Selasa, 03 Desember 2013

Meniti Tangga Jannatul Firdaus

Kita telah melewati detik, menit, jam, hari, pekan, dan tahun-tahun yang cukup panjang dan melelahkan. Semuanya sudah berlalu.....

Berapa banyak amal yang sudah kita lakukan selama itu ? Mari kita mereka-reka jawabannya. Ya, ternyata baru itulah, kesungguhan yang kita lakukan untuk menyongsong sebuah kehidupan yang pasti dan abadi. Ternyata, hanya sebanyak itu bekal yang kita kumpulkan untuk menebus kebahagiaan akhirat. Sudah cukup ? Pasti tidak. Sementara kita sama sekali tidak tahu, berapa detik, menit, jam, hari, pekan, dan tahun lagi yang tersisa di hadapan.

Sobat....
    Sekarang, kita berada di sini. Di detik, menit, jam, hari, pekan tahun ini. Mari kita berdoa, semoga keadaan kita lebih baik dari yang lalu. Mari bersungguh-sungguh, karena hanya disini kesempatan kita untuk mengukir amal. "Dunia ini hanyalah tiga hari, "nasihat Imam Hasan al-Bashri. Ia melanjutkan, tiga hari itu adalah: "Hari kemarin yang sudah berlalu, dan kita tidak bisa lagi untuk mengubahnya. Hari esok, yang kita tidak tahu apakah kita akan masih memiliki kesempatan di dalamnya. Dan hari ini, kesempatan untuk kita melakukan amal shalih. Maka, mari kita beramal sebanyak-banyaknya...."

Sobat....
    Semua kita pasti sangat mendambakan rahmat Allah untuk bisa dimasukkan ke dalam surga. Itulah kemanangan, kebahagiaan dan kenikmatan yang tak ada tandingannya. Kenikmatan yang membuat kita tak puas hanya sekedar berada di depan gerbangnya. Kenikmatan yang menjadikan kita tak berhenti hanya sekadar masuk beberapa langkah di halamannya. Kenikmatan agung yang membuat siapa pun takkan pernah berhenti kecuali samapai ke puncaknya yang paling tinggi, surga firdaus.Kita bahkan berharap ingin termasuk dalam kategori kelompok 'illiyin atau orang-orang yang ditinggikan. Obsesi ini tercermin dalam nasihat Rasulullah saw, "Jika kalian memohon kepada Allah, maka mohonkanlah kepada-Nya Jannatul firdaus yang paling tinggi, karena sesungguhnya disanalah intinya surga. (H.R. Thabrani)

Sobat....
     Mari kita merenung. Setiap sesuatu itu ada harganya. Semakin tinggi nilai sesuatu, semakin mahal pula harganya. Bila seseorang ingin mencapai surga yang tertinggi di akhirat, maka seseorang harus berada pada posisi tertingggi di dunia, ' begitu kata Syaikh Muhammad Ahmad RAsyid dalam al-Munthalaq.
      Bagaimana kita bisa mencapai kedudukan tertinggi di dunia ? Mari kita sama-sama lihat lembar-lembar firman Allah swt dalam al-Qur'an. MAri bersama kita perhatikan petunjuk Rasulullah, dan ungkapan para salafus sholih....
       Allah swt berfirman, " Dan siapakah yang lebih baik perkataannya dari orang yang menyeru dakwah kepada Allah dan mengerjakan amal shaloh....?" (Q.S. Fushilat: 33). Rasulullah saw bersabda, "Bila Allah memberi hidayah-Nya kepada seseorang melalui dirimu, maka itu lebih baik daripada dunia dan seisinya"
         Syaikh Abdul Qadir al-Kailani dalam Futuhul Ghaib mengatakan, " Tidak ada kedudukan yang tinggi bagi manusia di dunia kecuali kedudukan menyeru manusia ke jalan Allah. TIdak ada tingkatan yang melebihinya, kecuali tingkatan nubuwwah (kenabian).

Sobat.....
     Bersyukur bila kita memiliki keinginan untuk termasuk dalam barisan orang-orang yang menyerukan Islam dan menyebarkan hidayah Allah swt. Bersyukurlah, bila kita saat ini telah ada dalam barisan orang-orang yang membawa penerang dan lentera di tengah kegelapan. Indah sekali, senandung yang dikatakan oleh para pendahulu kita, "Dalam hidup ini,kami hanya pengembara. Kami menyambung pengembaraan orang-orang sebelum kami. Mereka yang lebih dahulu berangkat, memberi tahu kami rambu-rambu untuk menempuh perjalanan. Maka, kewajiban kami adalah memberi tahu kepada orang-orang yang ada di belakang kami." (Azzam, Diwam Matsani, 139)
     Ya. Mereka yang lebih dahulu melakukan perjalanan ini telah memeras keringat, mempersembahkan raga dan jiwanya hingga aqidah Islam tertanam dalam lubuk hati kita. Melalui merekalah kita terhindar dari ombak dan ganasnya kehidupan yang menghanyutkan. Lewat mereka, kita mengerti apa arti hidup, bagaimana seharusnya kita hidup, dan kemana akhir tujuan hidup kita yang hakiki. Apa artinya ? " Mereka telah menanam, dan orang-orang setelah kita yang akan memakan. " Begitulah logikanya. Kita harus menyambung estafet penyebar hidayah Allah kepada orang sekeliling kita.

Sobat.....
     Menyebarkan kebenaran sudah pasti banyak resikonya. Bahkan resiko itulah yang kita tangkap dari sirah Rasulullah, para Nabi sebelumnya dan para salafusshalih. Tapi semoga kita tak pernah lari dari medan ini. Lari dari medan ini, sebenarnya adalah menghindari dari medan kehidupan yang menguji dan meningkatkan kualitas iman dan kesabaran. Orang yang cenderung menyendiri, menghindar dari resiko menyebarkan kebenaran dan menyepi dari ragam pergulatan itu disinggung oleh Musthafa Shadiq ar-Rafi'i dalam ungkapannya, "Orang itu mengira telah lari dari kekotoran (dari berbaur dengan banyak manusia) kepada kemuliaan. Padahal sebenarnya, ia lari dan menghindar dari kemuliaan itu sendiri.""
     Apa artinya menjaga diri dari kemasiatan, memiliki sikap amanah, jujur, berbakti, ihsan, dan semua moral baik bila ia tinggal di tengah padang pasir atau di puncak gunugn sendirian? Apakah ada yang mengakui kejujuran sebagai akhlak mulia, bila tidak ada orang di sekitarnya, kecuali pohon dan bebatuan? Demi Allah, orang yang lari dari perang terhadap keburukan adalah orang yang melepas semua keutamaan..."(Wahyul Qalam,2/97)
      Jika dahulu di awal kenabian, Jibril AS mendekap erat Rasulullah saw hingga tiga kali di gua Hira dengan mengatakan, "Iqra' bismirabbika lladzi kholaq...", kemudia pada kesempatan yang lain Rasulullah saw memeluk pamannya Abdullah bin Abbas ra dalam dekapannya sambil mengatakan, "Alluhumma 'allimhul Qur'an", ya Allah ajarkan ia al-Qur'an. Sekarang, mari rangkul orang-orang sekeliling kita. TUntun tangan mereka, dekap erat-erat mereka, lalu tanamkan cahaya kebenaran dalam hatinya.
     Sungguh, ada kebahagiaan tulus dalam hati, saat kita bisa memberi petunjuk kepada mereka yang tengah terombang-ambing. Benar-benar sebuah kebanggaan, saat kita berhasil menolong dan meluruskan langkah mereka kembali di jalan Alah swt. "Duhai hilang rasa laparku, lenyap dahagaku, tak ada lagi rasa dingin ketika ada seseorang menjadi seperti ini di bawah didikanku?" Begitu Abdul Qadir al-Kailani mneggambarkan kegembiraannya. (al-Fathur Rabbani, 27)

Sobat, jalan ini panjang
    memerlukan waktu yang lama. Memerlukan pengorbanan yang sangat banyak. Tapi tak ada lagi jalan lain yang lebih selamat. Semoga Allah mengantarkan kita ke puncak kemuliaan di dinua, dan mengizinkan kita menghirup kenikmatan surga firdaus. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar