Kamis, 25 Januari 2018

Nasihat Hari ini

Usahakan segala sesuatu yang dilakukan bisa menambah iman, amal sholih, kebenaran, dan kesabaran

Dampingi amal dengan ilmu
kita sering beramal tapi kita suka lupa mengevaluasi kualitasnya.

Sudah merasa berbuat itu sudah  menjadi masalah. Karena kurang menyadari kekurangan diri.

Kita sibuk untuk terus diberi ini dan itu dari Allah tapi sedikit mensyukuri apa yang telah diberikan. Kebaikan itu bukan pada nikmatnya tapi pada kesyukurannya.


Akhlak dalam Bergaul

Jika hidup hanya sekedar untuk memberi reaksi sama sebagaimana perilaku yang orang berikan, cukuplah penderitaan hidup ini. Saat orang menghina kita balas menghina, maka samalah kehinaan diri dengan orang yang menghina. Tapi mukmin tidak begitu, karena ia sadar bahwa tindakan yang dilakukan bukan karena apa yang telah dilakukan orang lain pada diri namun melakukan segala sesuatu agar Allah ridho padanya. Baginya jika membalas hinaan orang merupakan tindakan yang tidak Allah cintai, maka amat khawatir hatinya melakukan apa-apa yang tidak Allah cintai. Bila orang lain menfitnah jangan dibalas tapi muhasabah lah. Karena keburukan diri sendiri itu jauh lebih hebat dibandingkan fitnah yang orang lain lontarkan pada diri. Tapi semua masih Allah tutupi. Bila orang lain berbuat jahat maka balas dengan kebaikan, karena itulah yang Allah sukai. Bila orang lain meremehkan, tetap berbaiksangka karena itulah yang Allah sukai. Fokus hidup ini hanya untuk mencari segala sesuatu yang Allah ridhoi, melakukan apapun , yang Allah cintai, Meninggalkan apa-apa yang tidak Allah sukai.

Kopi Manis

Hidup itu seperti kopi manis, bahwa kepahitan dalam hidup itu hakikatnya hanya sedikit tapi manisnya nikmat itu berlimpah.

Selasa, 23 Januari 2018

PR Pemuda Milenials Zaman Now

1. Perdalam tauhid.
2. Perkuat hafalan Qur'an.
3. Perkokoh keimanan.
4. Jauhi maksiat.
5. Tingkatkan taat.
6. Seimbang dalam Triple Helix kecerdasan IQ, EQ, dan SQ

Lebih Kuat

Tentang masa depan adalah pokok bahasan bagi kawula muda era milenials yang kerap berujung pada kegalauan (red. antara harap dan cemas). Hal-hal sedemikian makin saya rasakan. Ketika tuntutan kehidupan berbenturan dengan harapan dan cita. Seringkali didapatkan belakangan ini lipatan-lipatan beban amanah yang rasanya tak kuasa untuk dibawa oleh pundak diri. Namun, tetiba saja sebuah kesadaran menghadiri diri yang kembali mengingatkan saya akan memohon pertolongan pada yang Maha Kuat.

Benar adanya bahwa bila Allah menghendaki seorang hamba untuk lebih kuat maka ia pun niscaya diberi tantangan yang hebat, ujian yang dahsyat, serta amanah yang berlipat-lipat. Agar dengan semua pemberian itu, diri pun kian terpicu dan terpacu untuk mengasah kesabaran dan terlatih untuk yakin pada pertolongan Allah. Bahwa dalam satu kesulitan ada dua kemudahan.

Jika merefleksikan apa yang tengah dihadapi saat ini jelas semua itu hanya kegalauan receh dibandingkan apa yang dihadapi oleh para Sahabat Nabi saw. Memang saya patut malu pada diri sendiri jika ingin mengeluh. Bagaimana mungkin memohon syurga yang sama dengan para sahabat sedang tantangan yang dijalani hanya remah-remah, yang semua hanya berkisar tentang harapan dan capaian duniawi.

Dunia remeh temeh ini, tak semestinya mengisi porsi yang besar di hati dan pikiran. Ada akhirat yang lebih utama untuk diperjuangkan.

Berjuanglah untuk  Allah dan di jalan Allah. Berdetaklah dengan jantung sendiri, bernafaslah dengan tarikan nafas masing-masing. Melajulah pada takdir yang ditetapkan dengan kesungguhan mengharapkan keridhoan-Nya. Berlarilah menuju-Nya dengan kemampuan sendiri-sendiri. Setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Jangan mengisi jawaban atas soal yang diberikan pada orang lain. Jawablah soal sesuai  dengan apa yang Allah berikan untuk diri. Karena setiap kita punya soal yang berbeda dan cara menjawab yang tak sama. Sekali lagi...selesaikan perjuangan hidup ini bukan untuk kesuksesan dunia dan makhluk  tapi untuk menjalani kalimat takwa.

Melembutlah wahai hati...
Ittaqillah nona, baik-baik dengan iman ya !

Senin, 22 Januari 2018

Pendidikan Lukmanul Hakim

Pendidikan Lukmanul Hakim, menjadi landasan yang paling relevan untuk pendidikan anak di era globalisasi abad 21 dewasa ini. Rujukannya telah diterangkan dalam firman Allah Q.S Luqman ayat 13-18.  Terdapat 4 pokok ajaran Lukman dalam pendidikan anak yakni terkait akidah, ibadah, akhlak, dan dakwah.

1. Akidah

Menanamkan akidah kepada anak merupakan perkara yang urgentif. Mengajarkan padanya esensi dari tauhid.  Esensi dari tauhid adalah meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat untuk menghambakan diri.

Allah SWT berfirman:

وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِا بْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ  ۗ  اِنَّ الشِّرْكَ لَـظُلْمٌ عَظِيْمٌ

"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, Wahai anakku! Janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar."
(QS. Luqman 31: Ayat 13)

Nasehat dalam ayat tersebut  amat mulia. Beginilah strategi untuk menasihati seorang anak yakni mengawali pertama kali dengan nasehat untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu apa pun. Jika anak akidahnya sudah mantap, maka ia akan mudah untuk selalu memperbaiki diri dan terjaga dari keburukan yang menghancurkan masa depannya dunia dan akhirat.

Selanjutnya, Memberikan kepada anak pembelajaran tentang makna ihsan. Sehingga seorang anak dapat terjaga dari melakukan maksiat dan dosa-dosa. Kemudian menjadi semangat untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Karena meyakini bahwa Allah akan menghisab keburukan maupun kebaikannya.

Allah SWT berfirman:

يٰبُنَيَّ اِنَّهَاۤ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ  ۗ  اِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ

"(Luqman berkata), Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Maha Halus, Maha Mengetahui."
(QS. Luqman 31: Ayat 16)

Sekalipun dalam menuntut ilmu. Selalu dawamkan bahwa tujuannya harus untuk Allah dan mencapai keridhoan-Nya. Karena  barang siapa yang menuntut ilmu hanya untuk dunia semata, maka ia takkan mencium bau syurga. Sebab dengan ilmunya tak mampu membuat dekat dengan Allah. Sangat disayangkan jika esensi mencari ilmu, sekolah, kuliah, dan ikut pelatihan yang beragam hanya sekedar untuk pencapaian dunia tapi tidak menjadikan dirinya mengenal hakikat dan tujuan kehidupannya di dunia.

Selalu ingatkan kepada anak bahwa kesuksesan yang besar adalah saat diizinkan untuk melihat wajah Allah dan dijauhkan dari azab-Nya.

2. Ibadah

Ajarkan kepada anak tentang cara mendapatkan solusi melalui shalat.  Menguatkan kesabaran atas segenap ujian dari Allah.
Sebagaimana nasihat Lukman pada anaknya. 

Allah SWT berfirman:

يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ  بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَاۤ اَصَابَكَ ۗ   اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ ۚ  

"Wahai anakku! Laksanakanlah sholat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting."

(QS. Luqman 31: Ayat 17)

3. Akhlak

Selanjutnya, akhlak yang diajarkan kepada anak adalah tentang berbakti pada orang tua dan menjauhi kesombongan.

Allah SWT berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسٰنَ بِوَالِدَيْهِ ۚ  حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصٰلُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِـوَالِدَيْكَ ۗ  اِلَيَّ الْمَصِيْرُ

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu."
(QS. Luqman 31: Ayat 14)

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًا   ۗ  اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ

"Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri."
(QS. Luqman 31: Ayat 18)

4. Dakwah

Mengajarkan kepada anak sebagai bagian insan yang produktif yakni yang sholih dan menshalihkan melalui ammah ma'ruf nahi mungkar.

Allah SWT berfirman:

"....suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar...
"
(QS. Luqman 31: Ayat 17)

*ikhtisar kajian ba'da maghrib @DT bersama Ust. Suherman, Selasa 22-01-2018

Sabtu, 20 Januari 2018

Ayah-Kehadiran

Adakalanya kita pernah berjumpa seseorang yang jaraknya teramat dekat, namun hati terasa hampa padanya. Keberadaannya tak bisa mewakili kehadirannya.
Bahkan seakan dia tak ada dihadapan diri.
Di sisi lain pernah ada rasa yang begitu kuat bergelayutan dan meronta-ronta pada seseorang, padahal keberadaannya takkan pernah ada lagi tuk disapa bahkan disentuh. 
Kecuali hanya menjadi bongkah-bongkah rindu yang menggelinding berotasi di hati. 
Namun, ia selalu hadir tanpa perlu ada. 
Ayah... 

Membumikan Khidmat, Menebar Makna, Mengangkasakan Karya




Tetap berkarya walaupun pernah mengalami kegagalan, terus berkarya meskipun telah berhasil, jangan bosan berkarya mesti dalam keadaan lelah. Bahwa manusia telah ditakdirkan sebagai khalifah, bersama itu telah diinstalisasi sekian potensi akbar yang menjadi suport system untuk mengeksekusi amanahnya. Insan yang produktif, sangat mengkhawatirkan waktu yang berlalu tanpa bekas karya. Waktu yang ada bahkan tidak cukup baginya untuk menuntasakas segenap kerja yang ingin digelarnya.


Manusia itu makhluk potensial. Potensi-potensi menakjubkan itu dapat dimekarkan dengan ketekunan, kedisiplinan, kesungguhan, dan kekhusyukkan hati pada Ilahi Rabbi. Kita sebaiknya berupaya untuk selalu hadir dalam segenap ruang dan waktu yang tengah dihadangkan. Memang keberadaan tak selalu membawa kehadiran. Adanya diri dalam shalat misalnya, juga  berpotensi hanya sekedar menaruh keberadaan diri dihadapan Allah namun tak menghadirkan hati untuk-Nya. Hadirnya hati itu identik dengan presence dalam istilah meditasi, lebih ringan bahasanya dikatakan khusyuk untuk kontekstual shalat.

Dalam shalat esensinya setiap diri itu telah dilatih untuk dapat hadir dalam keberadaanya. Agar mereka dapat menyelesaikan segala sesuatu di luar shalat dengan penuh kesungguhan atas kehadirannya. Misalnya saat belajar di kelas, keberadaan memang tengah mengikuti alur pembelajaran tapi tak jarang terjadi mental (kognisi) diri tidak tertempah pada proses pembelajaran yang tengah disajikan karena hanyut pada teater pikiran yang lain. Melatih diri untuk hadir dalam keberadaan menjadi suatu kebaikan yang patut diharuskan bagi siapapun yang ingin layak kehidupannya di masa kini maupun yang mendatang.

Bila diri itu bisa berkompromi dengan kesadaran akan waktu, jelas lantunan istighfar tak pernah henti terlafadzkan. Sebab dari sekian banyaknya waktu yang berlalu, entah sudah seberapa perbekalan untuk menghadap-Nya. Detik yang melintas tak pernah lagi melintas dalam kembali, hanya sekali, lalu berlalu tanpa kembali. Betapa nikmat bila kemampuan diri akan menjadi insan produktif kian dicetuskan dan didawamkan dalam hari-hari. Mungkin salah satu variabel yang dapat menjadi support systemnya adalah ‘hadir dalam keberadaan’. Belajar untuk benar-benar menyelesaikan satu hal dengan kesungguhan untuk beranjak pada hal lain dengan kesungguhan lagi. 

Manusia telah ditetapkan keberadaannya di bumi, tapi bagi mukmin hatinya telah tinggal di syurga.”

Melatih diri untuk mendalami makna agar mampu menjadi yang bermakna. Belajar dengan kesungguhan untuk menebar manfaat sebagi insan terbaik di sisi-Nya, mengangkasa dengan karya sebagai rasa syukur seorang hamba atas nikmat kesempatan untuk memanfaatkan karunia-Nya menjadi sesuatu yang berguna.

Menulis




Tulisan yang berkarakter, bermutu, bertenaga, dan juga bermanfaat merupakan tulisan yang hadir dari  pancaran keimanan dan ruh pikiran yang benderang. Sehingga dapat menghanyutkan pikiran siapa pun yang membacanya dalam arus influensasi sang penulis. Apa yang tulis memberi efek nan membahana lagi dahsyat cetarnya bagi pembaca. Pengaruh dari tulisannya menembus pikiran-pikiran manusia melewati lintas ruang dan waktu. Siapa pun yang membaca tulisannya akan terlahirkan menjadi pribadi-pribadi baru, membentuk manusia-manusia penggerak kebaikan. Jelas untuk dapat membuat tulisan yang sedemikian bukanlah perkara yang mudah. Ada beberapa hal yang menjadi beberapa prasyarat ketika seseorang memulai untuk menulis.

 Tuntutan menulis sefrekuensi dengan kebutuhan mensuplai ilmu. Akumulasi dari energi ilmu  menuangkan penyegaran pada ide. Mencuarkan semacam ruh dalam kata-kata yang dijejalkan pada tulisan. Berbeda dengan seorang yang menulis hanya sekedar mengungkapkan perasaan atau menuangkan kisah-kisah harian. Memang ada poin hikmah yang dapat disiggahi, namun kedangkalan akan ilmu membuat poin hikmah yang akan tersampaikan pun kurang mengena. Pada akhirnya, hanya menjadi bacaan yang abalan tanpa bobot dan makna bagi pembaca. Maka pentinglah bagi seorang penulis untuk menjadikan budaya tholibul ilmy sebagai suatu kebutuhan dasar. Budaya tholibul ilmy  merupakan budaya baik yang diteladankan oleh para salafus solih. Meraup ilimu baik dengan membaca, mendengarkan kajian ilmu, atau membaca pengalaman kehidupan manusia-manusia yang silih berganti menghiasai kehidupan diri. Budaya itulah yang mengajarkan diri untuk menjadi lebih baik dan menunjukkan pada jalan pencerahan bagi akal dan hati. 

Salah seorang Salafus Sholih yang bergentayangan dalam kemah budaya tholibul ilmy adalah Imam Tsa’lab. Kisah yang menarik adalah tentang kematiannya pada suatu hari ketika beliau menikmati perjalanannya dengan membaca buku, perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki. Maka dalam keasyikannya dengan bacaannya tetiba datang seekor kuda dari belakang dan kemudian menabraknya. Lantas beliau pun jatuh ke parit dan dua hari kemudian meninggal dunia. Poin penting yang menggelitik motivasi dari kisah ini adalah keasyikan seorang ulama dengan ilmu membuatnya selalu dan senantiasa haus untuk membaca sekalipun dalam kondisi berlajan. MasyaAllah.

Kecanduan membaca mengindikasikan seseorang  mulai mencintai ilmu. Jika membaca belum menjadi candu maka jadikanlah sebagai paksaan. Harus berupaya membaca sekalipun dalam keadaan malas.

PENULIS YANG MAMPU MENGUBAH




Menjadi penulis merupakan pekerjaan bagi penggiat ide dan gagasan. Mereka yang antusias untuk menularkan ide dan gagasannya kepada yang lain. Hal ini dilakukan oleh seorang Karl Marx yang telah menginisisasi dunia dengan Das Capitalnya. Bloom dan Anderson telah berhasil mewarnai dunia pendidikan menjadi lebih kondusif dengan teori taxonomy-nya. Max Haveelar tulisan Edwar Douwes Dokker berhasil mempengaruhi sikap bangsa Belanda terhadap Indonesia.  Namun, kita patut takjub kepada para ulama salafus shalih yang tulisan-tulisannya menjadi karya fenomenal sepanjang masa. Jelasnya, mereka menulis bukan untuk ketenaran, tidak demi mendapatkan harta, apalagi pujian makhluk.  Tetapi mereka menulis dilatarbelakangi oleh hasrat yang hebat untuk menyampaikan ilmu yang bermanfaat bagi umat. Harapannya adalah tulisan itu dapat menjadikan umat Islam semakin tercerahkan dan terbimbing ke jalan yang lurus, jalan yang Allah ridhoi. Misalnya Harun Yahya yang melahirkan 200 karya, lalu karya-karyanya itu ditulis sebagai tanggapan terhadap penyimpangan moral yang terjadi di negaranya dan di dunia. Melalui buku-bukunya Harun yahya pun berhasil membuktikan secara empiris keteledoran teori Darwin. 

Tersebutlah pula lah diantara Ulama Penulis yang fantastis hingga kini, Imam Al-Bukhari, penulis kitab hadist paling shahih dan beliau salah satu muhadistin termasyhur dalam tinta sejarah.  Semua bermula dari mewujudkan harapan sang guru, Imam Ishhaq bin Ruwaihah “Andai saja di antara kalian ada yang mengumpulkan hadist-hadist Nabi yang shahih kemudian menulisnya dalam satu kitab….”. Ucapan gurunya menjadi inspirasi baginya untuk melecutkan karya terbaik untuk umat ini.   Gelora jiwanya kian terasah demi merealisasikan harapan sang guru. Karena Beliau menyadari harapan baik gurunya adalah kuntum pencerahan yang telah lama dinanti oleh umat Islam. Dengan kedekatan pada Allah, ikhtiar yang konsisten, ketekunan pagi, siang, dan malam akhirnya para ulama pun sepakat bahwa Kitab Shahih Bukhari Karya Imam Bukhari adalah kitab paling shalih setelah Al-Qur’an. MasyaAllah
 
Tulisan memilih pengaruh yang kuat terhadap perubahan di tataran sikap, budaya, bahkan tradisi bangsa dan peradaban.  Sebentuk tulisan memberi daya pengubah luar biasa yang menembus dimensi ruang dan waktu meskipun penulisnya telah menyatu dengan tanah. Kita menyaksiakn betapa karya-karya para ulama tersebut terus menggawangi umat Islam seutuh zaman. Ada semangat menulis yang patut diteladani dari ulama-ulama terdahulu, yakni dari  Ibnu jarir Ath-Thabary yang berjuang menulis 14 lembar karangan tiap harinya. Selanjutnya, Ibnu Syahim dengan sejumlah 330 karya tulis. Kemudian ada Ibnu Aqil yang menulis sebanyak 20 buku, karya terharumnya berjudul al-Funun yang terdiri atas 400 jilid. Tentunya tekad mereka bukan sekedar menjadi penulis, melainkan ada hal yang mesti ditulis dan  ada ilmu yang wajib disampaikan kepada sesama. 

            Ada pula kisah menarik dari Penulis kitab Fathul Bari (kitab syarah Shahih Bukhari). Ibnu Jahar al-Asqolani terinspirasi dari kalimat yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun “Sesungguhnya untuk menulis syarah dari kitab Shahih Bukhari menjadi hutang bagi seluruh ummat”. Maka Beliau memantaskan diri untuk menjadi salah seorang yang melunasi hutang dari umat ini. Betapa mulia tujuannya seorang Ulama besar, Ibnu Hajar al-Asqolani, ketika ia memulai menulis. Bukan untuk publikasi yang bersifat duniawi, melainkan untuk ganjaran yang lebih dahsyat di sisi Allah. Sehingga Abul Khair as-Sakhwi pun berkata, “Seandainya Ibnu Khaldun melihat apa yang telah ditulis oleh Ibnu hajar, tentu akan sejuk pandangan matanya, dan ia akan melihat bahwa hutang umat ini telah terbayar lunas.” MasyaAllah 

            Penulis yang mengubah selayaknya penulis yang memiiki nyali yang besar untuk membuat kehidupan lebih hidup. Mereka yang bersemangat untuk menjadi penyegar bagi dahaga kehidupan penghuni bumi.  Seperti Ibnu Main yang telah mewariskan karya tulisnya sebanyak 100 rak buku semasa hidupnya.  Atau seperti Imam Ibnu al-Jauzy yang tercatat oleh sejarah berhasil memproduksi tulisan sejumlah 40 halaman sehari, pada akhirnya selama 89 tahun hidupnya hadirlah 500 kitab.  Bisa juga seperti  Imam Syahid Hasan al-Banna yang menulis sebuah tanggapan atas buku Dr Thaha Husein (tokoh sekuler Mesir) ketika beliau sedang dalam perjalanan pulang naik kereta.  Ada juga yang fantastis yakni,  Imam Muhammad Abduh yang mampu menulis buku “Ilmu Menurut Islam dan Kristen” hanya dalam sehari, sebagai tanggapan terhadap tulisan seorang Kristen yang menyebutkan bahwa Islam tidak menghargai ilmu pengetahuan. Serupa pula dengan Prof. Mustafa al-A’zami menulis sejumlah buku yang meruntuhkan pemikiran sesat para orientalis. Bahkan dengan satu buku saja, beliau mampu meruntuhkan teori Schacht dan Goldziher yang sebelumnya mampu bertahan bertahun-tahun lamanya dan dianggap sebagai teori ilmiah.  Mereka menulis karena ada kegelisahan terhadap problematika yang dihadapi umat ini, lahir dari kegerahannya terhadap realitas umat Islam yang semakin jauh dari cahaya al-Qur’an dan al-Hadist. Sehingga karya-karya besar mereka memiliki ruh bagi siapa pun yang membacanya. 

Para Ilmuan Muslim hendaknya menulis bukan hanya sekedar menyampaikan fakta, melaikan untuk menyegerakan kebenaran untuk diketahui oleh manusia.  Suatu temuan yang terkadang tak dapat disampai secara orasi, melainkan melalui data dan hasil riset.  Idealisme “Khairunnas anfa’uhum linnas” mesti menjadi motor penggerak  untuk tidak henti berkarya siang dan malam. Cita-cita besar kita hanya karena Allah dan demi kerinduan untuk bertemu dengan-Nya di syurga tertinggi kelak.  Sehingga kita mampu menjadi penulis yang mengubah. Mengubah umat menjadi lebih berTuhan, mengubah peradaban menjadi lebih cerah, mengubah dunia menjadi lebih baik.