Kita
adakalanya sangat ingin menguasai perasaan. Menyeimbangkan gelombang kesedihan
yang keras dan luapan kegembiraan yang tinggi. Untuk itu, kita direkomendasikan
melakukan meditasi terbaik. Bentuk meditasi yang membuat alam ini membantu kita
menemukan keseimbangan. Meditasi itu adalah yang selama ini dikenal dengan
kekhusyukan hati. Khusyuk dalam mengenali siapa diri kita. Khusyuk dalam menyadari untuk apa kita hidup. Khusyuk dalam
memaknai siapa Pencipta kita. Khusyuk menyelami hikmah setiap pemberian Allah,
apakah pemberian yang mengagumkan maupun mencengangkan.
Hal semacam itu sering menjadi solusi atas himpitan kehidupan
yang kadang menjelma tak terduga. Kita tentu tidak pernah tahu perihal takdir.
Kita hanya mesti meyakini segala takdir dari Allah tak punya kecacatan. Takdir
itu maha sempurna, karena sebelum di tetapkan telah disempurnakan oleh Dzat
Yang Maha Sempurna. Tak sopanlah kiranya jika kita menolak apa yang telah
disempurnakan untuk kita atas takdir
Maka, sebisanya kita pertahankan kekhusyukan itu, agar
kegusaran tak pernah ikut campur lagi jikalau takdir itu datang, apapun
wujudnya. Biar ketenangan saja yang menyambut takdir itu. Karena goresan waktu
yang lampau kita juga terus belajar bermeditasi. Dengan seutuhnya meditasi.
Kemarin baru
embun saja yang turun, lalu terganti oleh rinai, saat ini awan kelam berarak ke
atap lara hingga..... menderas lah air itu turun, melaju bersama himbauan
gravitasi. Seolah alam ini melukiskan suasana yang ada. Terasa hampir begitu
adanya. Untuk siaapaun yang kini sudah
lembab dengan air mata. Termangu sendiri dalam kecapaian. Menunggu kekuatan
hati tumbuh rindang meneduhi teriknya ujian yang datang silih berganti. Mungkin
duli karena pinta kita begitu. kita meminta diberikan hati yang kokoh, yang kuat, yang tegar untuk meraih apa yang Allah ridhoi.
Bisa jadi, apa yang tengah kita lewati adalah parameter keberhasilan mencapai
apa yang dulu pernah kita minta pada Allahnya.
Untuk siapa pun
yang masih menunggu...menunggu awan gelap itu tersaput kebeningan penglihatan.
Hingga kita mampu melihat apa yang ada
di atas kegelapan awan, yakni semburat cahaya matahari yang kekal dan takkan
pernah hilang sampai Allah menitahkannya untuk berhenti bersinar. Kita yakini
itu, lalu kini kita sedang mencoba memaknai kesabaran pada perihal menunggu
terlihatnya cahaya. Sebab segalanya pasti berbatas.
Kita tidak dituntut
untuk menunggu terlalu lama. Tidak mungkin seluruh badan kehidupan ini nestapa
kan ?, karena disana pasti banyak berkecambah bahagia, nestapa itu hanya
sekedar memperindah kebun kehidupan. Jika nestapanya ada kesabaran tentu
menjadi kembang nan indah. Jika nestapanya kosong dari kesabaran tentu menjadi
bunga busuk yang tak berarti. Pedih-pedih sedap rasanya. Nikmati saja kata
sanubari ! Kelak selepas banyaknya kesabaran yang dijalani, ada suatu waktu
kita akan terpana hingga lupa dengan pedihnya rasa sakit. Entah kapanlah
datangnya. Kita tak ada salahnya tetap bersabar. Bersabar dalam ujian yang
berbatas waktu. Tidak terlalu lama....semoga hati kita tak serapuh kapur, namun
sekuat baja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar