Minggu, 20 Agustus 2017

Kekhusyukan



Kita adakalanya sangat ingin menguasai perasaan. Menyeimbangkan gelombang kesedihan yang keras dan luapan kegembiraan yang tinggi. Untuk itu, kita direkomendasikan melakukan meditasi terbaik. Bentuk meditasi yang membuat alam ini membantu kita menemukan keseimbangan. Meditasi itu adalah yang selama ini dikenal dengan kekhusyukan hati. Khusyuk dalam mengenali siapa diri kita. Khusyuk dalam menyadari untuk apa kita hidup. Khusyuk dalam memaknai siapa Pencipta kita. Khusyuk menyelami hikmah setiap pemberian Allah, apakah pemberian yang mengagumkan maupun mencengangkan.
Hal semacam itu sering menjadi solusi atas himpitan kehidupan yang kadang menjelma tak terduga. Kita tentu tidak pernah tahu perihal takdir. Kita hanya mesti meyakini segala takdir dari Allah tak punya kecacatan. Takdir itu maha sempurna, karena sebelum di tetapkan telah disempurnakan oleh Dzat Yang Maha Sempurna. Tak sopanlah kiranya jika kita menolak apa yang telah disempurnakan untuk kita atas takdir
Maka, sebisanya kita pertahankan kekhusyukan itu, agar kegusaran tak pernah ikut campur lagi jikalau takdir itu datang, apapun wujudnya. Biar ketenangan saja yang menyambut takdir itu. Karena goresan waktu yang lampau kita juga terus belajar bermeditasi. Dengan seutuhnya meditasi.
Kemarin baru embun saja yang turun, lalu terganti oleh rinai, saat ini awan kelam berarak ke atap lara hingga..... menderas lah air itu turun, melaju bersama himbauan gravitasi. Seolah alam ini melukiskan suasana yang ada. Terasa hampir begitu adanya. Untuk siaapaun yang kini  sudah lembab dengan air mata. Termangu sendiri dalam kecapaian. Menunggu kekuatan hati tumbuh rindang meneduhi teriknya ujian yang datang silih berganti. Mungkin duli karena pinta kita begitu. kita meminta diberikan hati yang kokoh, yang kuat, yang tegar untuk meraih apa yang Allah ridhoi. Bisa jadi, apa yang tengah kita lewati adalah parameter keberhasilan mencapai apa yang dulu pernah kita minta pada Allahnya.
Untuk siapa pun yang masih menunggu...menunggu awan gelap itu tersaput kebeningan penglihatan. Hingga kita  mampu melihat apa yang ada di atas kegelapan awan, yakni semburat cahaya matahari yang kekal dan takkan pernah hilang sampai Allah menitahkannya untuk berhenti bersinar. Kita yakini itu, lalu kini kita sedang mencoba memaknai kesabaran pada perihal menunggu terlihatnya cahaya. Sebab segalanya pasti berbatas.
Kita tidak dituntut untuk menunggu terlalu lama. Tidak mungkin seluruh badan kehidupan ini nestapa kan ?, karena disana pasti banyak berkecambah bahagia, nestapa itu hanya sekedar memperindah kebun kehidupan. Jika nestapanya ada kesabaran tentu menjadi kembang nan indah. Jika nestapanya kosong dari kesabaran tentu menjadi bunga busuk yang tak berarti. Pedih-pedih sedap rasanya. Nikmati saja kata sanubari ! Kelak selepas banyaknya kesabaran yang dijalani, ada suatu waktu kita akan terpana hingga lupa dengan pedihnya rasa sakit. Entah kapanlah datangnya. Kita tak ada salahnya tetap bersabar. Bersabar dalam ujian yang berbatas waktu. Tidak terlalu lama....semoga hati kita tak serapuh kapur, namun sekuat baja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar