Minggu, 20 Agustus 2017

Mari Upayakan



Untuk menjadi orang besar, kita  tidak harus menjadi kaya, terkenal atau dikagumi banyak orang. Jika kita bersedia mengajarkan al-Qur’an  di sebuah surau kecil di desa terpencil banget, maka kita telah menjadi orang besar. Sebab orang besar adalah orang yang mampu bermanfaat bagi orang lain kan ?. Penghargaan dan penghormatan tertinggi adalah keridhoan Allah terhadap segala perbuatan dan amal kebaikan yang kita lakukan dengan tulus. Kebesaran tidak selamanya menjadi sumber kemuliaan dan kehormatan bagi seseorang. Terkadang justru menjadi sumber kesengsaraan dan ketersiksaan hidup bila disalahgunakan. Bila dimanfaatkan hanya untuk memenuhi hasrat duniawi.
Kita yang sering mendengarkan atau langsung membaca kisah Seperti Fir’aun. Betapa tak tertandingi kebesaran Fir’aun. Seluruh penduduk tunduk padanya bahkan ia sekaligus mentahtakan diri sebagai tuhan. Na’udzubillah…! Karena merasa begitu ia merasa begitu besar, sebuah perasaan yang bereferensi pada kebuntuan akal, kebutaan penglihatan, dan tertutupnya mata hati.  Kebesaran yang menghinakan diri sendiri. Fir’aun berbuat untuk kebesaran dirinya bukan kebesaran Tuhan dan itulah yang menjadikan kecil.
Mari berkelana pada telaga bening, Kisah Nabi Yusuf. Ayat keempat dalam surah Yusuf berkisah tentang mimpi Nabi Yusuf a.s. Beliau bercerita pada ayahnya perihal sebuah mimpi yang dialaminya. Mimpi yang membawa pesan kepadanya bahwa kelak dia akan menjadi “orang besar”.
Pernah tahu kan seberapa uniknya kisah perjalanan Nabi Yusuf. Seseorang yang mesti melalui jauhnya tempuhan dengan kesulitan dan aral-aral keji sepajang perjalanan. Bahkan pada usia Belia pun sudah menerima cobaan yang menggetirkan nurani. Dengan kedengkian saudara-saudaranya Beliau a.s pun dicampakkan ke dalam sebuah sumur. Tau rasanya ? sendiri di dalam lubang kelam, tanpa minum-makan, dipunggungi terik mentari siang sekaligus di terjang tusukan dinginnya suhu kala malam, tak berbaju. Sungguh pilu.
Perjalanan cobaan terus berlanjut sampai Beliau a.s ditemukan kafilah dagang dan dijual sebagai budak. Diperlakukan semena-mena. Layaknya seorang budak. Diperintah ini dan itu, dilecehkan, bisa jadi jika tuannya gak mood, yah kena sampah amarah sekenanya saja. Aduuuh… kalau kita diposisi ini, sudah mulaikah kita mempertanyakan keadilan Tuhan ?  Mungkin iya,  tapi Nabi Yusuf tidak !. Suatu keyakinan bahwa  Allah adalah Tuhan Yang Maha Adil. Maka dengan tetap sabar dan yakin Allah selalu menyediakan hal-hal yang baik dibalik setia ujian, maka Nabi Yusuf menaiki tangga-tangga ujiannya hingga puncak kemuliaan di sisi Allah.  Hingga Nabi Yusuf menjadi orang besar. Benar-benar besar sebab kebesarannya lahir dari  kesabaran-kesabaran kecil yang berkelanjutan dan terus Beliau besarkan. Tantangan dan kesulitan tidak selamanya buruk. Ia melatih kita untuk menjadi kuat dan tangguh. Ia mengasah pikiran kita untuk selalu mencari solusi dan cara untuk mengatasi nya. Nabi Yusuf a.s yang telah membuktikannya, Beliau a.s adalah orang yang setia menjadikan Allah selalu yang pertama.
Allah tidak pernah pelit untuk membalas kebaikan kecil yang dilakukan hamba-Nya yang  ikhlas. Meski ganjarannya kecil, tidak ada pahala sekecil apa pun di hari kiamat nanti melainkan ia akan menjadi tempat bergantung harapan setiap hamba untuk mengantarkannya ke surga.
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gkitakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.”
 (Q.S an-Nisa:40)
Kita tentu tidak akan mengharapkan menjadi orang besar yang kecil di sisi Allah kan ?. Mari kita ukir kebaikan-kebaikan kecil untuk diri kita. Sebab apapun yang kita lakukan meski secara maknawi berorientasi pada kepentingan orang lain, namun pada hakikatnya adalah kita berbuat untuk diri kita sendiri. Orang yang tidak bisa menjalani hidup dalam kebahagiaan dan kesuksesan adalah mereka yang tidak bisa memanfaatkan kesempurnaan dirinya. Seseorang yang pikirannya dipenuhi banyak gagasan dan rencana cerdas tetapi tidak pernah mencoba merealisasikannya menjadi sebuah karya nyata, maka dia adalah orang yang tidak berguna.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.”
 (Q.S.Fushshilat:46).
 Berupayalah untuk pulang ke negri keabadian dengan sebaik-baik nama, mari kita bawa kebesaran nama kita hingga ke syurga
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
 (Q.S.al-Qasas:77)
Mari upayakan…!

Orang-Orang yang Bahagia



Orang-orang yang bahagia bukanlah yang tak pernah sedih, tak pernah kecewa, tak pernah gundah gulana. Manusia kan bukan malaikat. Semua itu fitrah untuk dikenyam. Namun ada sosok yang ketika sedih, maka kesedihan itu tidak akan berkepanjangan dan melarutnya dalam duka tak bertepi. Saat kecewa, kekecewaannya tak membuatnya putus asa dari rahmat Allah. Segala gejolak diredamnya dalam satu kalimat penyangga, "Wahai Masalah Besar Kita Memiliki Allah Yang Maha Besar !". Saat segala ujian begitu menghimpit ia bisikkan keluhan pada bumi dalam senandung sujud yang panjang agar bumi menyampaikan langsung pada langit perihal luka yang tengah tersayat di kehidupannya.  Lagu kesabaran terus ia dendangkan dalam langkah gontai yang letih menapaki panggung sandiwara,dunia. Sebab ia sadar manusia satu menjadi ujian bagi yang lain. Sehingga hatinya pun lega. Sebab masih santunnya Allah mengirimkan seseorang yang dengannya ia mendapatkan kemuliaan atas sabar membersamainya. Indahnya....
 Sosok itu adalah seutuh raga dan jiwanya tersemai indah benih-benih keimanan. Hampir mutlak hidupnya adalah senyuman. Karena tak pernah dihinggapi penyesalan pada ketetapan Allah. Ia memaklumi bahwa dalam kalam Ilahi disampaikan. Segala takdir Allah tercipta dari sifat-Nya yang Maha Lembut, maka pasti tidak akan melukai hamba-Nya.
Untuk menjadi yang sekali, berarti, lalu mati. Bukan lagi apa yang difikirkan orang terhadap diri, namun apa yang telah kita beri untuk Ilahi dan apa penilaian-Nya kepada diri ini. Sebab bahagia letaknya di hati, tidak ada parameter materi apapun yang dapat mengukur kebahagiaan seseorang kecuali ia sendiri. Akhirnya sekian kali kita mengelilingi matahari, dan semakin pekat kita kenali. Hanya pada kedekatan pada Allah lah kebahagian itu terhimpun.
 Hanya hati yang beninglah mampu menerjemahkan segala ketetapan Allah. Bahwasanya apapun yang ditakdirkan bagi seseorang merupakan kanfas terbaik lukisan dikehidupannya. Tapi kebanyakan manusia mengingkari nikmat Allah. Padahal sejatinya kita dapat terus bahagia jika kita terus bersyukur.

Tetap Berjuang dan Memperjuangkan



Sungguh perjalanan ini meletihkan. Para pendahulu bumi yang Suci pun mengakuinya. Nabi Adam as pun letih menjelajahi bumi mencari hawa dan menopang hidup dengan berbekal takwa, akhirnya ia sampai pada akhir perjalanan mulia. Nabi Nuh as pun letih, berdakwah puluhan abad sedang pengikutnya hanya terhitung puluhan orang saja, dengan berbekal sabar Nuh menempuhnya sampai pada akhir perjalanan yang mulia. Nabi Ibrahim as pun letih, menghadapi kobaran api dari penguasa yang zalim, dengan izin Allah api pun mendingin karena Ibrahim hamba yang shalih. Akhirnya, Ibrahim pun sampai pada akhir perjalanan yang mulia. Nabi Ismail as pun letih, walau harus disembelih. Dengan ketaatan Ismail pun sampai pada akhir perjalanan yang mulia. Nabi Yusuf as pun Letih, walau harus di masukkan dalam sumur, dipenjarakan, difitnah, bahkan diuji berkali-kali. Dengan mengharap ridho Allah Yusuf sampai pada akhir perjalanan yang mulia.Nabi as Zakaria digergaji, Nabi Yahya as disembelih, Nabi Ayub as menderita penyakit, Nabi Daud as menangis melebihi kadar semestinya, Nabi Isa as berjalan sendirian, dan Rasulullah Muhammad Shallallaahu'alaihiwasallam mendapatkan kefakiran dan berbagai gangguan. Semua dari Mereka merasakan letih, namun akhirnya sampai pada titik berhenti yang mulia.
Tahun sangat tahu bahwa kita bergelut dengannya. Mencandai bulan yang terus berganti, adakalanya bersitegang dengan minggu sebab susunan jadwal yang padat, mungkin bersedih karena hari dengan ketidaksiapan hati menghadapi pemberian Allah dalam bentuk ujian hidup. Kadang termangu bersama jam menunggu hal yang membahagiakan hadir. Bisa jadi terpulas bersama menit-menit dengan setumpuk pekerjaan yang dituntut untuk selesai. Kini.... sisa-sisa detiknya mari diperindah dengan mencari hikmah untuk apa kita bersama waktu?. Kita sudah sama-sama tahu bahwa Allah mensakralkan sumpah-Nya atas waktu. Rasul saw menyampaikan waktu luang adalah nikmat yang kerap luput dari pengetahuan kebanyakan manusia. Sehingga menghabiskannya pada hal-hal yang tak menghebatkan masa depan di dunia , tak memuliakan masa akhir di yaumul akhir. Pesan-pesan suci ini menghadirkan kekhawatiran dalam diri. Jangan-jangan kita begitu. Atau mungkin kita belum menemukan untuk menjadi versi terbaik dalam mengolah waktu. Sejatinya kita dapat menemukan petunjuk mengelola waktu dalam Firman-Nya, Kitab Pembeda, Al-Qur'an. Kata orang shalih semua lengkap disana. Pun ada yang ingin kita cari tahu lebih tentang tuntunan nyaman hidup ini,  maka singgahkanlah mata untuk membaca hadist, persilahkan telinga untuk mendengarkan sabda. Mudah-mudahan kita bukanlah bagian dari kelalaian memanfaatkan waktu.
Yang lain sudah memulai lebih awal. Dan kita belum pernah terlambat. Kehidupan memang seperti itu. Bukan untuk saling mendahului. Kehidupan untuk saling mengajarkan. Kita bisa belajar dari kehidupan yang lain untuk kehidupan kita. Kita pun begitu. Sedang belajar. Belajar menata kehidupan. Belajar mengatur perjalanan hidup. Terlebih saat ini belajar menghabiskan ego. Sebab ego ini terbilang cukup banyak. Tentang impian ini dan itu, ingin membeli ini dan itu, ingin menjadi ini dan itu, ingin mendapatkan ini dan itu. Semuanya bersifat personal. Hari-hari besok akan kita upayakan agar dapat meminimalisirnya. Sampai ego itu habis. Dan kita dapat mengkompromikannya bersama bukan lagi sendiri. Saat itu, kita akan melanjutkan impian kita dengan diskusi bersama pada orang yang tepat. Orang yang akan menjadi rencana-rencana hidup yang akan dibuat itu. Sepanjang tahun-tahun dulu kita terus belajar untuk ini. Dan tentang menghabiskan ego pun juga kita pelajari dari kehidupan orang yang lebih mengawali.
Rasanya perjalanan ini masih sangat jauh. Entah perjalanan ini akan mendekatkan pada bahagia atau nestapa. Kita sedang sama-sama memaksimalkan ikhtiar bukan ?. Untuk saat ini, marilah kita duduk di atas bumi yang tengah berotasi. Walau duduk sendiri-sendiri di tempat masing-masing. Kita perhatikan daun nan berguguran, yang tidak pernah menggerutu pada angin, bahkan saat dibawa kemanapun yang angin pilih tuk menjatuhkannya. Mungkin daun yakin bahwa angin takkan pernah salah memilih. Tak pernah memilih tempat yang menyakiti. Daun akan ditempatkan pada bumi yang tulus menerimanya untuk dijadikan sahabat tanah. Santapan kebersamaan mereka. Sudah kah kita perhatikan ?. Kalau begitu perjalanan ini masih sangat jauh. Sedang kita sibuk menyelesaikan urusan sendiri-sendiri. Sibuk menata banyak hal. Menyudahi masa lalu, menghidupkan masa kini, dan merencanakan masa depan. Maka janganlah berhenti.
Diperjalanan ini kita coba melapangkan hati. Dengan melapangkan hati kita bisa memahami banyak hal. Dengan melapangkan hati kita bisa menerima banyak hal. Dengan melapangkan hati kita bisa melihat banyak hal dengan positif. Memahami bahwa akan ada yang datang dan pergi. Datang dengan karakternya masing-masing, walau tak semuanya berkesan dan cocok. Lalu, ada yang pergi dengan meninggalkan cepisan kebaikan yang membuat hati terus mengenangnya, kadang merindukannya kembali walau takkan pernah lagi kembali. Kelapangan hati inilah yang memahamkan kita bahwa di perjalanan jauh ini kita akan terus bertemu dan berpisah.
Ada baiknya kita menjelma menjadi gamma. Bebas memutuskan perjalanan. Menembus apapun yang ingin dilaluinya. Tak terpengaruh oleh medan listrik, medan magnet, bahkan grafitasi. Hebat ! Adakah yang bisa mengubah diri kita menjadi gamma ? Sehingga nanti kita dapat menerobos apapun dinding ujian dari-Nya tanpa dibelokkan oleh niat yang lain selain mendambakan kemuliaan disisi-Nya.
Ada baiknya kita menjelma menjadi hujan. Datang ke bumi setulus keinginan. Hanya demi menemui setiap apa saja yang merindukan hadirnya. Walau banyak manusia yang jengkel dan mencaci maki hujan karena bajunya yang basah atau menghambat acara yang tengah di adakannya saat itu, saat hujan ditakdirkan untuk terjun ke bumi. Hujan akan memeluk siapapun yang bertengger di atas bumi tanpa pilih-pilih. Hujan tak peduli dengan kebencian makhluk. Ia datang ke bumi hanya untuk mematuhi titah Allah. Yakni bercengkrama bersama para tetumbuhan. Mengarus bersama sungai, bahkan rela mengendap kedalam bumi. Sampai datang panggilan dari langit, hujan akan naik bersama terik mentari, kembali bersemayam di gemawan atas sana.
Ada pula waktunya roda-roda kita kelihatannya tidak lagi berputar. Padahal kita memutarnya. Walau dengan pelan. Gaya berat di atas kehidupan ini meraibkan gerak kita berjalan. Padahal kita tak berhenti memutarnya. Sungguh, setelah kita sedikit tahu bahwa seorang pemenang takkan berhenti hingga ia mencapai harapan. kita pun tertatih untuk dapat mengerakkan kaki ini agar tak terhenti. Kenapa kita juga tak bergerak. Mungkinkah kita butuh torsi yang lebih besar ? Sebuah gaya yang mampu merotasikan hidup dengan lesatan yang tak tertandingi. Setidaknya mempercepat kita untuk sampai pada harapan. Bisa jadi torsi itu sedekah. Sebab 1-1 tidak lagi 0 namun jadi 11. Betapa bahagianya bila torsi itu adalah sedekah. Ulama meyakini itu betul. Jadi kita tak mungkin lagi mengelaknya.
Sore ini kita lihat mendung mengkanfas langit. Siluet senja menggurat jelas di wajah angkasa. Setidaknya, apabila memandang langit jingga itu kita dapat merasakan hal yang sama dengan insan dibelahan bumi lain yang berhasrat tuk dihibur menjelang datang malam. Langit sekalipun tak pernah malu memandang kita bukan?. Membuat kita bisa bertahan lama memikirkan keagungan Penciptanya. Hanya kita saja yang malu pada Rabb kita, sebab amalan kita tumpang, ibadah kurang, dzikir jarang, namun karunia-Nya selalu sempurna. Semoga kita masih diberi izin  tuk kembali meminta. Meminta tentang banyak hal yang membantu diri untuk mendapatkan keridhoan-Nya.
Pernahakah kita sempat terfikir tuk melautkan diri. Sempitnya hati ini tak jarang cuma menyisakan tekanan. Berbeda dengan laut yang  dengan kelapangannya membuat laut mampu menampung apapun yang masuk tanpa harus berceloteh panjang, tanpa harus mengeluh, tanpa harus merasa tertekan, tanpa harus melaknat Allah atas apa yang telah masuk. Damai bukan ? Cukup mendamaikan bagi orang seperti kita, insan yang masih memiliki perjalanan yang belum tahu persinggahannya. Kelapangan itu amat cukup membantu. Jika kita mampu melapangkan hati tuk mencintai Allah, maka Allah akan melapangkan hati-hati manusia tuk mencintai kita dengan kecintaan yang lebih. Ah...kita jadi ingat orang tua kita untuk hal ini. Manusia pilihan Allah yang belum pernah bisa atau mungkin tak bisa untuk dibalas cintanya sebab cinta mereka adalah cinta Allah. Cinta yang Maha Agung dari segala cinta.
Memang hidup ini menarik, jika paham caranya. Tak ada salahnya kita belajar  makna “Berserah Diri”. Apakah harus mengalah kepada angin, membiarkan diri dihempas dan tak perlu memikirkan kemanaakan  jatuh ? Apakah harus mengalah kepada arus, hanyut ke tempat-tempat jauh yang tak pernah tahu dimana akhirnya ?Atau kita biarkan berjalan sendiri. Ada satu waktu dimana rasanya lelah itu mendaki hingga sampai ke puncak. Mungkin selepas usaha yang begitu meresahkan. Mungkin selepas berlari kencang mengejar deadline. Adakalanya karena goresan luka yang mulai menganga. Adakalanya karena kecewa. Semua menjadi sangat lelah, memberingas menuju sel-sel otak.
Kita cukup percaya. Kini juga belajar mempercayakan hidup pada sebuah garis yang tidak pernah kita lihat dimana ujungnya.
Pada garis hidup yang telah ada sebelum semua ada.
Pada sebuah cerita dimana manusia adalah pemeran utamanya.
Dimulai dengan sebuah pemahaman, bahwa bentuk takdir yang ditemui, semua diciptakan dengan tujuan baik. Hanya butuh waktu untuk menafsirkan semua. Bisikkan saja keluhan pada bumi di sepanjang tubuh sepertiga malam, agar langsung bumi menyampaikan pesan ini pada Pemangku Langit.
Roda aktifitas sehari-hari kita sering melesat dengan kelajuan menerus, percepatan yang bertambah. Hampir-hampir tangan jiwa kita hilang kendali. Akal pun tergoncang hebat. Apalagi tubuh yang sudah terasa penat  menyelusup sekehendaknya saja.  Jika begitu, maka tak perlu mengayuh terlalu penuh pedal sepeda.  Rehat lah barang sebentar.
Pernahkan memandang langit siang, teriknya kepalang tak tanggung. seperti ada binatang melayang hinggap di penglihatan saat mata mengarah ke langit. Apakah kita sudah benar-benar letih. Mungkin sudah letih disini, di tempat dimana kita tak kunjung pergi dari gusar. Maka dipersinggahan yang sementara ini, kita ingin berarti.
Kita ingin mengabdi, kita ingin dalam ridho Ilahi.
Sedari dulu, kini, dan nanti kita tak pernah tahu di titik mana akan bertemu solusi. Bersabarlah lalu merengeklah akan pertolongan Allah. Ia senjata mukmin yang tak pernah tumpul. Pada hakikatnya zaman terus berevolusi pada satu poros yang pasti yakni kiamat. Untuk itu, ikutlah berevolusi bersama tasbih bumi mengelilingi matahari.
            Ketika bahan bakar habis dan kita tidak  memungkinkan lagi melanjutkan perjalanan. Jiwa kita mesti memberontak bahwa kita tak boleh berhenti !, karena dunia ini bukanlah tempat yang nyaman tuk istirahat. Temukanlah bahan bakar itu diselubung alam semesta. Ia setia bersembunyi disana hingga kita mau menjemputnya. Para sufi menceritakan bahwa ia bisa kita ambil di sepertiga malam, saat kebanyakan manusia senyap dalam tabur mimpinya masing-masing. Mengendap-endaplah bentangkan sajadah. Luruskan hati pada Sang Maha Luas Kekuasaannya, Raja dari segala Raja, Pemilik Segala Sesuatu tanpa terkecuali. Lantunkan nada-nada tasbih dalam kekhusyukan. Rendahkan kepala tepat diatas bumi. Memintalah. Disana transfer energi terjadi. Sepanjang Mentari menemani hari kita sibuk dengan aktifitas yang beragam. Energi itu akan menjaga kita  tetap kuat untuk melanjutkan perjalanan. Berjuanglah bersamanya….

Kekhusyukan



Kita adakalanya sangat ingin menguasai perasaan. Menyeimbangkan gelombang kesedihan yang keras dan luapan kegembiraan yang tinggi. Untuk itu, kita direkomendasikan melakukan meditasi terbaik. Bentuk meditasi yang membuat alam ini membantu kita menemukan keseimbangan. Meditasi itu adalah yang selama ini dikenal dengan kekhusyukan hati. Khusyuk dalam mengenali siapa diri kita. Khusyuk dalam menyadari untuk apa kita hidup. Khusyuk dalam memaknai siapa Pencipta kita. Khusyuk menyelami hikmah setiap pemberian Allah, apakah pemberian yang mengagumkan maupun mencengangkan.
Hal semacam itu sering menjadi solusi atas himpitan kehidupan yang kadang menjelma tak terduga. Kita tentu tidak pernah tahu perihal takdir. Kita hanya mesti meyakini segala takdir dari Allah tak punya kecacatan. Takdir itu maha sempurna, karena sebelum di tetapkan telah disempurnakan oleh Dzat Yang Maha Sempurna. Tak sopanlah kiranya jika kita menolak apa yang telah disempurnakan untuk kita atas takdir
Maka, sebisanya kita pertahankan kekhusyukan itu, agar kegusaran tak pernah ikut campur lagi jikalau takdir itu datang, apapun wujudnya. Biar ketenangan saja yang menyambut takdir itu. Karena goresan waktu yang lampau kita juga terus belajar bermeditasi. Dengan seutuhnya meditasi.
Kemarin baru embun saja yang turun, lalu terganti oleh rinai, saat ini awan kelam berarak ke atap lara hingga..... menderas lah air itu turun, melaju bersama himbauan gravitasi. Seolah alam ini melukiskan suasana yang ada. Terasa hampir begitu adanya. Untuk siaapaun yang kini  sudah lembab dengan air mata. Termangu sendiri dalam kecapaian. Menunggu kekuatan hati tumbuh rindang meneduhi teriknya ujian yang datang silih berganti. Mungkin duli karena pinta kita begitu. kita meminta diberikan hati yang kokoh, yang kuat, yang tegar untuk meraih apa yang Allah ridhoi. Bisa jadi, apa yang tengah kita lewati adalah parameter keberhasilan mencapai apa yang dulu pernah kita minta pada Allahnya.
Untuk siapa pun yang masih menunggu...menunggu awan gelap itu tersaput kebeningan penglihatan. Hingga kita  mampu melihat apa yang ada di atas kegelapan awan, yakni semburat cahaya matahari yang kekal dan takkan pernah hilang sampai Allah menitahkannya untuk berhenti bersinar. Kita yakini itu, lalu kini kita sedang mencoba memaknai kesabaran pada perihal menunggu terlihatnya cahaya. Sebab segalanya pasti berbatas.
Kita tidak dituntut untuk menunggu terlalu lama. Tidak mungkin seluruh badan kehidupan ini nestapa kan ?, karena disana pasti banyak berkecambah bahagia, nestapa itu hanya sekedar memperindah kebun kehidupan. Jika nestapanya ada kesabaran tentu menjadi kembang nan indah. Jika nestapanya kosong dari kesabaran tentu menjadi bunga busuk yang tak berarti. Pedih-pedih sedap rasanya. Nikmati saja kata sanubari ! Kelak selepas banyaknya kesabaran yang dijalani, ada suatu waktu kita akan terpana hingga lupa dengan pedihnya rasa sakit. Entah kapanlah datangnya. Kita tak ada salahnya tetap bersabar. Bersabar dalam ujian yang berbatas waktu. Tidak terlalu lama....semoga hati kita tak serapuh kapur, namun sekuat baja.

Selasa, 08 Agustus 2017

Nak jadi CikGu je la

Hari ini, kembali ke anak-anak. Melihat perkembangan kualitas belajar anak SMA di salah satu sekolah negri di Bandung. Senang...banget. Ada perasaan yang gak bisa saya rasakan saat kerja di kantoran. Jadi ingin menghabiskan masa depan bersama mereka. Bersama putra-putri terbaik di negri ini. Untuk bangsa dan negara...Saya harus berkontribusi dan mengabdi.

Sedih melihat keluhan siswa, karena yang saat ini mereka masih memiliki pola pandang yang buruk terhadap ilmu. Kalau dalam psikologi pendidikan mereka masih terbentur pada bab merencanakan strategi masa depan. Saya juga sulit mengatasi apa yang tengah mereka butuhkan. Yah...mereka sudah terlanjur menjalani masa remajanya dalam arus globalisasi yang mendistorsi potensi-potensi terbaik yang ada pada diri mereka. Contohnya aja. Saat saya masuk kelas, mereka langsung curhat bahwa hampir semua pelajaran itu tidak menyenangkan. Hhmmm, tapi ada yang menghunus hebat hati saya bahwa mereka menyatakan, belajar itu menyenangkan jika gurunya asik. Nah...disini ketemu kan garis merahnya. Sikap mereka terhadap ilmu yang tengah saya hadapi saat ini tak dapat dielakkan bagian dampak dari paparan pengajaran dari seorang guru.

Senin, 07 Agustus 2017

Jangan Meremehkan

MasyaAllah....
Saya banyak tercenung dengan sekian skenario yang Allah pilihkan dalam hidup ini. Selalu ada jalan hikmah yang tersibak atas apa-apa yang saya alami. Misalnya saja, kejadian baru-baru ini. Qadarullah...Allah mengajari saya tentang 'jangan meremehkan'. Apa ? Kita terkadang suka mengestimasi orang-orang yang profesinya biasa-biasa saja itu tidak lebih beruntung dari kita (saya lah, agar tidak tergeneralisasi). Padahal, seringkali mereka menutupi diri mereka yang sesungguhnya, kehebatannya serta keunggulan yang dimiliki. Benar-benar tertampar saat tahu seseorang yang pernah menjaga gerai (salah satu usaha) itu adalah mahasiwa di kampus ternama di Indonesia. Ini untuk kesekian kali saya temui. Kadang saat saya pulkam sering banget yang jualan di pasar beduk (pasar yang jualan aneka makanan buka puasa) itu adalah orang-orang hebat *menurut saya*. Setelah ngobrol ini itu barulah sampai pada cerita, eh saya juga lagi kuliah S3 di jepang (pengen cekek leher tahu yang ke ginian). Trus coba deh perhatian sikap-sikap orang-orang yang tidak mengerti tata krama dalam mu'amalah jual-bel, mereka suka banget berlaku angkuh padahal mereka tidak sadar dengan siapa ia sedang berhadapan. Duh, inget ya...siapa pun yang kamu temui itu sumber ilmu. Entah ilmu yang baik atau tidak baik. Kalau baik diambil dan kalau tidak baik jadikan pelajaran untuk tidak melakukannya.

Ngerti gak sih? Ya udah yang penting saya cerita aja. Yang belum dipahami semoga dapat ilham setelah shalat malam.

Apa coba yang buat saya kagum dengan pengajaran dari Allah. Baru-baru ini saya dibuat penasaran aja sama seseorang yang baru saya kenal,  gak tahu seperti punya feeling orang itu gak asing deh sebelumnya. Nah, yang lucunya *qadarullah* ternyata orang yang saya penasarankan itu memang orang yang masih terpintal erat dengan orang-orang terdekat saya. Aneh ya, saya belum pernah tetiba firasat keknya kenal tapi akhirnya memang orang yang masih dekat dengan lingkungan masa lalu. Tapi bener deh, yang kali ini gak salah firasat. Luar biasa....Darinya pula saya pembelajaran tentang 'jangan menyerah'. Walau itu sangat melelahkan. Bener sih, kadang kita suka pesimis kalau sudaj dihadapi kenyataan hidup yang pahit di kota-kota besar. Namun, sebenarnya tugas kita kan cuma menyempurnakan ikhtiar ya.*mau ucapin terima kasih, tapi dalam do'a aja. Semoga usahanya menghimpun rizki  berkah dan melimpah. Amin*

Ngerasa kocak aja yang kali ini. Kenapa saya harus penasaran (Huffttt), kenapa harus ada firasat kenal.  Bener-bener aneh bin ajaib. . . kalian gak bakal ngerti kecuali telah menyelemai pada hati yang terdalam. Mungkin Allah meminta darinya harus belajar untuk lebih baik dalam memandang kehidupan. Karena tidak semua yang kau lihat sepele itu tidak menyimpan pelajaran berharga.

*sekali lagi terimakasih !!!