Selama ini
pembahasan tentang shalat masih banyak bertengger pada level teknis, terkait
waktu, tata cara, dan teori mengenai kekhusyukan dalam shalat. Pembahasan
terkait pengaruh pelaksanaan shalat yang berkualitas terhadap efek yang
ditimbulkan masih belum maksimal dikuliti. Dapat dianalogikan seperti teori
aksi-reaksi dalam fisika. Setiap aksi yang dilakukan pasti menimbulkan reaksi.
Maka setiap reaksi yang diamati atau teramati bisa dipelajari dari aksi yang
telah dilakukan. Setara pula dengan teori dalam kimia, yakni setiap reaksi
kimia yang timbul pasti dari perlakuan terhadap beberapa zat kimia yang
disintesis. Maka dapat disimpulkan, jika hasil dari reaksi tidak sesuai dengan
keinginan maka kita dapat memperbaiki perlakuan terhadap sintesis zat-zat kimia
yang diinginkan. Begitu pula dalam shalat, semestinya sikap, tindakan, akhlak
seseorang akan tercermin dari kualitas shalatnya. Tidak mungkin hati yang
terhubung baik kepada Allah dalam shalat
berani melakukan hal-hal yang tidak Allah sukai diluar shalatnya.
Allah berfirman
dalam Q.S. al-Mukminun [23] ayat 2:
“(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam
shalatnya,”
Serta dalam Q.S.
al-Ma’arij [70] ayat 22:
“kecuali orang-orang yang mengerjakan
shalat,”
Salah atu
contohnya, penjelasan ayat sebelumnya pada surat al-Ma’arij disampaikan akhlak
tercela dalam sosial yakni tamak, berkeluh kesah, dan kikir. Dan ketiga sifat
ini tidak muncul dalam diri seseorang yang mengerjakan shalat, jelas bukan
shalat yang hanya bersandar pada kuantitas melainkan kualitasnya. Masih banyak
ayat tematik yang berkaitan mengenai akhlak-akhlak buruk dalam sosial yang
menjadi muara dari degradasi moral.
Terkait dengan
efek sosial dari shalat secara makro, kita dapat mengambil suatu penggalan
kalimat yang sangat masyhur yakni “ Membaiknya keadaan suatu masyarakat dapat
dilihat dari jumlah jama’ah shalat subuh yang sama dengan shalat jum’at.” Menurut
DR.Ahmad Khairi al-Umari dalam bukunya “ Buat
Apa Kita Shalat?” dinyatakan bahwa, teori ini hanya berfokus pada
kuantitas, seakan-akan kuantitas adalah satu-satunya solusi. Teori tersebut tidak
sejalan dengan nash apa pun dalam syari’at. Nash dalam al-Qur’an menegaskan
bahwa jumlah yang banyak tidak penting jika harus mengorbankan kualitas. Dalam
perang Hunain, jumlah tentara yang begitu banyak nyaris mengakibatkan
kekalahan.
Bila saf-saf shalat
di mesjid semakin bertambah, mesjid kian ramai dari waktu ke waktu. Semesti ada
efek yang ditimbulkan dalam dunia sosial. Degradasi moral tidak lagi berkecambah
melainkan akhlaqul karimahlah yang mewarnai pesona dalam hidup bermasyarat. Dari
kenyataan ini, kita perlu sama-sama mengoreksi diri. Bisa jadi shalat-shalat
yang telah dilaksanakan masih pada poin kuantitas belum mendapatkan poin
kualitas. Seringkali kita telah berupaya hadir dalam jama’ah shalat tepat
waktu, namun dalam rangkaian shalat kita masih membiarkan kekhusyukan direbut
oleh kepentingan dunia. Shalat merupakan
solusi yang Allah tawarkan bagi setiap hamba-Nya yang digeluti masalah, shalat
menjadi wasilah pertolongan Allah, shalat merupakan saat terdekat seorang hamba
dengan Rabb yang Menguasai Alam Semesta dan segala sesuatu, shalat adalah ruang
unuk merekontruksi hati yang bersih dan akhlak yang indah.
Dengan
pengetahuan yang masih sedebu ini, semoga membuat hati kita semakin
bersungguh-sungguh memperbaiki kualitas shalat. Dengan memulai memperbaiki diri
sendiri maka kita telah membantu memperbaiki satu batu bata dalam perbaikan
sosial masyarakat. Jika setiap diri telah menekuni shalatnya dalam kualitas
yang Allah sukai, insyaAllah terciptanya masyarakat madani bukan lagi sebatas imijinasi,
tapi realita yang akan Allah tetapkan bagi bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar