Seseorang bertanya pada Hasa Muin al-Bashri, " Ya Hasan, apakah engkau seorang mukmin ?" Hasan al-Bashri hanya menjawab, " Insya Allah."
Sejak pertama melangkah kaki di sini, setiap kita harus tahu, bahwa kita sedang berada dalam proses hijrah kepada Allah swt. Kita sedang berjalan dan berlari menuju Allah swt. Hanya Allah saja. Kita juga harus mengerti bahwa proses perjalanan itu tidak mudah. Jalan ini ibarat tangga yang menjulang ke atas dan bertingkat-tingkat. Kita menaikinya satu demi satu, setingkat demi setingkat. Hingga ke anak tangga yang terakhir.
Seperti yang dikisahkan tentang seorang Tabi'in bernama Tsabit al Banani di ujung hayatnya. Ketika itu ia dikelilingi oleh para sahabatnya. Mereka berupaya mentalqin Tsabit yang saat itu memasuki fase sakaratul maut. Tapi, sungguh mengjutkan karena ketika itu Tsabit mengatakan pada mereka, " Saudaraku, jangan ganggu aku. Aku sedang menuntaskan wiridku yang keenam. " (Shaidul Khatir, 50)
Sobat, sungguh mulia perjalanan para salafushalih. Orang-orang yang menemani mereka bertutur kagum tentang perjalanan hidup mereka. Seorang ahli hadits bernama Ibrahim al-Harabi, mengisahkan pengalamannya selama bertahun-tahun menemani tokoh salafishalih Imam Ahmad bin Hambal. Dengarkanlah perkataannya, " Aku telah menamaninya (Iman Ahmad bin Hambal) selama 20 tahun. Kami melewati musim kemarau dan musim semi, musim panas dan musim dingin. Sementara aku tidak pernah mendapatinya pada suatu hari, kecuali ia dalam kondisi lebih baik dari harinya yang kemarin." ( Manqib Ahmad, Ibnul Jauzi, 40)
Menjadi lebih baik dari yang kemarin. Selama bertahun-tahun. Itulah barangkali makna anak-anak tangga kehidupan menuju Allah swt. Semakin hari semakin tinggi, semakin mendaki, semakin mendekat ke langit. Betapa indahnya orang yang bisa menerapkan kaidah seperti itu. Ketika tapak-tapak usia membuktikan sebuah perjalanan yang semakin mahal nilainya. Di saat jejak umur semakin lama semakin menambah kemuliaan seseorang. Ketika perguliran hari, bulan, dan tahun, menjadi pertambahan kita saat menuai pahala, balasan dari Allah swt. Di saat perjalanan waktu, terus-menerus menambah kedekatan kita kepada kebahagiaan di akhirat. Tetapi sedikit sekali di antara kita yang bisa menepati prinsip itu.
Sobat, Dahulu ada sahabat Rasulullah saw, yang kerap menyadari jikalau dirinya lemah dan banyak kekurangan mengisi hari-harinya untuk beramal. Abu Dzar al-Ghifari ra, namanya. Ia adalah tokoh sahabat yang telah mengukir prestasi mengagumkan dalam fase perjuangan sejarah awal dakwah Islam. Tapi ia kerap merasakan kelemahan dan ketidakberdayaan dirinya dalam menunaikan amanah yang Allah berikan kepadanya. Hingga suatu hari, ia datang kepada Rasulullah saw dan berkata, " Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku ternyata lemah dalam melakukan amal-amalku?"
Begitulah pertanyaannya kepada Rasulullah di tengah prestasi ubudiyah dan perjuangannya yang luar biasa. Abu Dzar mengakui kekurangan dirinya secara terus terang di hadapan Rasulullah saw. Ia tidak menoleh seberapa bagus ibadah dan nilai perjuangannya yang telah ia tunaikan bersama Rasulullah saw. Ia juga tidak segan untuk mengakui kelemahan itu di hadapan orang lain. Ketika itu, Rasulullah saw berpesan kepadanya, " Peliharalah orang lain dari keburukanmu. Itu saja sudah merupakan shadaqqah darimu untuk dirimu sendiri." (HR Muslim)
Sobat, mari beramal dalam hidup ini, tanpa perlu membanding-bandingkan kelebihan amal-amal kita dengan orang lain, bisa menjerumuskan kita menjadi ujub dan sombong. Padahal Ibnul Harits al-Hafi mendefenisikan kesombongan dan ujub itu dengan ungkapan, "Jika engkau merasakan amalmu banyak sedangkan amal orang selainmu itu sedikit."
Syaikh Muhammad Ahmad ar-Rasyid, seorang ulama yang banyak manuangkan nasihat-nasihat ruhani dalam banyak bukunya, membuat satu sub judul pendek yang berisi tentang ujub. Judul itu berbunyi "laa tarfa' si'rak, yang artinya, jangan jual mahal. Yang dimaksud Syaikh Muhammad Ahmad ar-Rasyid adalah agar kita tidak cenderung memandang diri sendiri lebih baik dari orang lain. Betapapun secara lahiriyah banyak orang yang mendudukkan kita seperti itu. Tidak merasa diri lebih berprestasi, lebih banyak berperan, lebih sering beramal, daripada orang lain.
Menyentuh sekali perkataan Fudhail bin Oyadh ra saat menyinggung masalah ini. Katanya, iblis akan menang saat Bani Adam, hanya dengan menjadikan manusia satu dari tiga perilaku. " Jikalau aku sudah dapat satu saja, aku tidak akan meminta yang lainnya," begitu kata iblis seperti diungkap oleh Fudhail. Tiga perilaku itu adalah: Ujubnya seseorang terhadap dirinya, atau menganggap banyak amal yang telah dilakukannya, atau melupakan dosa-dosa." Itulah pangkal dosa menurut Fudhail.
Konon ada perkataan Nabiyullah Isa as yang menyebutkan, " Berapa banyak lentera yang cahayanya mati tertiup angin. Berapa banyak ibadah yang pahalanya rusak oleh kesombongan. Amal sholeh adalah cahaya. Dan Cahaya itu bisa pada oleh angin ujub dan kesombongan.
Sobat, semoga cahaya amal shalih kita tidak mati oleh perasaan kita sendiri. Semoga keimanan kita tidak redup oleh kebanggaan kita sekedar telah mendapatkan penilaian dan pandangan orang yang baik tentang kita.
Dahulu, Hsan al-Bashri ra. tidak merasa yakin untuk mengatakan bahwa dirinya pasti beriman, lantaran kekhawatirannya bila Allah memandang amal-amal yang ia lakukan ternyata tidak sesuai dengan tuntunan keimanannya. Ia pernah ditanya, :Ya Hasan, apakah engkau seorang Mukmin?" Hasan al-Bashri hanya menjawab, "InsyaAllah." Penanya terkejut dengan jawaban HAsan al-Bashri tersebtu."Kenapa engkau menjawab seperti itu?" Ulama yang terkenal zuhud di zaman gnerasi Tabi'in itu lalu mengatakan, "Aku takut jika aku katakan, "Ya, aku Mukmin", tapi Allah mengatakan 'engkau bohong,'. Karena itulah aku kaqtakan InsyaAllah. Aku tidak merasa aman jika suatu ketika Allah mendapatiku melakukan apa yang Ia benci, lau Ia murka padaku dan mengatakan, " Pergilah aku tidak menerima amal-amalmu."
MASYAALLAH......!

Begitulah pertanyaannya kepada Rasulullah di tengah prestasi ubudiyah dan perjuangannya yang luar biasa. Abu Dzar mengakui kekurangan dirinya secara terus terang di hadapan Rasulullah saw. Ia tidak menoleh seberapa bagus ibadah dan nilai perjuangannya yang telah ia tunaikan bersama Rasulullah saw. Ia juga tidak segan untuk mengakui kelemahan itu di hadapan orang lain. Ketika itu, Rasulullah saw berpesan kepadanya, " Peliharalah orang lain dari keburukanmu. Itu saja sudah merupakan shadaqqah darimu untuk dirimu sendiri." (HR Muslim)
Sobat, mari beramal dalam hidup ini, tanpa perlu membanding-bandingkan kelebihan amal-amal kita dengan orang lain, bisa menjerumuskan kita menjadi ujub dan sombong. Padahal Ibnul Harits al-Hafi mendefenisikan kesombongan dan ujub itu dengan ungkapan, "Jika engkau merasakan amalmu banyak sedangkan amal orang selainmu itu sedikit."
Syaikh Muhammad Ahmad ar-Rasyid, seorang ulama yang banyak manuangkan nasihat-nasihat ruhani dalam banyak bukunya, membuat satu sub judul pendek yang berisi tentang ujub. Judul itu berbunyi "laa tarfa' si'rak, yang artinya, jangan jual mahal. Yang dimaksud Syaikh Muhammad Ahmad ar-Rasyid adalah agar kita tidak cenderung memandang diri sendiri lebih baik dari orang lain. Betapapun secara lahiriyah banyak orang yang mendudukkan kita seperti itu. Tidak merasa diri lebih berprestasi, lebih banyak berperan, lebih sering beramal, daripada orang lain.
Menyentuh sekali perkataan Fudhail bin Oyadh ra saat menyinggung masalah ini. Katanya, iblis akan menang saat Bani Adam, hanya dengan menjadikan manusia satu dari tiga perilaku. " Jikalau aku sudah dapat satu saja, aku tidak akan meminta yang lainnya," begitu kata iblis seperti diungkap oleh Fudhail. Tiga perilaku itu adalah: Ujubnya seseorang terhadap dirinya, atau menganggap banyak amal yang telah dilakukannya, atau melupakan dosa-dosa." Itulah pangkal dosa menurut Fudhail.
Konon ada perkataan Nabiyullah Isa as yang menyebutkan, " Berapa banyak lentera yang cahayanya mati tertiup angin. Berapa banyak ibadah yang pahalanya rusak oleh kesombongan. Amal sholeh adalah cahaya. Dan Cahaya itu bisa pada oleh angin ujub dan kesombongan.
Sobat, semoga cahaya amal shalih kita tidak mati oleh perasaan kita sendiri. Semoga keimanan kita tidak redup oleh kebanggaan kita sekedar telah mendapatkan penilaian dan pandangan orang yang baik tentang kita.
Dahulu, Hsan al-Bashri ra. tidak merasa yakin untuk mengatakan bahwa dirinya pasti beriman, lantaran kekhawatirannya bila Allah memandang amal-amal yang ia lakukan ternyata tidak sesuai dengan tuntunan keimanannya. Ia pernah ditanya, :Ya Hasan, apakah engkau seorang Mukmin?" Hasan al-Bashri hanya menjawab, "InsyaAllah." Penanya terkejut dengan jawaban HAsan al-Bashri tersebtu."Kenapa engkau menjawab seperti itu?" Ulama yang terkenal zuhud di zaman gnerasi Tabi'in itu lalu mengatakan, "Aku takut jika aku katakan, "Ya, aku Mukmin", tapi Allah mengatakan 'engkau bohong,'. Karena itulah aku kaqtakan InsyaAllah. Aku tidak merasa aman jika suatu ketika Allah mendapatiku melakukan apa yang Ia benci, lau Ia murka padaku dan mengatakan, " Pergilah aku tidak menerima amal-amalmu."
MASYAALLAH......!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar