Minggu, 20 Agustus 2017

Tetap Berjuang dan Memperjuangkan



Sungguh perjalanan ini meletihkan. Para pendahulu bumi yang Suci pun mengakuinya. Nabi Adam as pun letih menjelajahi bumi mencari hawa dan menopang hidup dengan berbekal takwa, akhirnya ia sampai pada akhir perjalanan mulia. Nabi Nuh as pun letih, berdakwah puluhan abad sedang pengikutnya hanya terhitung puluhan orang saja, dengan berbekal sabar Nuh menempuhnya sampai pada akhir perjalanan yang mulia. Nabi Ibrahim as pun letih, menghadapi kobaran api dari penguasa yang zalim, dengan izin Allah api pun mendingin karena Ibrahim hamba yang shalih. Akhirnya, Ibrahim pun sampai pada akhir perjalanan yang mulia. Nabi Ismail as pun letih, walau harus disembelih. Dengan ketaatan Ismail pun sampai pada akhir perjalanan yang mulia. Nabi Yusuf as pun Letih, walau harus di masukkan dalam sumur, dipenjarakan, difitnah, bahkan diuji berkali-kali. Dengan mengharap ridho Allah Yusuf sampai pada akhir perjalanan yang mulia.Nabi as Zakaria digergaji, Nabi Yahya as disembelih, Nabi Ayub as menderita penyakit, Nabi Daud as menangis melebihi kadar semestinya, Nabi Isa as berjalan sendirian, dan Rasulullah Muhammad Shallallaahu'alaihiwasallam mendapatkan kefakiran dan berbagai gangguan. Semua dari Mereka merasakan letih, namun akhirnya sampai pada titik berhenti yang mulia.
Tahun sangat tahu bahwa kita bergelut dengannya. Mencandai bulan yang terus berganti, adakalanya bersitegang dengan minggu sebab susunan jadwal yang padat, mungkin bersedih karena hari dengan ketidaksiapan hati menghadapi pemberian Allah dalam bentuk ujian hidup. Kadang termangu bersama jam menunggu hal yang membahagiakan hadir. Bisa jadi terpulas bersama menit-menit dengan setumpuk pekerjaan yang dituntut untuk selesai. Kini.... sisa-sisa detiknya mari diperindah dengan mencari hikmah untuk apa kita bersama waktu?. Kita sudah sama-sama tahu bahwa Allah mensakralkan sumpah-Nya atas waktu. Rasul saw menyampaikan waktu luang adalah nikmat yang kerap luput dari pengetahuan kebanyakan manusia. Sehingga menghabiskannya pada hal-hal yang tak menghebatkan masa depan di dunia , tak memuliakan masa akhir di yaumul akhir. Pesan-pesan suci ini menghadirkan kekhawatiran dalam diri. Jangan-jangan kita begitu. Atau mungkin kita belum menemukan untuk menjadi versi terbaik dalam mengolah waktu. Sejatinya kita dapat menemukan petunjuk mengelola waktu dalam Firman-Nya, Kitab Pembeda, Al-Qur'an. Kata orang shalih semua lengkap disana. Pun ada yang ingin kita cari tahu lebih tentang tuntunan nyaman hidup ini,  maka singgahkanlah mata untuk membaca hadist, persilahkan telinga untuk mendengarkan sabda. Mudah-mudahan kita bukanlah bagian dari kelalaian memanfaatkan waktu.
Yang lain sudah memulai lebih awal. Dan kita belum pernah terlambat. Kehidupan memang seperti itu. Bukan untuk saling mendahului. Kehidupan untuk saling mengajarkan. Kita bisa belajar dari kehidupan yang lain untuk kehidupan kita. Kita pun begitu. Sedang belajar. Belajar menata kehidupan. Belajar mengatur perjalanan hidup. Terlebih saat ini belajar menghabiskan ego. Sebab ego ini terbilang cukup banyak. Tentang impian ini dan itu, ingin membeli ini dan itu, ingin menjadi ini dan itu, ingin mendapatkan ini dan itu. Semuanya bersifat personal. Hari-hari besok akan kita upayakan agar dapat meminimalisirnya. Sampai ego itu habis. Dan kita dapat mengkompromikannya bersama bukan lagi sendiri. Saat itu, kita akan melanjutkan impian kita dengan diskusi bersama pada orang yang tepat. Orang yang akan menjadi rencana-rencana hidup yang akan dibuat itu. Sepanjang tahun-tahun dulu kita terus belajar untuk ini. Dan tentang menghabiskan ego pun juga kita pelajari dari kehidupan orang yang lebih mengawali.
Rasanya perjalanan ini masih sangat jauh. Entah perjalanan ini akan mendekatkan pada bahagia atau nestapa. Kita sedang sama-sama memaksimalkan ikhtiar bukan ?. Untuk saat ini, marilah kita duduk di atas bumi yang tengah berotasi. Walau duduk sendiri-sendiri di tempat masing-masing. Kita perhatikan daun nan berguguran, yang tidak pernah menggerutu pada angin, bahkan saat dibawa kemanapun yang angin pilih tuk menjatuhkannya. Mungkin daun yakin bahwa angin takkan pernah salah memilih. Tak pernah memilih tempat yang menyakiti. Daun akan ditempatkan pada bumi yang tulus menerimanya untuk dijadikan sahabat tanah. Santapan kebersamaan mereka. Sudah kah kita perhatikan ?. Kalau begitu perjalanan ini masih sangat jauh. Sedang kita sibuk menyelesaikan urusan sendiri-sendiri. Sibuk menata banyak hal. Menyudahi masa lalu, menghidupkan masa kini, dan merencanakan masa depan. Maka janganlah berhenti.
Diperjalanan ini kita coba melapangkan hati. Dengan melapangkan hati kita bisa memahami banyak hal. Dengan melapangkan hati kita bisa menerima banyak hal. Dengan melapangkan hati kita bisa melihat banyak hal dengan positif. Memahami bahwa akan ada yang datang dan pergi. Datang dengan karakternya masing-masing, walau tak semuanya berkesan dan cocok. Lalu, ada yang pergi dengan meninggalkan cepisan kebaikan yang membuat hati terus mengenangnya, kadang merindukannya kembali walau takkan pernah lagi kembali. Kelapangan hati inilah yang memahamkan kita bahwa di perjalanan jauh ini kita akan terus bertemu dan berpisah.
Ada baiknya kita menjelma menjadi gamma. Bebas memutuskan perjalanan. Menembus apapun yang ingin dilaluinya. Tak terpengaruh oleh medan listrik, medan magnet, bahkan grafitasi. Hebat ! Adakah yang bisa mengubah diri kita menjadi gamma ? Sehingga nanti kita dapat menerobos apapun dinding ujian dari-Nya tanpa dibelokkan oleh niat yang lain selain mendambakan kemuliaan disisi-Nya.
Ada baiknya kita menjelma menjadi hujan. Datang ke bumi setulus keinginan. Hanya demi menemui setiap apa saja yang merindukan hadirnya. Walau banyak manusia yang jengkel dan mencaci maki hujan karena bajunya yang basah atau menghambat acara yang tengah di adakannya saat itu, saat hujan ditakdirkan untuk terjun ke bumi. Hujan akan memeluk siapapun yang bertengger di atas bumi tanpa pilih-pilih. Hujan tak peduli dengan kebencian makhluk. Ia datang ke bumi hanya untuk mematuhi titah Allah. Yakni bercengkrama bersama para tetumbuhan. Mengarus bersama sungai, bahkan rela mengendap kedalam bumi. Sampai datang panggilan dari langit, hujan akan naik bersama terik mentari, kembali bersemayam di gemawan atas sana.
Ada pula waktunya roda-roda kita kelihatannya tidak lagi berputar. Padahal kita memutarnya. Walau dengan pelan. Gaya berat di atas kehidupan ini meraibkan gerak kita berjalan. Padahal kita tak berhenti memutarnya. Sungguh, setelah kita sedikit tahu bahwa seorang pemenang takkan berhenti hingga ia mencapai harapan. kita pun tertatih untuk dapat mengerakkan kaki ini agar tak terhenti. Kenapa kita juga tak bergerak. Mungkinkah kita butuh torsi yang lebih besar ? Sebuah gaya yang mampu merotasikan hidup dengan lesatan yang tak tertandingi. Setidaknya mempercepat kita untuk sampai pada harapan. Bisa jadi torsi itu sedekah. Sebab 1-1 tidak lagi 0 namun jadi 11. Betapa bahagianya bila torsi itu adalah sedekah. Ulama meyakini itu betul. Jadi kita tak mungkin lagi mengelaknya.
Sore ini kita lihat mendung mengkanfas langit. Siluet senja menggurat jelas di wajah angkasa. Setidaknya, apabila memandang langit jingga itu kita dapat merasakan hal yang sama dengan insan dibelahan bumi lain yang berhasrat tuk dihibur menjelang datang malam. Langit sekalipun tak pernah malu memandang kita bukan?. Membuat kita bisa bertahan lama memikirkan keagungan Penciptanya. Hanya kita saja yang malu pada Rabb kita, sebab amalan kita tumpang, ibadah kurang, dzikir jarang, namun karunia-Nya selalu sempurna. Semoga kita masih diberi izin  tuk kembali meminta. Meminta tentang banyak hal yang membantu diri untuk mendapatkan keridhoan-Nya.
Pernahakah kita sempat terfikir tuk melautkan diri. Sempitnya hati ini tak jarang cuma menyisakan tekanan. Berbeda dengan laut yang  dengan kelapangannya membuat laut mampu menampung apapun yang masuk tanpa harus berceloteh panjang, tanpa harus mengeluh, tanpa harus merasa tertekan, tanpa harus melaknat Allah atas apa yang telah masuk. Damai bukan ? Cukup mendamaikan bagi orang seperti kita, insan yang masih memiliki perjalanan yang belum tahu persinggahannya. Kelapangan itu amat cukup membantu. Jika kita mampu melapangkan hati tuk mencintai Allah, maka Allah akan melapangkan hati-hati manusia tuk mencintai kita dengan kecintaan yang lebih. Ah...kita jadi ingat orang tua kita untuk hal ini. Manusia pilihan Allah yang belum pernah bisa atau mungkin tak bisa untuk dibalas cintanya sebab cinta mereka adalah cinta Allah. Cinta yang Maha Agung dari segala cinta.
Memang hidup ini menarik, jika paham caranya. Tak ada salahnya kita belajar  makna “Berserah Diri”. Apakah harus mengalah kepada angin, membiarkan diri dihempas dan tak perlu memikirkan kemanaakan  jatuh ? Apakah harus mengalah kepada arus, hanyut ke tempat-tempat jauh yang tak pernah tahu dimana akhirnya ?Atau kita biarkan berjalan sendiri. Ada satu waktu dimana rasanya lelah itu mendaki hingga sampai ke puncak. Mungkin selepas usaha yang begitu meresahkan. Mungkin selepas berlari kencang mengejar deadline. Adakalanya karena goresan luka yang mulai menganga. Adakalanya karena kecewa. Semua menjadi sangat lelah, memberingas menuju sel-sel otak.
Kita cukup percaya. Kini juga belajar mempercayakan hidup pada sebuah garis yang tidak pernah kita lihat dimana ujungnya.
Pada garis hidup yang telah ada sebelum semua ada.
Pada sebuah cerita dimana manusia adalah pemeran utamanya.
Dimulai dengan sebuah pemahaman, bahwa bentuk takdir yang ditemui, semua diciptakan dengan tujuan baik. Hanya butuh waktu untuk menafsirkan semua. Bisikkan saja keluhan pada bumi di sepanjang tubuh sepertiga malam, agar langsung bumi menyampaikan pesan ini pada Pemangku Langit.
Roda aktifitas sehari-hari kita sering melesat dengan kelajuan menerus, percepatan yang bertambah. Hampir-hampir tangan jiwa kita hilang kendali. Akal pun tergoncang hebat. Apalagi tubuh yang sudah terasa penat  menyelusup sekehendaknya saja.  Jika begitu, maka tak perlu mengayuh terlalu penuh pedal sepeda.  Rehat lah barang sebentar.
Pernahkan memandang langit siang, teriknya kepalang tak tanggung. seperti ada binatang melayang hinggap di penglihatan saat mata mengarah ke langit. Apakah kita sudah benar-benar letih. Mungkin sudah letih disini, di tempat dimana kita tak kunjung pergi dari gusar. Maka dipersinggahan yang sementara ini, kita ingin berarti.
Kita ingin mengabdi, kita ingin dalam ridho Ilahi.
Sedari dulu, kini, dan nanti kita tak pernah tahu di titik mana akan bertemu solusi. Bersabarlah lalu merengeklah akan pertolongan Allah. Ia senjata mukmin yang tak pernah tumpul. Pada hakikatnya zaman terus berevolusi pada satu poros yang pasti yakni kiamat. Untuk itu, ikutlah berevolusi bersama tasbih bumi mengelilingi matahari.
            Ketika bahan bakar habis dan kita tidak  memungkinkan lagi melanjutkan perjalanan. Jiwa kita mesti memberontak bahwa kita tak boleh berhenti !, karena dunia ini bukanlah tempat yang nyaman tuk istirahat. Temukanlah bahan bakar itu diselubung alam semesta. Ia setia bersembunyi disana hingga kita mau menjemputnya. Para sufi menceritakan bahwa ia bisa kita ambil di sepertiga malam, saat kebanyakan manusia senyap dalam tabur mimpinya masing-masing. Mengendap-endaplah bentangkan sajadah. Luruskan hati pada Sang Maha Luas Kekuasaannya, Raja dari segala Raja, Pemilik Segala Sesuatu tanpa terkecuali. Lantunkan nada-nada tasbih dalam kekhusyukan. Rendahkan kepala tepat diatas bumi. Memintalah. Disana transfer energi terjadi. Sepanjang Mentari menemani hari kita sibuk dengan aktifitas yang beragam. Energi itu akan menjaga kita  tetap kuat untuk melanjutkan perjalanan. Berjuanglah bersamanya….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar