Sabtu, 20 Januari 2018

PENULIS YANG MAMPU MENGUBAH




Menjadi penulis merupakan pekerjaan bagi penggiat ide dan gagasan. Mereka yang antusias untuk menularkan ide dan gagasannya kepada yang lain. Hal ini dilakukan oleh seorang Karl Marx yang telah menginisisasi dunia dengan Das Capitalnya. Bloom dan Anderson telah berhasil mewarnai dunia pendidikan menjadi lebih kondusif dengan teori taxonomy-nya. Max Haveelar tulisan Edwar Douwes Dokker berhasil mempengaruhi sikap bangsa Belanda terhadap Indonesia.  Namun, kita patut takjub kepada para ulama salafus shalih yang tulisan-tulisannya menjadi karya fenomenal sepanjang masa. Jelasnya, mereka menulis bukan untuk ketenaran, tidak demi mendapatkan harta, apalagi pujian makhluk.  Tetapi mereka menulis dilatarbelakangi oleh hasrat yang hebat untuk menyampaikan ilmu yang bermanfaat bagi umat. Harapannya adalah tulisan itu dapat menjadikan umat Islam semakin tercerahkan dan terbimbing ke jalan yang lurus, jalan yang Allah ridhoi. Misalnya Harun Yahya yang melahirkan 200 karya, lalu karya-karyanya itu ditulis sebagai tanggapan terhadap penyimpangan moral yang terjadi di negaranya dan di dunia. Melalui buku-bukunya Harun yahya pun berhasil membuktikan secara empiris keteledoran teori Darwin. 

Tersebutlah pula lah diantara Ulama Penulis yang fantastis hingga kini, Imam Al-Bukhari, penulis kitab hadist paling shahih dan beliau salah satu muhadistin termasyhur dalam tinta sejarah.  Semua bermula dari mewujudkan harapan sang guru, Imam Ishhaq bin Ruwaihah “Andai saja di antara kalian ada yang mengumpulkan hadist-hadist Nabi yang shahih kemudian menulisnya dalam satu kitab….”. Ucapan gurunya menjadi inspirasi baginya untuk melecutkan karya terbaik untuk umat ini.   Gelora jiwanya kian terasah demi merealisasikan harapan sang guru. Karena Beliau menyadari harapan baik gurunya adalah kuntum pencerahan yang telah lama dinanti oleh umat Islam. Dengan kedekatan pada Allah, ikhtiar yang konsisten, ketekunan pagi, siang, dan malam akhirnya para ulama pun sepakat bahwa Kitab Shahih Bukhari Karya Imam Bukhari adalah kitab paling shalih setelah Al-Qur’an. MasyaAllah
 
Tulisan memilih pengaruh yang kuat terhadap perubahan di tataran sikap, budaya, bahkan tradisi bangsa dan peradaban.  Sebentuk tulisan memberi daya pengubah luar biasa yang menembus dimensi ruang dan waktu meskipun penulisnya telah menyatu dengan tanah. Kita menyaksiakn betapa karya-karya para ulama tersebut terus menggawangi umat Islam seutuh zaman. Ada semangat menulis yang patut diteladani dari ulama-ulama terdahulu, yakni dari  Ibnu jarir Ath-Thabary yang berjuang menulis 14 lembar karangan tiap harinya. Selanjutnya, Ibnu Syahim dengan sejumlah 330 karya tulis. Kemudian ada Ibnu Aqil yang menulis sebanyak 20 buku, karya terharumnya berjudul al-Funun yang terdiri atas 400 jilid. Tentunya tekad mereka bukan sekedar menjadi penulis, melainkan ada hal yang mesti ditulis dan  ada ilmu yang wajib disampaikan kepada sesama. 

            Ada pula kisah menarik dari Penulis kitab Fathul Bari (kitab syarah Shahih Bukhari). Ibnu Jahar al-Asqolani terinspirasi dari kalimat yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun “Sesungguhnya untuk menulis syarah dari kitab Shahih Bukhari menjadi hutang bagi seluruh ummat”. Maka Beliau memantaskan diri untuk menjadi salah seorang yang melunasi hutang dari umat ini. Betapa mulia tujuannya seorang Ulama besar, Ibnu Hajar al-Asqolani, ketika ia memulai menulis. Bukan untuk publikasi yang bersifat duniawi, melainkan untuk ganjaran yang lebih dahsyat di sisi Allah. Sehingga Abul Khair as-Sakhwi pun berkata, “Seandainya Ibnu Khaldun melihat apa yang telah ditulis oleh Ibnu hajar, tentu akan sejuk pandangan matanya, dan ia akan melihat bahwa hutang umat ini telah terbayar lunas.” MasyaAllah 

            Penulis yang mengubah selayaknya penulis yang memiiki nyali yang besar untuk membuat kehidupan lebih hidup. Mereka yang bersemangat untuk menjadi penyegar bagi dahaga kehidupan penghuni bumi.  Seperti Ibnu Main yang telah mewariskan karya tulisnya sebanyak 100 rak buku semasa hidupnya.  Atau seperti Imam Ibnu al-Jauzy yang tercatat oleh sejarah berhasil memproduksi tulisan sejumlah 40 halaman sehari, pada akhirnya selama 89 tahun hidupnya hadirlah 500 kitab.  Bisa juga seperti  Imam Syahid Hasan al-Banna yang menulis sebuah tanggapan atas buku Dr Thaha Husein (tokoh sekuler Mesir) ketika beliau sedang dalam perjalanan pulang naik kereta.  Ada juga yang fantastis yakni,  Imam Muhammad Abduh yang mampu menulis buku “Ilmu Menurut Islam dan Kristen” hanya dalam sehari, sebagai tanggapan terhadap tulisan seorang Kristen yang menyebutkan bahwa Islam tidak menghargai ilmu pengetahuan. Serupa pula dengan Prof. Mustafa al-A’zami menulis sejumlah buku yang meruntuhkan pemikiran sesat para orientalis. Bahkan dengan satu buku saja, beliau mampu meruntuhkan teori Schacht dan Goldziher yang sebelumnya mampu bertahan bertahun-tahun lamanya dan dianggap sebagai teori ilmiah.  Mereka menulis karena ada kegelisahan terhadap problematika yang dihadapi umat ini, lahir dari kegerahannya terhadap realitas umat Islam yang semakin jauh dari cahaya al-Qur’an dan al-Hadist. Sehingga karya-karya besar mereka memiliki ruh bagi siapa pun yang membacanya. 

Para Ilmuan Muslim hendaknya menulis bukan hanya sekedar menyampaikan fakta, melaikan untuk menyegerakan kebenaran untuk diketahui oleh manusia.  Suatu temuan yang terkadang tak dapat disampai secara orasi, melainkan melalui data dan hasil riset.  Idealisme “Khairunnas anfa’uhum linnas” mesti menjadi motor penggerak  untuk tidak henti berkarya siang dan malam. Cita-cita besar kita hanya karena Allah dan demi kerinduan untuk bertemu dengan-Nya di syurga tertinggi kelak.  Sehingga kita mampu menjadi penulis yang mengubah. Mengubah umat menjadi lebih berTuhan, mengubah peradaban menjadi lebih cerah, mengubah dunia menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar