Selasa, 03 Desember 2013

Menggilas Hak Waktu dalam Ridho Allah

    Dalam sebuah hadist hasan riwayat Imam Tirmidzi, disebutkan sabda Rasulullah saw, 'Usia umatku berkisar antara 60 sampai 70 tahun." Ubnu Hajar al-Atsqalani, yang mensyarah hadist tersebut mengatakan, "Allah memberi toleransi kepada seseorang untuk menunda ajalnya sampai berusia 60 tahun, " (Fathul Bari, 10/108).

Sobat....
     Semoga ALllah merahmati kita semua. Mari berhitung berapa sudah usia hidup yang kita jalani? Sampai kapan taqdir Allah memberi waktu untuk kita? Bagi kita yang berusia kepala dua, ebagaimana bunyi hadits di atas, berarti kita hanya memilki kesempatan kurang lebih 40 an tahun. Untuk kita yang berumur kepala tiga, artinya hanya tersisa sekitar 30 an tahun lagi. Bagi yang berusia kepala empat, berarti kesempatan itu  semakin kecil. Dan seterusnya. Pertambahan usia pun menjadi peringatan. Usia 20 tahun adalah peringatan. Usia 30, peringatan itu bertambah keras. Usia 40 lebih keras lagi. Puncaknya adalah usia 60.

Sobat.....
     Tak seorang pun yahu bagaimana dan kapan tempo hidupnya berakhir. Tak ada yang tahu bagaimana dan kapan tubuh menjadi payah oleh sakit. Saat ia tak bisa lagi secara optimal melakukan ketaatan dan amal-amal shalih sebagai tabungan di ahari akhir. Seorang Abdullah bin  Mas'ud ra, sahabat dekat Rasulullah saw pun pernah menangis saat menderita suatu penyakit, di detik-detik akhir hayatnya. "Aku menangis karena aku justeru menderita sakit, pada saat amal ibadahku berkurang, bukan pada saat aku semangat."
     Karena itu Umar bin Khatab ra mengatakan "Hasibu anfusakum qabla an tuhasabu", berhitunglah kepada dirimu, sebelum engkau dihitung pada hari akhir. "Kafaa bi syaibi wa 'izan", cukuplah uban di kepala itu menjadi peringatan, begitu filosofi para salafusshalih untuk mengingatkan dekatnya waktu "panggilan" Allah swt.

Sobat...
     Inilah dering peringatan hati yang harus selalu ada dalam diri kita. Dering ini yang akan memicu kesadaran diri untuk segera bekerja sungguh-sungguh, meninggalkan kelezatan semu, palsu, dan menipu. Sebgaimana yang dilakukan Syuhaib ra yang meninggalkan seluruh hartanya untuk menyusul Rasulullah saw, hijrah ke Madinah. Mendengar pengorbanan Syuhaib itu, Rasulullah saw bersabda, " Beruntunglah perdagangan Abu Yahya...
     Dengarlah bagaimana Imam Ali ra menggambarkan perasaannya bahwa keadaan yang paling ia cintai adalah, memikul pedang di medan jihad, puasa di bawah panas terik, dan memuliakan tamu.
Pedang Allah Khalid bin Walid, juga tidak melihat  kebahagiaannya dalam masalah dunia. Ia berkata pada dirinya sendir, "Berada dalam satu unit militer dari Muhajirin dan Anshar, hembusan angin malam yang sangat dingin, dalam persiapan menyerang musuh, lebih aku cintai daripada keberadaanku pada malam pertama pernikahan."
    Mereka memindahkan pandangan dan pertimbangan dari amal duniawi kepada amal ukhrawi.rkah pengenalan ALlah yang tinggi, menuntun hati mereka untuk selalu bisa mengenali sesuatu yang lebih utama. :AMbisimu adalah tergantung sebesar apa cita-cita mu. Keinginanmu adalah bagian dari ambisimu. Perhatian seseorang terhadap sesuatu, adalah petunjuk apa yang terpendam dalam jiwanya, baik berupa tekad maupun kelemahan," begitu kata Ubnul Qayyim.

Sobat.....
   Laksanakanlah hak-hak waktu, terutama yang tidak dapat diganti pada waktu yang lain. Terlalu banyak hak waktu yang harus ditunaikan, sehingga sebanyak apapun orang beramal, sebenarnya hak waktu takkan habis.
    Ibnu Athillah menyebutkan, "Usia dan hembusan nafas kita sangat terbatas. Yang sudah pergi berlalu takkan kembali." Panjang pendek usia manusia memang sepanjang ia bisa bernafas.Hembusan nafas, sama dengan detak jantung dan mengalirnya darah sebagai tanda kita masih hidup. Hidup kita pun berakhir dengan tersumbatnya saluran nafas, berhentinya detak jantung, dan aliran darah. Sederhana sekali. Tapi sangat mahal nilainya.

Sobat....
    Salah satu keadaan yang menyebabkan seseorang surut, Lunglai, dan tidak konsisten dalam ketaatan,dalam perjuangan, dan dalam pengorbanan, adalah ketika ia tidak menyadari sempitnya waktu untuk beramal. Kondisi ini antara lain  muncul dalam sikap taswif, yakni menunda-nunda, santai dan berlambat-lambat melakukan amal-amal shalih. Ulama Islam terkenal asal Kuwait, Syaikh Jasim Muhalhil, mengatakan penykit taswif tersebut pada akhirnya akan menjadikan seseorang lamban bergerak dan akhirnya lumpuh. Benarlah sabda Rasulullah saw, "TIdaklah suatu kaum berlambat-lambat dalam suatu urusan, sampai ALlah menjadikannya benar-benar lambat." (H.R. Turmidzi)
   Kenapa demikian? Karena menunda-menunda pekerjaan yang menjadi hak waktu, pasti akan menggeser hak waktu lain yang sebenarnya mempunyai hak yang harus ditunaikan juga. Begitu seterusnya. Pergeseran itu, akan berdampak pada menumpuknya hak-hak waktu yang lain hingga akhirnya menjadi sulit dipenuhi.
   Sebab itulah sobat, Hasal al-Bashri menegaskan, "Jauhilah sifat menunda-nunda". Nilai dirimu tergantung pada hari ini, bukan besok. Kalu besok engkau beruntung, berarti keuntunganmu akan bertambah bila hari ini engkau telah beramal. Dan kalau besok engkau rugi, toh engkau takkan menyesal karena telah beramal pada hari ini." (Az-Zuhd, 4)

Sobat......
   INgat, kita hanya memilki waktu sedikit untuk beramal shalih. Jauhi bisikan syetan yang mengarahkan kita mengerjakan prioritas pekerjaan nisbi dan semu, Jangan terjerumus pada pertimbangan yang keliru dalam menunaikan hak waktu. Tingkatkan saldo amal untuk investasi meraih ridho Allah yang tertinggi.

Disari dari buku:" Mencari Mutiara di Dasar Hati"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar