Ah masa muda ! betapa manis untuk dilumat hanya sesaat. Lalu, hanyut ditelan kenistaan dan kengerian zaman. Saat gelora belia menyongsong gagah, terpa demi terpaan rayuan dunia mampir. Jalan cinta yang tak berkesudahan, malam-malam indah yang memabukkan, wanita-wanita bak arya bergelimpangan, apalagi disokong materi bokap nyokap yang menyucur deras. Beginilah kebebasan, dan saat inilah pula kehancuran. Kelu, kesah, gelisah, sepi, suram meneror akhirnya semua menjadi hambar pada masanya. Inilah aku beserta sprektrum hidup yang tajam makna.
Teng !…jam dinding berdentang satu kali. Malam semakin larut,tapi belum mampu melarutkan gemerlap kelam ini. Tepat pukul 01.00 wib dini malam. Hujan pun ikut meriuhkan lampu-lampu diskotik yang kemerjap. Dentingan melodi kasar, amburadul, ajep-ajep seolah mengusir kebekuan suhu udara di luar bangunan itu. Oy jok, pulang aja lu....! Tu si Mia nunggu di kamar, jangan buru-buru lah. Viktor merangkul bahuku dan menyodorkan sebotol minuman. Ah, , , ambil aja buat lu. Aku membuang tangannya dengan tubuhnya yang limbung karena mabuk.
Badai menyapu perkotaan kala itu juga. Aku pangling mengendarai mobil. Semua berhamburan. Ntah dimana posisiku saat ini. Kelam merangkaki di sepanjang jalan. Listrik telah dimakan badai pula. Hingganya tak sati penerangan pun yang mencuat. Samar-samar ku lihat cahaya dipelataran sebuah mesjid. Indaj sekali, degub hatiku. Ku labuhkan mobil di pinggir jalan yang ntah aku tal mengenal alamatnya ini. Hasrat untuk menuju cahaya itu terua mengkristal. Ku buka pintu dan ku terjangi badai yang mengusir tubuhku. Kencang sekali, aku pu. Terjungkang, dan akhirnya merangkak menyusuri pelataran mesjid itu ntah kenapa yang ku rasa hanya butuh cahaya. Itu saja. Ketika mendekati mesjid itu. Aku terlempar jauh lagi, aku benar nenar lelah menggapainya. Namun ada panggilan halus yang syahdu mengguyur hatiku, seakan suara itulah yang selam ini kurindukan. Lantunan ayat suci al-Quran. Ah kalau yang kudengar di mesjid-mesjid atau di kaeet, mp3, dan sebagainya itu sudah biasa. Tapi yang membacanya adalah suara wanita. Dan semalam ini hari, Ada wanita yang ditengah badai berlindung si mesjid seorang diri sembari mengayuh suaranya menebar pesona Qur'ani dengan merdunya. Ku lihay badan ku sudah terluka parah, karena terjatuh berkali-kali,erih sekali. Tetesan peluh menggurai di sela pori kulit di sekujur tubuh, aku menggigil dan pucat di pukuli buliran hujan yang menderas.
Ternyata aku sedang bermimpi......
Kulihat wajah bersinar di tengah kegelapan, keindahan yang ajaib dan menggetarkan jiwaku. Bukan keindahan fisik, karena ia tengah berada di peraduan ibadahnya.
Kulihat wajah bersinar di tengah kegelapan, keindahan yang ajaib dan menggetarkan jiwaku. Bukan keindahan fisik, karena ia tengah berada di peraduan ibadahnya.
Halimun canggung menutupi bebukitan, entah karena enggan atau musabab angin yang menghalau. Yang jelas pagi ini embun masih setia menyejukkan dedaunan. Dan aku juga masih tetap setia menatap al-Qur'an itu. Sampai saat ini Ia masih keramat bertengger di atas meja kayu yang terbuat dari plastik komposit polimer berukuran 1 x 2 m persegi. Sebuah meja terelit yang melengkapi ruang kamar seorang pemuda kurus, berambut ikal, dan suka tampis necis bersama kemeja longgar dan jeans bermerek. Bukan, bukan masalah meja itu, atau aksesoris yang mengitarinya seperti stiker tengkorak, salib, dan gambar ......
Namun gadis itu…dan al-Qur'an yang didekapnya, kini berpindah dari
dalam mimpi ke langit-langit kamarku. Membentuk bayang-bayang aneh
bersama lambaian pepohonan yang dibawa cahaya rembulan masuk, melalui
celah jendela.
Tiba-tiba saja aku telah berada di tempat lain. Sekelilingku gelap.
Aku berada dalam lorong panjang yang pekat. Bulu kudukku berdiri. Aku
merasakan tangan dan kakiku dingin, namun hawa panas juga menyergapku.
Keringat menetes, membasahi bajuku. Detak jantungku makin keras.
Hati-hati sekali aku berjalan. Aku tersesat dalam labirin sunyi tanpa nama. Aku meraba-raba mencari cahaya. Tertatih-tatih. Rasanya aku telah berjalan beratus-ratus jam, sampai kulihat setitik sinar. Suara-suara itu menggema, bergelombang, berulang-ulang. Menghimbau-himbau dengan kalimat Syahadat. Seperti pisau yang mengerat-ngerat sanubari. Badanku gemetar, menggigil. Kepalaku pening. Rasanya aku akan pingsan, saat sayup-sayup kudengar, " Antonio kemarilah aku bidadarimu". Samar, kulihat gadis itu. Wajahnya bening. Ia tak bicara.
Aku terjatuh. Terjerembab di atas lantai.Aku mengusap peluh di dahi. Aku menatap gadis itu lagi dan menemukan diriku yang masih gemetar, tenggelam dalam bulat matanya
Hati-hati sekali aku berjalan. Aku tersesat dalam labirin sunyi tanpa nama. Aku meraba-raba mencari cahaya. Tertatih-tatih. Rasanya aku telah berjalan beratus-ratus jam, sampai kulihat setitik sinar. Suara-suara itu menggema, bergelombang, berulang-ulang. Menghimbau-himbau dengan kalimat Syahadat. Seperti pisau yang mengerat-ngerat sanubari. Badanku gemetar, menggigil. Kepalaku pening. Rasanya aku akan pingsan, saat sayup-sayup kudengar, " Antonio kemarilah aku bidadarimu". Samar, kulihat gadis itu. Wajahnya bening. Ia tak bicara.
Aku terjatuh. Terjerembab di atas lantai.Aku mengusap peluh di dahi. Aku menatap gadis itu lagi dan menemukan diriku yang masih gemetar, tenggelam dalam bulat matanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar