah rahasia semesta.
Cerita belum tuntas...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar