Tampilkan postingan dengan label inspirasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label inspirasi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 Agustus 2017

Efek Sosial dari Shalat



Selama ini pembahasan tentang shalat masih banyak bertengger pada level teknis, terkait waktu, tata cara, dan teori mengenai kekhusyukan dalam shalat. Pembahasan terkait pengaruh pelaksanaan shalat yang berkualitas terhadap efek yang ditimbulkan masih belum maksimal dikuliti. Dapat dianalogikan seperti teori aksi-reaksi dalam fisika. Setiap aksi yang dilakukan pasti menimbulkan reaksi. Maka setiap reaksi yang diamati atau teramati bisa dipelajari dari aksi yang telah dilakukan. Setara pula dengan teori dalam kimia, yakni setiap reaksi kimia yang timbul pasti dari perlakuan terhadap beberapa zat kimia yang disintesis. Maka dapat disimpulkan, jika hasil dari reaksi tidak sesuai dengan keinginan maka kita dapat memperbaiki perlakuan terhadap sintesis zat-zat kimia yang diinginkan. Begitu pula dalam shalat, semestinya sikap, tindakan, akhlak seseorang akan tercermin dari kualitas shalatnya. Tidak mungkin hati yang terhubung  baik kepada Allah dalam shalat berani melakukan hal-hal yang tidak Allah sukai diluar shalatnya.

Allah berfirman dalam Q.S. al-Mukminun [23] ayat 2:
“(yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya,”

Serta dalam Q.S. al-Ma’arij [70] ayat 22:
“kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,”

Salah atu contohnya, penjelasan ayat sebelumnya pada surat al-Ma’arij disampaikan akhlak tercela dalam sosial yakni tamak, berkeluh kesah, dan kikir. Dan ketiga sifat ini tidak muncul dalam diri seseorang yang mengerjakan shalat, jelas bukan shalat yang hanya bersandar pada kuantitas melainkan kualitasnya. Masih banyak ayat tematik yang berkaitan mengenai akhlak-akhlak buruk dalam sosial yang menjadi muara dari degradasi moral.

Terkait dengan efek sosial dari shalat secara makro, kita dapat mengambil suatu penggalan kalimat yang sangat masyhur yakni “ Membaiknya keadaan suatu masyarakat dapat dilihat dari jumlah jama’ah shalat subuh yang sama dengan shalat jum’at.” Menurut DR.Ahmad Khairi al-Umari dalam bukunya “ Buat Apa Kita Shalat?” dinyatakan bahwa, teori ini hanya berfokus pada kuantitas, seakan-akan kuantitas adalah satu-satunya solusi. Teori tersebut tidak sejalan dengan nash apa pun dalam syari’at. Nash dalam al-Qur’an menegaskan bahwa jumlah yang banyak tidak penting jika harus mengorbankan kualitas. Dalam perang Hunain, jumlah tentara yang begitu banyak nyaris mengakibatkan kekalahan.

Bila saf-saf shalat di mesjid semakin bertambah, mesjid kian ramai dari waktu ke waktu. Semesti ada efek yang ditimbulkan dalam dunia sosial. Degradasi moral tidak lagi berkecambah melainkan akhlaqul karimahlah yang mewarnai pesona dalam hidup bermasyarat. Dari kenyataan ini, kita perlu sama-sama mengoreksi diri. Bisa jadi shalat-shalat yang telah dilaksanakan masih pada poin kuantitas belum mendapatkan poin kualitas. Seringkali kita telah berupaya hadir dalam jama’ah shalat tepat waktu, namun dalam rangkaian shalat kita masih membiarkan kekhusyukan direbut oleh kepentingan dunia.  Shalat merupakan solusi yang Allah tawarkan bagi setiap hamba-Nya yang digeluti masalah, shalat menjadi wasilah pertolongan Allah, shalat merupakan saat terdekat seorang hamba dengan Rabb yang Menguasai Alam Semesta dan segala sesuatu, shalat adalah ruang unuk merekontruksi hati yang bersih dan akhlak yang indah.

Dengan pengetahuan yang masih sedebu ini, semoga membuat hati kita semakin bersungguh-sungguh memperbaiki kualitas shalat. Dengan memulai memperbaiki diri sendiri maka kita telah membantu memperbaiki satu batu bata dalam perbaikan sosial masyarakat. Jika setiap diri telah menekuni shalatnya dalam kualitas yang Allah sukai, insyaAllah terciptanya masyarakat madani bukan lagi sebatas imijinasi, tapi realita yang akan Allah tetapkan bagi bangsa ini.

Minggu, 20 Agustus 2017

Hidup Ibadah



Sekarang kita tengah  dihajar kesibukan. Waktu yang kita punya makin tiris karena pekerjaan yang kita tekuni kian egois. Imbasnya, tanpa sebab jelas kita sering naik pitam, masalah yang ada juga tak pernah benar-benar terselesaikan. Sibuk melempar permasalahan dan mencari pembenaran. Pada akhirnya, membuat kita dibelenggu keperihan, dilkita kesedihan yang tak berkesudahan. Merasa paling malang. Aduh kasihan..


Pada saat ini kita hidup di era yang penuh dengan keegoisan dimana seseorang tidak peduli dengan apapun jika hal tersebut tidak menguntungkan untuk diri sendiri.  Maka mencari makna hidup adalah salah satu bahasan penting yang  fenomenal dan eksotik sekaligus banyak peminatnya. Sebab dengan memahami makna hidup itulah kita bisa menjalani hidup yang lebih bermakna dan lebih bervisi.  Kita juga tahu bahwa setiap orang ingin hidup bahagia dan punya arti yang baik bagi orang-orang di sekelilingnya.  Betapa tak asyik hidup ini jika terjebak dalam segitiga permanen KT (kamar tidur), KM (kamar menyerang. Jika bangun dan perutnya lapar, ia pergi ke dapur untuk makan. Dan bila telah terjadi pembusukkan dalam usus, ia harus pergi ke KB untuk membuang menu internasional yang tadi baru di pamer lewat IG dan sosmed lainnya. Lalu semua aktivitas lainnya hanyalah menjadi aksesoris dari kerangka utama segitiga mogok tersebut.
Sepertinya pondasi memang harus giat kita susun dari sekarang. Kita harus mulai merombak tatanan demi kebaikan. Gelombang pekerjaan yang menuntut kerja keras dan sedang menghisap kita ini memang demi menjamin kehidupan di masa depan, tapi maukah kita berjuang untuk menyeimbangkan pekerjaan?.  Sebab, keberadaan kita dunia ini tiada lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah. Makna ibadah yang dimaksud tentu saja pengertian ibadah yang benar, bukan berarti hanya shalat, puasa, zakat, dan haji saja, tetapi ibadah dalam setiap aspek kehidupan kita.

Dan Kita tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”


 Selain hidup ini adalah ibadah mari kita telusuri kembali, makna-makna kehidupan kita. Bahwa kehidupan kita adalah ujian. Allah berfirman dalam QS Al Mulk [67] : 2 yang terjemahnya,
(ALLAH) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”,

Lalu  hidup adalah sementara Dalam QS Al Mu’min [40]:39, Allah berfirman, “Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.“
Dalam QS Al Anbiyaa [21]:35, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.“

Jika hidup itu adalah ibadah, maka pastikan semua aktivitas kita adalah ibadah. Caranya ialah pertama selalu meniatkan aktivitas kita untuk ibadah serta memperbaharuinya setiap saat karena bisa berubah.  lalu pastikan juga apa yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan (ibadah mahdhah) dan tidak dilarang oleh syariat (ghair mahdhah).  Jika hidup itu adalah ujian, maka tidak ada cara lain menyelaraskan hidup kita, yaitu menjalani hidup dengan penuh kesabaran.  Jika kehidupan akhirat itu lebih baik, maka kita harus memprioritaskan kehidupan akhirat. Bukan berarti meninggalkan kehidupan dunia, tetapi menjadikan kehidupan dunia sebagai bekal menuju akhirat.  Jika hidup ini adalah sementara, maka perlu kesungguhan (ihsan) dalam beramal. Tidak ada lagi santai, mengkitai-ngkitai, panjangan angan-angan apalagi malas karena kita tidak hidup ini tidak selamanya. Bergeraklah sekarang, bertindaklah sekarang, dan berlomba-lombalah dalam kebaikan Kebaikan bukan hanya perasaan, melainkan emosi yang mengarah ke tindakan. Kebaikan memberikan kehangatan pada kehidupan dan setiap interaksi yang baik memicu suatu perasaan relasi dan kesenangan. Dengan begitu kehidupan kita akan sangat berarti untuk generasi selanjutnya, setidaknya anak cucu kita.

Tawadhu'



Kesombongan adalah lisan paling fasih dari lidah manusia.  Secara tidak sadar kita sering mengucapkan kalimat-kalimat yang meng’kita’kan diri sendiri. Sejatinya ‘kita’ merupakan suara lirih yang keluar dari dalam jiwa kita, yang menimbulkan harapan  atas pengormatan orang lain terhadap diri kita.  Sungguh, ini adalah sesuati yang sangat naïf. Motif inilah yang selalu mendorong kita untuk menunjukkan kemapuan agar orang lain mengetahui kita lebih utama.  Secara tidak sadar kita telah menunjukkan kecacatan diri kita sendiri, sekiranya penyakit ini butuh penanggulangan untuk disembuhkan.

Kesombongan mampu menusukkan penderitaan dalam diri pemiliknya.  Sebab selalu dibayangi rasa khawatir, jika orang lain mengetahui bahwa dirinya tidak seperti apa yang telah disombongkan kepada khalayak ramai.  Ini sangat lah menyiksa bukan ?. Bagaimana jika kita memilih untuk menjadi orang-orang tawadhu saja.  Mereka adalah orang-orang yang malu jika kebaikannya terpamerkan. Karena takuthal itu dapat mengusir keikhlasan dalam hatinya.

Sungguh mengagumkan orang yang mengenyahkan kesombongannya, membuang keangkuhannya, dan memelihata nilai-nilai ketawadhukan dalam dirinya. Orang-orang yang seperti ini adalah yang enggan mewacanakan kelebihan-kelebihan yang dimiliki dan profesi yang didudukinya. Justru prestasi, kelebihan, dan profesinya yang berbicara sebagai ganti dari dirinya. Wiliam James-Bapak ilmu psokologi modern- menginterpretasikan hal ini dengan apik, “Kita harus menghilangkan kekaguman pada diri sendiri. Jika kita dapat melakukannya, maka hal itu merupakan kenikmatan yang tiada tara. Dan dengan sendirinya, orang lain akan mengagumi kelebihan-kelebihan yang kita miliki.”

Jangan Mengejar yang Tak Dibawa Mati



Dalam perjalanan kita yang penuh haru biru ini mari kita belajar dari mereka yang sudah merasakan ngeri-ngeri sedap kehidupan. Tersebutlah, Warren Buffet yang terkenal di tahun 2010  karena berhasil mengalahkan Bill Gates dalam kompetisi kekayaan. Kini Warren Buffet sudah 10 tahun menjadi orang terkaya di dunia. Namun, tidak banyak juga yang tahu, dua tahun sebelum Warren Buffet menjadi orang terkaya, ia menyumbangkan 80 persen kekayaannya untuk sosial. Sekitar 300 triliun atau setengah APBN kita pada saat itu. Nah, ada sosok yang lebih hebat lagi, yaitu Abu Bakar As-Shidiq  r.a. dimana ia menyerahkan 100 persen hartanya untuk agamanya. Luar biasa !

Selanjutnya kita akan bertemu dengan Albert Enstein, siapa yang tidak mengenal sosoknya dengan rumus e=mc2 yang menjadi voluntir keluanya teori ‘Big Bang’. Wajahnya menjadi lambang kejeniusan, 100 tahun kematiaanya diperingati sebagai tahun fisika, namanya digunakan menjadi nama unsur kimia, enstenium, termasuk nama astroid juga. Namun, Michael Hert meletakkan ia dalam jajaran orang paling berpengaruh di nomor 10. Kalau kita lihat, kebanyakan orang yang berada di jajaran atas Enstein adalah orang-orang yang meletakkan spiritualitas sebagai dasar kehidupannya, yaitu Nabi Muhammad SAW, Isaac Newton, Nabi Isa AS, Budha, Confucius, Saint Paul, Thai Lun, Johan Gutenberg, Christopher Columbus. Artinya orang yang mendasarkan hidupnya pada nilai-nilai spiritual punya pengaruh lebih besar dibandingkan orang-orang yang mendasarkan hidupnya bukan pada nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual tersebut membuat mereka paling kokoh dalam sikap, paling lapang dada, paling dalam pemikirannya, paling luar cara pkitangnya, paling rajin amal-amalnya, dan yang jelas paling banyak manfaatnya.

Masih ingatkan kita dngan Lee Yoon Hyung, ahli waris keluarga samsung, sahamnya 1,7 triliun, namun di usia 26 tahun, dia tidak memiliki keberanian melanjutkan hidup. Ia meninggal dunia dengan bunuh diri mengunakan seutas kabel listrik. Apa yang menimpanya adalah pesan nyata, bahwa tidak ada hubungan antara kenikmatan kehidupan dengan pencapaian. Kawanku semuanya, guru saya pernah berpesan, tidak peduli sebarapa hebatnya kita, tidak peduli sebarapa kayanya kita, tidak peduli seberapa berpengaruhnya kita, jika hari ini kita tidak bahagia, pasti ada yang salah.
Sungguh luar biasa pesan Imam Al-Ghazali Sesunggunya seluruh manusia itu merugi, kecuali mereka yang berilmu, sesungguhnya seluruh orang yang berilmu itu merugi kecuali mereka yang beramal, dan sesungguhnya seluruh orang yang beramal itu merugi, kecuali mereka yang ikhlas.

Berapa banyak diantara kita mengejar sesuatu yang disesali para penghuni kubur. Tidak salah jika Emha Ainun Najib berpesan “jangan mati-matian mengejar sesuatu yang tak bisa dibawa mati”. Oleh karena itu, mari periksa diri jika cita belum tertuai, jangan-jangan badan kita belum pantas disinggahi kemuliaan. Kenapa banyak orang bekerja keras, namun ia tetap gagal, menurut saya jawabnya singkat, karena ia bekerja dengan otot dan otaknya saja, tapi ia lupa mengajak hatinya untuk bekerja.

Beda orang sukses dan orang stress hanya satu: orang sukses melakukan yang yang harus dilakukan. Orang stress hanya berangan-angan. “ Orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengoreksi dirinya dan beramal untuk sesudah mati. Orang bodoh (lemah) adalah orang yang mengikuti hanya nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah” (H.R.Bukhari). Sungguh sulit kan memahami. Ada orang yang mengejar surga atau berlari menghindari neraka sambil tertidur. Mari kita mulai melakukan kebaikan kecil yang membahagiakan.  Apapun peran kita mari kita surgakan. Surga lah yang menjadi obsesi terbaik segala pengharapan.

Empati



Fenomenya, ada diantara mereka yang telah berada di atas, lupa mendengar rintihan saudaranya di bawah yang bergejolak. Jeritan rakyat yang lapar. Rintihan pedih kaum papa. KH. Rahmat Abdullah  pernah menyampaikan dalam bukunya yang berjudul “Warisan Sang Murabbi bahwa, nilai iman yang tertinggi manakala pemiliknya dapat merasakan ketentraman iman (Q.S.ar-Ra’d:28) dan karenanya mereka berhak mendapatkan kemananan (Q.S al-An’am:82). Ketentraman dan keamanan tersebut tidak ada hubungannya dengan mentalitas burung onta yang melarikan diri dari persoalan ummat dan berlindung di balik dinding ma’bad tempat dzikir, karena orang seperti mereka bisa sangat terguncang dan tidak merasa aman terhadap guncangan makhluk. Terlebih untuk bisa menjadikan dirinya “perisai Tuhan” bagi hamba-Nya yang lemah teraniaya. 

Hal ini disampaikan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. “Suatu masa turun perintah Allah kepada seorang malaikat untuk menumpahkan adzab pada suatu negeri. Malaikat itu melapor dan Allah Maha Tahu tentang hal yang dilaporkannya Ya Tuhan disana ada orang shaleh. Justru jawaban Allah begitu mengejutkan, mulailah timpakan azab kepadanya. Apa pasal?. Karena wajahnya sama sekali tak pernah memerah karena Kita. Ia tak punya kecemburuan dan ketersinggungan bila kehormatan Allah dilanggar. Ia tenang ketika umatnya dibantai. Ia baru tersinggung bila pribadinya diusik!” Memang salah satu sukses madrasah (aliran) sekuler modern adalah keberhasilan mereka mencetak generasi Muslim yang tak tersinggung bila Islam, al-Qur’an dan Rasul diejek, demi toleransi” kata mereka.

Kesalahan terbesar adalah bila engkau berusaha meluruskan dan membenahi kehidupan yang ada disekitarmu, tapi engkau meninggalkan kekacauan di hatimu
(Mustafha Shadiq ar-Rafi’i,Wahyu al-Qalam)

Jika kita secara tidak sadar telah berlaku zalim terhadap diri sendiri, sebab mengabaikan apa yang semestinya kita kontribusikan bagi yang membutuhkan. Tak ada salah kita banyak-banyak memohon ampunan. “Barang siapa bergembira atas kebaikannya dan bersedih atas keburukannya, maka dia adalah seorang mukmin.” (H.R.Bukhari).  Jadikan kesadaran kita sebagai teguran agar tercipta  kekuatan. Kita menyadari bahwa yang bagi kita mudah, belum tentu mudah bagi orang lain. disitulah perlunya memudahkan urusan sesama, semoga Tuhan berkenan pula memudahkan urusan kita.