Rabu, 23 Agustus 2017

Waktu

Gadis itu tetiba tak sadarkan diri, kemudian ada sosok yang tak mengerti hadir dihadapannya.

Suasana menjadi semakin kacau, langit bergemuruh. Gadis itu menatap lekat ayahnya yang tengah tersenyum dengan gadis kecil di sebuah rumah.

Mengapa ? Gumam gadis itu, sosok yang disampingnya hanya melihatnya dengan tatapan kaku

"Kau tahu waktu tidak pernah berteman dengan siapa pun"

Gadis itu terperangah...

"Siapa kau?" bentak gadis itu gerah

Atmosfer yang berbeda muncul memaksa gadis itu untuk menyaksikan sendiri tangisannya di kerumunan orang-orang yang tengah berziarah ke makam ayahnya. Seluruh tubuh gadis itu lunglai, lalu sosok disampingnya menompang tubuhnya yang setengah rebah.

"Kau tahu, segala sesuatu ada akhirnya dan kau mesti berpisah dengan hal yang paling kau cintai pada saat itu"

Gadis itu mulai pasrah... Saat ia sadar ia tengah menggengngam erat  jam tangan pemberian ayahnya, hijau lumut dengan tali yang lucu. Sudah 15 tahun usianya.
..kini sudah tak lagi berdetak.

"Benar, kita tidak bisa mengubah masa lalu. Namun kita bisa mengambil sesuatu yang berharga darinya." gumam gadis itu memandang jam kesayangannya yang telah lama tak berfungsi selaras dengan tak ada lagi nyawa. Begitu pula dengan Ayahnya, laki-laki yang pertama mencintainya dan tak putus terus mencintainya hingga batas yang ditentukan cinta itu hilang ditelan rimba kenangan. Tidak lagi hadir kecuali hanya dalam mimpi.

Selasa, 22 Agustus 2017

Menjadi Orang-Orang Menang



Arus kehidupan nan deras acap kali menebas jiwan setiap diri dari kedekatan dari Rabbnya. Kala seruan menuju kemenangan (Adzan, ‘Hayya ‘ala shalaa’) dikibarkan ke seantaro udara maka hanya segelintir mereka yang merasakan bahwa seruan itu ditujukan pada dirinya. Mereka itulah pribadi-pribadi yang berhak dikatakan  sebagai  pemenang. Kesyahduan rasa saat bersama Rabbnya dalam shalat menjadikan mereka bersegera untuk dapat mereguk manisnya iman, teduhnya cinta, dan pengembaraan damai di taman hati yang penuh dengan penghambaan pada-Nya. MasyaAllah…

Para pemenang itu akan menyambut hari-harinya dengan optimisme yang terarah, semangat yang menggelora,  pantang baginya bertekuk lutut dipangkuan putus asa, apalagi besidekap dalam nelangsa lara. Sebab, hatinya telah teruhubung dengan Dzat Maha Besar yang senantisa diagungkan dengan ketulusan hati dalam lafadz “AllahuAkbar” dalam shalatnya  maka tak ayal mereka adalah pemilik jiwa besar yang terus mengakses energi besar untuk menerjang badai kehidupan, terik mentari, dan tantangan yang menerjang di depan. 

Sungguh kita (saya khususnya) masih setia belajar untuk menjadi sebaik-baik pemenang dan mendapatkan kemenangan sejati itu. Masih ada waktu kita untuk berbenah menuju kemenangannan dirindukan tersebut. Menggunakan sisa waktu yang dikaruniakan oleh Allah Yang Maha Baik ini sebagai aset berharga dalam memperbaiki kualitas shalat kita. Kembali mempelajari ilmunya yang sesuai tuntunan sunnah Nabi, mengerjakannya dengan menghadirkan hati yang penuh harap, takut, dan rindu akan Dzat-Nya Yang Menciptakan kita serta memberi kita nikmat tak hingga jumlahnya.

Mudah-mudahan kita tergolong orang-orang yang menang dengan menegakkan shalat dan menghiasinya dengan kekhusyukan  serta ketulusan hati  demi mendapatkan keridhoan-Nya. Memenangkan diri atas peperangan melawan kemunafikan, nafsu duniawi, dorongan syaitani, keterjeratan mental pemalas, kebobrokan akhlak, kekotoran lisan, kekeruhan akal, dan kesesatan. Mari Menangkan !!!

“Peliharalah semua shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (Q.S.al-Baqarah: 238)
                                                                

Efek Sosial dari Shalat



Selama ini pembahasan tentang shalat masih banyak bertengger pada level teknis, terkait waktu, tata cara, dan teori mengenai kekhusyukan dalam shalat. Pembahasan terkait pengaruh pelaksanaan shalat yang berkualitas terhadap efek yang ditimbulkan masih belum maksimal dikuliti. Dapat dianalogikan seperti teori aksi-reaksi dalam fisika. Setiap aksi yang dilakukan pasti menimbulkan reaksi. Maka setiap reaksi yang diamati atau teramati bisa dipelajari dari aksi yang telah dilakukan. Setara pula dengan teori dalam kimia, yakni setiap reaksi kimia yang timbul pasti dari perlakuan terhadap beberapa zat kimia yang disintesis. Maka dapat disimpulkan, jika hasil dari reaksi tidak sesuai dengan keinginan maka kita dapat memperbaiki perlakuan terhadap sintesis zat-zat kimia yang diinginkan. Begitu pula dalam shalat, semestinya sikap, tindakan, akhlak seseorang akan tercermin dari kualitas shalatnya. Tidak mungkin hati yang terhubung  baik kepada Allah dalam shalat berani melakukan hal-hal yang tidak Allah sukai diluar shalatnya.

Allah berfirman dalam Q.S. al-Mukminun [23] ayat 2:
“(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya,”

Serta dalam Q.S. al-Ma’arij [70] ayat 22:
“kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,”

Salah atu contohnya, penjelasan ayat sebelumnya pada surat al-Ma’arij disampaikan akhlak tercela dalam sosial yakni tamak, berkeluh kesah, dan kikir. Dan ketiga sifat ini tidak muncul dalam diri seseorang yang mengerjakan shalat, jelas bukan shalat yang hanya bersandar pada kuantitas melainkan kualitasnya. Masih banyak ayat tematik yang berkaitan mengenai akhlak-akhlak buruk dalam sosial yang menjadi muara dari degradasi moral.

Terkait dengan efek sosial dari shalat secara makro, kita dapat mengambil suatu penggalan kalimat yang sangat masyhur yakni “ Membaiknya keadaan suatu masyarakat dapat dilihat dari jumlah jama’ah shalat subuh yang sama dengan shalat jum’at.” Menurut DR.Ahmad Khairi al-Umari dalam bukunya “ Buat Apa Kita Shalat?” dinyatakan bahwa, teori ini hanya berfokus pada kuantitas, seakan-akan kuantitas adalah satu-satunya solusi. Teori tersebut tidak sejalan dengan nash apa pun dalam syari’at. Nash dalam al-Qur’an menegaskan bahwa jumlah yang banyak tidak penting jika harus mengorbankan kualitas. Dalam perang Hunain, jumlah tentara yang begitu banyak nyaris mengakibatkan kekalahan.

Bila saf-saf shalat di mesjid semakin bertambah, mesjid kian ramai dari waktu ke waktu. Semesti ada efek yang ditimbulkan dalam dunia sosial. Degradasi moral tidak lagi berkecambah melainkan akhlaqul karimahlah yang mewarnai pesona dalam hidup bermasyarat. Dari kenyataan ini, kita perlu sama-sama mengoreksi diri. Bisa jadi shalat-shalat yang telah dilaksanakan masih pada poin kuantitas belum mendapatkan poin kualitas. Seringkali kita telah berupaya hadir dalam jama’ah shalat tepat waktu, namun dalam rangkaian shalat kita masih membiarkan kekhusyukan direbut oleh kepentingan dunia.  Shalat merupakan solusi yang Allah tawarkan bagi setiap hamba-Nya yang digeluti masalah, shalat menjadi wasilah pertolongan Allah, shalat merupakan saat terdekat seorang hamba dengan Rabb yang Menguasai Alam Semesta dan segala sesuatu, shalat adalah ruang unuk merekontruksi hati yang bersih dan akhlak yang indah.

Dengan pengetahuan yang masih sedebu ini, semoga membuat hati kita semakin bersungguh-sungguh memperbaiki kualitas shalat. Dengan memulai memperbaiki diri sendiri maka kita telah membantu memperbaiki satu batu bata dalam perbaikan sosial masyarakat. Jika setiap diri telah menekuni shalatnya dalam kualitas yang Allah sukai, insyaAllah terciptanya masyarakat madani bukan lagi sebatas imijinasi, tapi realita yang akan Allah tetapkan bagi bangsa ini.

Zaman Ini



Aku tak mau menentang kenyataan dan keadaan.
aku akan berjuang untuk terus maju.
aku selalu berusaha untuk mengubah hidup ku.
                                       
ini adalah zaman, kala materialisme menjadi tonggak ukuran kemana setiap acuan hidup difungsikan.
Ini adalah zaman, siapa tidak ikut gila tidak kebagian.            
Ini adalah zaman, dicabutnya hati dari akar jiwa-jiwa yang nelangsa.
Ini adalah zaman, siapa yang tidak menzalimi orang akan dizalimi.
Ini adalah zaman, persekutuan antara dilema dan keangkuhan mulai berkecambah.
Ini adalah zaman, perseteruan kebenaran dan kebatilan yang membara.
Ini lah zaman nya…Zaman ku
Pengecut telah menjadi mahkota anak laki-laki.
Gadis-gadisnya membuka sejengkal demi sejengkal kehormatan yang semestinya tertutup rapi
Wahai jiwa, turun lah berlaga.
Turun lah atau harus kah engkau dipaksa.
Jangan buat Tuhan kembali murka.
dulu-dulu kaum tsamud telah binasa dan kamu ‘Ad juga.
Bahkah sekampung Nuh telah diberingus air bah.
Kini turun lah berlaga.  kau atau bukan siapa sama sekali.
Jangan buat Tuhan kembali murka.

12 Juli



Ini tentang juli pada angka 12, di mana bulan pernah jatuh ke bumi; menemaniku dan tidak mau berlama-lama melihatku menangis sendiri. Sebab langit tahu apa itu kehilangan. Di sana aku pernah menahan Ayah agar tak pergi, menabrak rasi-rasi yang menertawai kenangan yang menari-nari. tak bisa lagi. Ayah pergi selamanya, enggan tuk kembali. terpaksa ku cipta syair elegy.

Ini tentang juli pada angka 12.  Hari terputusnya ciptaan kenangan. awal berisinya puluhan surat-surat rindu yang tak pernah sampai, ratusan kalimat-kalimat tanya yang tak menemukan jawab, berjuta harap yang terhenti sekejap. Tubuhnya telah menjadi kaku, bisu, dan dingin. Aku termangu di pelataran kepergian. Jalan cerita ku kini tak lagi ber Ayah. Akhirnya, ketegaran bukan sebatas permainan peran.

Ini tentang juli pada angka 12.  Aku hanya bisa diam mematung. Tak bergeming dan hati ku hening. Lalu aku mengadu pada sepi yang di sesapi seorang diri, (lagi) tentang rindu yang tak kunjung jemu. Bertahta lah rindu saat jarak tengah membelenggu. Dalam sapuan detik, Ayah pergi tanpa menyapa dan meninggalkan ku begitu saja.

Ini tentang juli pada angka 12. Aku  punya banyak alasan untuk tersenyum di temaran rambutnya dewi malam ini, meski di antaranya tidak ada Ayah, aku pikir tak mengapa.  Sudahlah. Ayah sudah tenang disana. Malam terlalu luar biasa untuk ku duakan dengan kesedihan lagi. Semoga disana Ayah pun berbahagia dan selalu disayang Allah.

*salam rindu sepenuh jagad dari anak ayah


Keep Going Anyway



Sesulit apapun persoalan yang mesti diselesaikan, yakinlah bahwa Allah adalah Dzat Maha Mengetahui solusi terbaik atas persoalan yang tengah dihadapi. Tugas seorang yang tengah di uji adalah melaksanakan dengan segenap potensi yang dimiliki. Hmmm layaknya tentang perjuangan pulang kampung semester kemarin. Untuk kesekian kali hal serupa terjadi. Bermalaman bahkan 48 jam menghabiskan waktu tunggu di bandara. haha. Butuh kreatifitas iman dalam memanajemen hati dan akal agar prahara dapat menjadi anugrah.

ya Udah..keep going any way !

seperti untuk menyelesaikan tesis saat ini. Sulit memang, namun tidak ada pilihan selain menjalani dan menyempurkan sebaik-baik ikhtiar.