Minggu, 20 September 2015

Dan Saya pun Tertampar



Alhamdulillah siang ini dapat pinjaman buku “Warisan Sang Murabbi” karya KH. Rahmat Abdullah dari salah seorang, Shohibul Iman. Saya terhenti, hati pun mencaci diri sendiri, dan kesesakan dada berirama menjejali  saat pada halaman ke 33. Kutipannya begini

Nilai iman yang tertinggi manakala pemiliknya dapat merasakan ketentraman iman (Q.S.ar-Ra’d:28) dan karenanya mereka berhak mendapatkan kemananan (Q.S al-An’am:82). Ketentraman dan keamanan tersebut tidak ada hubungannya dengan mentalitas burung onta yang melarikan diri dari persoalan ummat dan berlindung di balik dinding  ma’bad tempat dzikir, karena orang seperti mereka bisa sangat terguncang dan tidak merasa aman terhadap guncangan makhluk. Terlebih untuk bisa menjadikan dirinya “perisai Tuhan” bagi hamba-Nya yang lemah teraniaya.
Imam Ahmad meriwayatkan hadist, suatu masa turun perintah Allah kepada seorang malaikat untuk menumpahkan adzab pada suatu negeri. Malaikat itu melapor dan Allah Maha Tahu tentang hal yang dilaporkannya Ya Tuhan disana ada orang shaleh. “justru jawaban Allah begitu mengejutkan,” mulailai timpakan azab kepadanya. Apa pasal ?. Karena wajahnya sama sekali tak pernah memerah karena Aku. Ia tak punya kecemburuan dan ketersinggungan bila kehormatan Allah dilanggar. Ia tenang ketika ummatnya dibantai. Ia baru tersinggung bila pribadina di usik!
Salah satu sukses madrasah (aliran) sekuler modern adalah keberhasilan mereka mencetak generasi Muslim yang tak tersingging bila Islam, al-Qur’an dan Rasul diejek,:Demi toleransi” kata mereka.
          
Selesai membaca bab ini saya pun tertampar dan spechless

Sabtu, 19 September 2015

Perjalanan Menuju 'Pulang'



Kita sedang menuju perjalanan ‘pulang’.  Sudah sebentuk apa bangunan rumah di tempat abadi kita ?. Sebab kita semua sudah sama-sama tahu hidup di dunia jauh lebih singkat ketimbang hidup kita setelah kematian.  Mungkin hari ini kita masih bisa menikmati swatamita mengkanfas sepanjang hari lalu esoknya kita telah menjadi senandika. Segala eunoia dunia ini akan habis pada batas waktu yang pasti. Hidup kita bisa berakhir kapan pun. Izrail datangnya tidak pakai undangan, suka-suka keputusan Tuhan.

Keyakinan akan adanya hari pembalasan menjadikan setiap dari kita lebih mawas diri, semakin memantapkan keyakinan yang pada akhirnya menumbuhkan semangat  pengabdian. Selalu lah ingat bahwa detak jantung kita adalah detak menuju garis finish kehidupan. Helaan nafas kita adalah berkurangnya usia. Jika berkurangnya usia tidak diimbangi dengan pertambahan ilmu, kebaikan, pemahaman, dan kekhusyukan dalam ibadah mungkin bisa-bisa kita tegolong bagian yang merugi.  Jadi tak ada salahnya kita banyak-banyak mengingat penghacur kenikmatan ini; kematian. Agar kita tidak terlenakan oleh kehidupan yang hanya menjadi jembatan untuk ‘pulang’.

Karena kita dari tanah, sudah selayaknya rebah kembali ke tanah. Adakalanya perasaan dekat dengan ajal mengantarkan jiwa kita pada kondisi damai. Kita tak lagi berpanjang angan akan ini dan itu, focus untuk memaksimalkan hari ini. Betapa bodohnya kita saat telah mengetahui kematian dapat menghampiri kapan pun, namun kita masih dengan tenang mengerjakan hal yang sia-sia bahkan dosa, Na’udzubillah…

Terbayang, alangkah nikmat jadi orang yang fokus hidupnya adalah akhirat. Seluruh waktunya terisi ibadah. Diamnya jadi zikir, tenangnya jadi piker, ucapannya jadi nasihat, langkahnya jadi jihad, tingkah lakunya jah dari maksiat. Jiwanya tentram, tak punya ambisi keduniaan. Hatinya tenang dalam kesederhanaan. Selalu syukur atas segala pemberian Tuhan. Tak tinggi hati kala dipuji, tak rendah diri kla dimaki. Tak ada yang lebih mengkhawatirkannya kecuali Tuhan tak lagi mencintainya. (*Meleleh…) Mungkin orang-orang yang seperti ini, berjilid-jilid pikiran dan perasaannya hanyalah tentang kematian. Sehingga tak mau melakukan hal yang tidak membaikkan kampung ke’pulang’an-nya.

Sebelum ‘pulang’, mari kita pelajari dunia tempat perjalanan kita sebelum kembali. Dunia ini adalah kesenangan yang menipu (Q.S.Ali-Imran:14).  Dunia ini adalah kecil, segala apa yang ada di dunia adalah kecil, kebahagian kecil, kesengsaraan kecil, kenikmatan kecil, lalntas kita pun juga kecil (Q.S. an-Nisa’:77).  Dunia hanyalah tempat sandiwara kehidupan dipentaskan (Q.S.al-An’am:32). Dan dunia adalah penjara  bagi orang-orang yang merindukan wajah Allah. Beginilah dunia kita. Semoga kita mampu menempuhnya dengan sebaik-baiknya perjalanan. 

Ketika kita masih takut dengan kematian, bisa jadi dosa-dosa kita yang menjadi nanah penyebabnya. Karena orang yang telah mengisi hidupnya dengan ketaatan, ia sangat mendambakan untuk cepat-cepat ‘pulang’. Mereka adalah yang sangat merindukan hari dimana ia menerima kebaikan yang telah dituntaskan selama hidup. Orang yang selama hidupnya sudah berusaha mengabdikan seluruh waktu, tenaga, harta untuk penghambaan pada Allah, begitu syahdu kerinduannya akan perjumpaan dengan Penciptanya. Itulah waktu ia pulang ke tempat keabadian.

Menulis lah



Nasihat dan kata-kata kita bernilai tinggi di hadapan Allah bukan ketika banyak yang berdecak kagum dan memujinya. Tapi ketika kalimat-kalimat kita itu mampu membantu orang lain untuki menemukan solusi hidupnya atau menjadikannya lebih baik sebelum membaca. Satu syarat yang mesti ditunaikan yakni jagalah niat menulis ; lillah.

Mengapa Napoleon Bonaparte mengatakan bahwa dirinya lebih merasa takut terhadap satu orang penulis ketimbang seribu orang tentara.. Mungkin kalimat KH.M.Isa Anshary lah jawabannya. “Revolusi-revolusi besar dunia selalu didahului oleh jejak pena seorang pengarang. Pena pengarang mencetus suatu ide dan cita, menjadi bahan pmikiran-pemikiran pedoman berjuang”. Memang kita menulis bukan hanya untuk menerbut karya, tapi lebih untuk menerbitkan cita dan harapan bagi generasi selanjutnya.

Orang berilmu itu derajatnya lebih tinggi, karena tanggung jawab yang dipikulnya lebih berat. Teruslah belajar, teruslah mencari kebenaran, dan teruslah berusaha untuk mengamal ilmu yang kita tahu. Setidaknya kita dapat mengamalkannya dengan menulis sembari berupaya melakukannya sendiri. Tetaplah menulis. kita akan menjadi lebih tenang setelah memuntahkan segala isi kepala menjadi sebuah tulisan. Tulis saja apa yang dirasa. Menulislah dengan hati dan pertajamlah dengan pikiran.

Terkadang kita harus punya jiwa yang merasa diri kita adalah makhluk yang dikirim Tuhan untuk menjadi perantara kemashlahatan bagi lebih banyak insan. Menulis pun mampu membantu kita untuk memainkan peran sebagai sebergunanya insan.

Adakalanya menulis ini meringankan kepenatan dalam otak, dengan menumpahkannya akan memberi ruang yang leluasa pada pikiran. Bisa jadi ada suatu rasa yang sulit untuk di defenisikan dalam ucapan, maka kata-kata setidaknya menjadi penghubung sementara sampai kelu lidah itu hilang. Begitulah..

Adakalanya menulis ini membuat daya ingat lebih baik, sebab apa yang telah dibaca dilukis dalam kanfas tulisan, sehngga gambaran dari apa yang telah dibaca dapat termaknai citranya. Mungkin juga bisa dari ucapan-ucapan bijak yang terlontar oleh siapa, maka untuk mengabadikannya, yah moga-moga bermanfaat, direkam dalam memori dan diputar ulang dalam tulisan. Begitulah.

Jadilah Pemaaf



Ada banyak pilihan yang bisa kita ambil  ketika menghadapi seseorang yang sempat melukai perasan. Kita bisa menyimpan dendam yang bergemuruh di dada atau memilih menjadi pribadi pemaaf yang melepas segala kesalahan yang dilakukan orang pada diri kita. Tentu pilihan terbaik yang diajarkan oleh agama adalah menjadi pribadi kedua.

“Saya menangis sesaat menamatkan baca biografi Muhammad. Tidak ada teladan luhur selain Muhammad”. Inilah ucapan dari seorang Mahatma Gandhi. Lantas kita bagaimana ?. memang sudah semestinya kita mengingat kembali teladan Rasul saw tentang memafkan. Ketika Beliau saw berdakwah ke Thaif, penduduk tidak hanya menolak dakwahnya, tapi juga mengusir dengan cara yang anarkis. Melepari Rasul saw hingga babak belur berlumur darah. Rasul terus berupaya untuk lari, tanpa ada sedikitpun upatan.

Sungguh Jibril tak tega melihat apa yang terjadi pada Kekasih Allah tersebut.Akhirnya menawarkan untuk memusnahkan seluruh penduduk Thaif. Tapi sungguh menakjubkan. Rasul pun mengatakan kepada Jibril. “ Jangan lakukan hal itu, sungguh mereka belum mengerti.” Subhanallah. Inilah maaf yang menguar dari hati yang selalu dekat dengan Rabbnya, hati yang ingin dikotori oleh dendam durjana, dan inilah yang menjadikan Rasul saw menjadi pemaaf sejati. Sebab pemaaf sejati lebih memilih memaafkan meskipun sebenarnya mereka punya kuasa untuk membalas keburukan yang dicampakan padanya.

Perjalanan hidup kita yang seperti buku, cover depan adalah tanggal lahir ,cover belakang adalah tanggal Kematian . Tiap Halamannya , adalah tiap hari dalam hidup kita dan apa yang kita lakukan . sayangnya apapun yang sudah tertulis dalam buku itu, tidak akan bisa di'Edit’ lagi . Tapi seBuruk apapun halaman sebelumnya, selalu tersedia halaman selanjutnya yang putih bersih , baru dan tidak tergores . Tidak cantik jika lembara-lembaran itu ternodai oleh titik-titik kedendaman. Cobalah untuk memafkan. Sejarah mencatat  bahwa orang-orang besar memiliki jiwa yang sangat pemaaf. Mereka tak mau mengerdilkan dirinya dengan menjadi pribadi pendendam. Bagi mereka cara terbaik untuk mengekspresikan dendam adalah dengan meraih kesuksesan.

Bercita-cita lah



Kita  berjalan dengan harapan-harapan. Menjemput masa depan. Coba tanyakan pada diri kita, tentang keingandan cita-cita kita. Jika kita memiliki jawaban yang tak mengarah pada ketaatan pada Allah, lebih bijak jika kita men-delete dan merevisi cita-cita dan keinginan itu.

Mari kita lebih berhati-hati dengan cita-cita. KArena kebanyakan umur kita dihabiskan untuk meraih itu. Kerja keras dan energy terbias untuk mengejar apa yang kita cita-citakan. Betapa ruginya jika hidup kita yang sekali ini kita habiskan untuk mengejar cita-cita yang salah. Cita-cita yang bukannya berujung bahagia, justru membawa diri kepada nestapa. Selalu lah meminta fatwa pada nurani. KArena nurani senantiasa menggaungkan suara kebenaran.

Menuju cita-cita itu, mari kita belajar mengindahkan akhlak. Sebab apaun cita-cita yang kita capai tanpa etika adalah keburukan. Kita mesti menjadi yang profesianal dalam cita-cita yang ingin dituju. Dalam dalam kata professional sebenarnya melekat tentang tanggung jawab moral, etika dalam menjalan profesi yang ditekuni atau dalam bahasa religi yang biasa kita kenal dengan akhlak. Semakin tinggi akhlak, semakin tinggi pula tingkat profesionalisme seseorang. Jadilah yang berakhlak

Mari kita tetap menjaga optimisme, bahwa dalam meraih cita-cita itu tugas kita adalah berkontribusi bukan menebar caci, tugas kita adalah berprestasi bukan malah menebar benci, tugas kita adalah sebanyak-banyaknya memberi bukan hanya sekedar mengkritik tanpa menemukan solusi. Sungguh, setiap manusia senantiasa memiliki kekurangan dan kelebihan. Lalu cinta menyatukan manusia, hingga kekurangan satu akan ditutupi dengan kelebihan yang lain. JIka setiap dari kita selalu menjaga hal-hal tersebut dalam meraih cita-cita. Alangkah semerbaknya negri kita ini.