Ini tentang juli pada angka 12, di mana bulan pernah jatuh ke bumi; menemaniku dan tidak mau berlama-lama melihatku menangis sendiri. Sebab langit tahu apa itu kehilangan. Di sana aku pernah menahan Ayah agar tak pergi, menabrak rasi-rasi yang menertawai kenangan yang menari-nari. tak bisa lagi. Ayah pergi selamanya, enggan tuk kembali. terpaksa ku cipta syair elegy.
Ini tentang juli pada angka 12. Hari terputusnya ciptaan kenangan. awal berisinya puluhan surat-surat rindu yang tak pernah sampai, ratusan kalimat-kalimat tanya yang tak menemukan jawab, berjuta harap yang terhenti sekejap. Tubuhnya telah menjadi kaku, bisu, dan dingin. Aku termangu di pelataran kepergian. Jalan cerita ku kini tak lagi ber Ayah. Akhirnya, ketegaran bukan sebatas permainan peran.
Ini tentang juli pada angka 12. Aku hanya bisa diam mematung. Tak bergeming
dan hati ku hening. Lalu aku mengadu pada sepi yang di sesapi seorang diri,
(lagi) tentang rindu yang tak kunjung jemu. Bertahta lah rindu saat jarak
tengah membelenggu. Dalam sapuan detik, Ayah pergi tanpa menyapa dan
meninggalkan ku begitu saja.
Ini tentang juli pada angka 12. Aku punya banyak alasan untuk tersenyum di temaran
rambutnya dewi malam ini, meski di antaranya tidak ada Ayah, aku pikir tak
mengapa. Sudahlah. Ayah sudah tenang
disana. Malam terlalu luar biasa untuk ku duakan dengan kesedihan lagi. Semoga
disana Ayah pun berbahagia dan selalu disayang Allah.
*salam rindu sepenuh jagad dari anak ayah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar