Menjadi
penulis merupakan pekerjaan bagi penggiat ide dan gagasan. Mereka yang antusias
untuk menularkan ide dan gagasannya kepada yang lain. Hal ini dilakukan oleh
seorang Karl Marx yang telah menginisisasi dunia dengan Das Capitalnya. Bloom
dan Anderson telah berhasil mewarnai dunia pendidikan menjadi lebih kondusif
dengan teori taxonomy-nya. Max Haveelar tulisan Edwar Douwes Dokker
berhasil mempengaruhi sikap bangsa Belanda terhadap Indonesia. Namun, kita patut takjub kepada para ulama
salafus shalih yang tulisan-tulisannya menjadi karya fenomenal sepanjang masa.
Jelasnya, mereka menulis bukan untuk ketenaran, tidak demi mendapatkan harta,
apalagi pujian makhluk. Tetapi mereka
menulis dilatarbelakangi oleh hasrat yang hebat untuk menyampaikan ilmu yang
bermanfaat bagi umat. Harapannya adalah tulisan itu dapat menjadikan umat Islam
semakin tercerahkan dan terbimbing ke jalan yang lurus, jalan yang Allah
ridhoi. Misalnya Harun Yahya yang melahirkan 200 karya, lalu karya-karyanya itu
ditulis sebagai tanggapan terhadap penyimpangan moral yang terjadi di negaranya
dan di dunia. Melalui buku-bukunya Harun yahya pun berhasil membuktikan secara
empiris keteledoran teori Darwin.
Tersebutlah
pula lah diantara Ulama Penulis yang fantastis hingga kini, Imam Al-Bukhari,
penulis kitab hadist paling shahih dan beliau salah satu muhadistin termasyhur
dalam tinta sejarah. Semua bermula dari
mewujudkan harapan sang guru, Imam Ishhaq bin Ruwaihah “Andai saja di antara kalian ada yang mengumpulkan hadist-hadist Nabi
yang shahih kemudian menulisnya dalam satu kitab….”. Ucapan gurunya menjadi
inspirasi baginya untuk melecutkan karya terbaik untuk umat ini. Gelora jiwanya kian terasah demi
merealisasikan harapan sang guru. Karena Beliau menyadari harapan baik gurunya
adalah kuntum pencerahan yang telah lama dinanti oleh umat Islam. Dengan
kedekatan pada Allah, ikhtiar yang konsisten, ketekunan pagi, siang, dan malam
akhirnya para ulama pun sepakat bahwa Kitab Shahih Bukhari Karya Imam Bukhari
adalah kitab paling shalih setelah Al-Qur’an. MasyaAllah
Tulisan
memilih pengaruh yang kuat terhadap perubahan di tataran sikap, budaya, bahkan
tradisi bangsa dan peradaban. Sebentuk
tulisan memberi daya pengubah luar biasa yang menembus dimensi ruang dan waktu
meskipun penulisnya telah menyatu dengan tanah. Kita menyaksiakn betapa
karya-karya para ulama tersebut terus menggawangi umat Islam seutuh zaman. Ada
semangat menulis yang patut diteladani dari ulama-ulama terdahulu, yakni
dari Ibnu jarir Ath-Thabary yang
berjuang menulis 14 lembar karangan tiap harinya. Selanjutnya, Ibnu Syahim
dengan sejumlah 330 karya tulis. Kemudian ada Ibnu Aqil yang menulis sebanyak
20 buku, karya terharumnya berjudul al-Funun
yang terdiri atas 400 jilid. Tentunya tekad mereka bukan sekedar menjadi
penulis, melainkan ada hal yang mesti ditulis dan ada ilmu yang wajib disampaikan kepada
sesama.
Ada pula kisah menarik dari Penulis kitab Fathul Bari
(kitab syarah Shahih Bukhari). Ibnu Jahar al-Asqolani terinspirasi dari kalimat
yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun “Sesungguhnya untuk menulis syarah dari
kitab Shahih Bukhari menjadi hutang bagi seluruh ummat”. Maka Beliau
memantaskan diri untuk menjadi salah seorang yang melunasi hutang dari umat ini.
Betapa mulia tujuannya seorang Ulama besar, Ibnu Hajar al-Asqolani, ketika ia
memulai menulis. Bukan untuk publikasi yang bersifat duniawi, melainkan untuk
ganjaran yang lebih dahsyat di sisi Allah. Sehingga Abul Khair as-Sakhwi pun
berkata, “Seandainya Ibnu Khaldun melihat apa yang telah ditulis oleh Ibnu
hajar, tentu akan sejuk pandangan matanya, dan ia akan melihat bahwa hutang
umat ini telah terbayar lunas.” MasyaAllah
Penulis yang mengubah selayaknya penulis yang memiiki
nyali yang besar untuk membuat kehidupan lebih hidup. Mereka yang bersemangat
untuk menjadi penyegar bagi dahaga kehidupan penghuni bumi. Seperti Ibnu Main yang telah mewariskan karya
tulisnya sebanyak 100 rak buku semasa hidupnya.
Atau seperti Imam Ibnu al-Jauzy yang tercatat oleh sejarah berhasil
memproduksi tulisan sejumlah 40 halaman sehari, pada akhirnya selama 89 tahun
hidupnya hadirlah 500 kitab. Bisa juga
seperti Imam Syahid Hasan al-Banna yang
menulis sebuah tanggapan atas buku Dr Thaha Husein (tokoh sekuler Mesir) ketika
beliau sedang dalam perjalanan pulang naik kereta. Ada juga yang fantastis yakni, Imam Muhammad Abduh yang mampu menulis buku
“Ilmu Menurut Islam dan Kristen” hanya dalam sehari, sebagai tanggapan terhadap
tulisan seorang Kristen yang menyebutkan bahwa Islam tidak menghargai ilmu
pengetahuan. Serupa pula dengan Prof. Mustafa al-A’zami menulis sejumlah buku
yang meruntuhkan pemikiran sesat para orientalis. Bahkan dengan satu buku saja,
beliau mampu meruntuhkan teori Schacht dan Goldziher yang sebelumnya mampu
bertahan bertahun-tahun lamanya dan dianggap sebagai teori ilmiah. Mereka menulis karena ada kegelisahan
terhadap problematika yang dihadapi umat ini, lahir dari kegerahannya terhadap
realitas umat Islam yang semakin jauh dari cahaya al-Qur’an dan al-Hadist.
Sehingga karya-karya besar mereka memiliki ruh bagi siapa pun yang membacanya.
Para
Ilmuan Muslim hendaknya menulis bukan hanya sekedar menyampaikan fakta,
melaikan untuk menyegerakan kebenaran untuk diketahui oleh manusia. Suatu temuan yang terkadang tak dapat
disampai secara orasi, melainkan melalui data dan hasil riset. Idealisme “Khairunnas anfa’uhum linnas” mesti menjadi motor penggerak untuk tidak henti berkarya siang dan malam.
Cita-cita besar kita hanya karena Allah dan demi kerinduan untuk bertemu
dengan-Nya di syurga tertinggi kelak.
Sehingga kita mampu menjadi penulis yang mengubah. Mengubah umat menjadi
lebih berTuhan, mengubah peradaban menjadi lebih cerah, mengubah dunia menjadi
lebih baik.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar