Selasa, 11 April 2017

Hai....

Hai.....
Kepada yang terbaik dari sisi Tuhan ku Yang Maha Baik.
Yang tengah di-jeda demi sebaik keadaan yang ada.
Dalam jeda itu pula, renungan dan hikmah kian menyoal tuk menguatkan keyakinan, memperbaiki niat, dan merancang  sebaik-baik jalan cerita yang akan dilalui.

Barusan kembali melihat persinggahan euforia kerabat yang baru merayakan cintanya. Mungkin, Mereka  baru bisa menemukan bahagia dengan cara begitu atau mereka ingin yang lain tahu bahwa mereka tengah merayakan bahagia yang baru ditemukannya itu.  Merealisasikan ilusi yang sempat dipelihara. Membuat nyata yang dulu hanya fatamorgana. Maka Tampaklah sudah kini pada mereka foto-foto 'pacaran halal' berkeseliweran dibeberapa medsos yang sebelumnya hanya berisi unggahan tausiyah, motivasi, atau semangat pembakar ruhy. Alhamdulillah, melalui mereka ketangkasan hati semakin terasah untuk menemukan hakikat jawaban , Apakah yang 'sedemikian' itu penting? Atau hanya sebatas nafsu untuk mendapat pengakuan publik? Jika memang untuk memotivasi yang lain, mungkin  belum mengenai esensinya sebab memotivasi tidak melulu dengan cara menampakkan puitisasi serta euforia 'itu'. Memotivasi terbaik bisa jadi dengan menunjukkan kontribusi nyata, karya, dan manfaat raya kepada sesama setelah mengkonstruksi dua hati menjadi satu rongga cinta. Entahlah....

Terlepas dari semua itu, dari semua niat mengapa mereka mesti menontonkan bahagianya, terlepas dari segenap euforia itu, terlepas dari rasa ingin bisa seperti 'itu', terlepas lah dari segala kesemuan niat. Jeda semakin membuat kematangan berfikir kian baik, dari sana hadir kesadaran akan kekeliruan yang pernah dipelihara asumsi. Bahwa, setelah menikah hal yang harus dilakukan bukan memamerkan apa yang tengah dirayakan bersama melainkan mempersiapkan sebaik amunisi untuk tantangan yang akan dihadapi. Memperbanyak baca buku, meluaskan khazanah, membuhul erat keimanan, merumuskan bersama visi dan misi kedepan, saling menguatkan komitmen untuk menyelesaikan amanah bersama dengan sebaik-baik cara. Banyak sekali perihal penting yang sering diabaikan bagi mereka yang terlalaikan oleh euforia. Sehingga tepat selepas ilusi itu sirna barulah tatapan jiwa tersentak oleh kenyataan bahwa kebersamaan bukan sekedar merawat suka gembira melainkan sekaligus menikmati duka luka nelangsa demi Ibadah kepada-Nya.

Selepas ikrar yang menggetar 'Arsy-Nya  maka saat itu pula masing-masing amanah berat akan saling dipikul demi mencapai ridho-Nya. Percayalah, menikah bukan tentang bahagia. Bukan...bukan...sekali lagi bukan !!! Tapi menikah adalah seni menemukan bahagia dengan cara sederhana dalam suka maupun duka demi Ibadah, demi ridho-Nya dan syurga-Nya. Sebab dunia ini hanya kesementaraan, lantas durasi singkat di dunia ini amat menentukan kedudukan kita di Yaumul Akhir. Inilah yang membuat ghirah (semangat) kebersamaan itu tidak hanya tentang kita berdua, tapi tentang kehadiran kita berdua yang mampu memberi kontribusi bagi peradaban emas bangsa dan agama. Berat bukan? Oleh karena itu, betapa tega jika kelak, kita berbuat sebagaimana mereka yang belum menyadari itu berbuat yakni menunjukkan betapa bahagianya menikah itu. Bagaimana dengan itu, akan ada dari mereka yang menjadi salah niat, bagaimana dengan itu akan ada   dari mereka yang hanya memikirkan perihal menikah adalah perkara bahagia. Kita telah mendzalimi perasaan segenap mereka yang tengah berjuang menjaga. Kita telah mendzalimi hati mereka yang tengah merawat luka. Kita telah mendzalimi jiwa  mereka yang tengah hampa.  Jangan...jangan....sekali-kali jangan begitu.
Kelak kita akan sembunyikan  foto-foto mesra ditaman itu kan? Lalu dibuka kembali saat perayaan pernikahan kita yang ke puluhan tahun sekian, dikenang berdua tanpa ada perlu yang tahu bahwa kita selalu setia merayakan bahagia walau dengan cara yang sederhana. Biarkan karya, kontribusi, dan manfaat  kita yang mereka nikmati kelak dari sekedar unggahan foto-foto yang dapat menimbul persepsi yang berbeda bahkan bisa melukai perasaan setiap diri yang tengah berjuang.

Hai...
Kepada yang tengah dirahasiakan langit.
Kepada hati yang rindunya mungkin serupa.
Kepada do'a yang setia untuk dipertemukan.
Dalam jeda itu pula, kepasrahan berada pada Sandaran terbaik. Walau ingin tak menyerupa nyata tapi ingin-Nya pasti akan   membuat diri  takjub dan melafadzkan tahmid.

Percayalah, adanya aku karena kau pun ter-takdir-kan ada. Namun kita tidak dicipta untuk perkara sepele tentang permainan di dunia. Melainkan dengan tujuan yang hebat, tujuan yang terarah, dan penting.  Kesadaran ini mudah-mudahan mampu  terus melatih mujahadah agar berpacu menuju sekuat-kuat keimanan, sebaik-baik penghambaan, sehebat-hebat amalan yang Allah suka, sebanyak-banyak do'a di waktu mustajab. Sehingga titik temu kelak adalah puncak terbaik kondisi diri dalam penilaian-Nya dan posisi kemuliaan terbaik di sisi-Nya. Entah bertemu kini, esok, atau kelak tidak lagi menjadi perkara yang meresahkan. Tapi keresahan saat ini apakah diri sudah berada di kondisi terbaik dalam penilaian-Nya dan posisi kemuliaan terbaik di sisi-Nya?

Hai....
Kepada yang tengah berjuang.
Dalam jeda sesaat itulah debaran harap harus divibrasikan selaras ketaatan.

Selayaknya kalimat yang tenar di sebuah novel "cinta itu bukan dicari tapi ditumbuhkan". Kalimat pamungkas yang memangkas alasan-alasan menerima karna cinta dan menolak sebab tak ada rasa. Bila alasan mencinta karna pandangan mata bukan dari pandangan iman, alangkah liar pandangan itu yang sewaktu-waktu bisa ke lain rupa, ke lain tahta, ke lain kota. Sifatnya cepat luntur seiring habisnya masa nan fana. Beruntung jika alasan mencinta karena menilik dari kedalaman iman sebab ketaatan pada-Nya. Jika seseorang itu mencintai Allah maka ketaatan pada Rabbnya cukup sebagai sebab ia jatuh cinta.  Untuk sederajat kehidupan setelah menikah posisi ketaatan semacam kewajiban untuk menyelimuti yang mereka bilang cinta, dari sana akan lahir kemuliaan. Taat pada-Nya itulah yang memuliakan cinta. Lantas kini, tak guna berdalih memantaskan diri untuk bersiap  menumbuhkan cinta yang ditakdirkan, tapi sudah seberapa taat kah diri ini pada-Nya untuk Allah pantaskan  karunia cinta yang mulia itu?

Hai....
Aku dan kau pasti ada dan itu adalah keniscayaan. Yakini seindah keyakinan bahwa ruang temu itulah dimensi terbaik keimanan, ketaatan, ketakwaan, dan kedekatan dengan al-Qur'an  yang telah dibentuk sebelum mengetuk ruang temu itu. Mari saling membentuk kesadaran yang baik, membangun prasangka yang baik, membuat asumsi yang baik, dan menanamkan persepsi yang baik. Menjadi lebih baik demi Tuhan Yang Maha Baik dengan sebaik-baik ikhtiar untuk mendapatkan takdir terbaik. Apapun yang Allah tetapkan pasti baik maka semua menjadi baik-baik saja.

Yakinlah, bila kita menjaga Allah maka pun menjaga kita lalu Allah akan menitipkan pada kita seseorang yang menjaga dirinya karena Allah sedang ia akan menjaga kita untuk selalu dalam penjagaan Allah.

Yakinlah, kita akan saling menemukan dengan cara yang tak disangka-sangka atas ketakwaan kita pada Allah demi ridho-Nya. Tahu kan? Bahwa ridho Allah adalah hal yang tak boleh ditinggalkan dan ridho manusia merupakan perkara yang tak kan pernah bisa dicapai. Jadi fokuskan diri pada sesuatu yang tak boleh ditinggalkan lewati semua dalam ketakwaan lalu bersiap-siaplah dengan kejutan.

^_^

Minggu, 09 April 2017

Tanpa Judul

Yang menentramkan itu adalah yang banyak mengingatkan diri pada ketaatan.

Yang menentramkan itu adalah yang banyak mengingatkan diri pada akhirat.

Yang menentramkan itu adalah yang banyak membawa diri untuk bertasbih memuji-Nya.

Yang menentramkan itu adalah yang setia membawa diri dekat dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.

Semoga hati terselamatkan dari euforia.
Semoga hati khusyuk pada ketulusan untuk-Nya
Semoga hati kuat menahan sabarnya.
Semoga hati peka menyadari nikmat-Nya.
Semoga hati tak terkotori oleh dunia.
Semoga hati selalu merindukan Rabbnya, ridho-Nya, dan syurga-Nya.

Allah tengah menyaksikan dan mengetahui segala isi hati. Jangan sampai dunia ini memalingkan diri dari esensi kemenangan agung kelak. Jangan terpedaya oleh tipu daya dan muslihat yang menghantarkan pada nelangsa dan resah tak menentu. Allah Maha Baik pada hamba-Nya, maka jangan dzalim pada diri sendiri.

Tugas sebagai khalifah itu lebih banyak dari waktu yang tersedia. Fokus pada tujuan yang mulia. Fokus pada visi besar dan jangan mau mengurus yang remeh temeh. Tetapkan diri sebagai pemenang, yakinkan hati sebagai peraih kemenangan, dan lewati godaan dan rintang yang menghadang bahkan menerjang. Bersama-Nya diri akan kuat, jika menilik penilaian makhluk maka diri akan lemah.

Kamis, 06 April 2017

Menanti itu

Bila bertahan dalam pengendalian diri adalah baik, jalan ini akan menjadi jalan yang hendak ditempuh.
Meski tetap saja manusia itu adalah manusia, yang bisa gelisah, bisa cemas, dan senang berharap.
Hanya tetap yakin pada-Nya, bahwa rasa itu hadir agar dapat setia pada do'a, iman, dan taat.
Lalu jeda mematangkan kedewasaan jiwa dalam memahami kehendak-Nya.

Menanti sebuah kepastian itu memang teramat menggelisahkan.
Ada harap berpadu cemas, ada ingin berpadu ragu, ada takjub berpadu khawatir.
Menjalani prosesi pada jalur-jalur keberkahan mengharuskan diri berdarah-darah menempuh titik kepastian itu.
Sebab pahala, bahagia, serta nikmat atas perihnya kesabaran dalam menitinya  memiliki kapasitas yang luar biasa di kemudian hari.
Walau bola-bola kegetiran suka merisihkan perasaan kala harapan pada makhluk lebih mendominasi dari harapan terbaik dari sisi Allah.
Tetaplah manusia itu adalah manusia yang hanya bisa tegar jika Allah menegarkannya.

Menanti sebuah kepastian itu seperti memantau hilal yang disaput awan kelam.
Keberadaan dalam temaramnya cahaya menyentil sendu sedan tuk menjumpainya.
Tapi untuk itu, butuh berpeluh lelah menunggu saputan kelam itu pergi ditelan takdir.
Sebab do'a-do'a dalam menunggu itu mengundang perhatian Tuhan Semesta Alam untuk menetapkan skenario terbaik untuk si pendo'a.
Bukan hanya sekedar untuk melihat hilal itu, tapi agar Allah ridho hilal itu ditampakkan padanya.
Pada seseorang yang sekian waktu mengisak pada-Nya di keheningan malam agar kepastian mampu menenangkan rasa rindunya.
Meski manusia itu tetaplah manusia yang hanya bisa sabar jika Allah menyabarkannya.

Menanti sebuah kepastian itu seperti bersiul dendang sendiri ditepi dermaga.
Memandang senja nan belum jingga, sebab dua warna -biru&merah- masih dalam perjalanan berdarah-darahnya tuk mengkanfas langit pada pesona jingga.
Melantunkan amal-amal yang mendekatkan pada pengabulan do'a.
Semoga kapal yang itu sampai dengan selamat dalam deru-deru keberkahan dan keridhoan Allah.
Ah...bisa jadi masih jauh sebab disetiap ufuk  samudra belum ada titik yang terpantau pengetahuan.
Memang manusia itu tetaplah  manusia yang terus bisa bertahan dalam ketaatan pada-Nya jika Allah menghendakinya.

Bukan...bukan melebih-lebihkan suasana hati.
Hanya karena manusia itu tetaplah manusia.
Yang bisa takut lalu Dia damaikan dengan kasih sayang-Nya.
Yang bisa cemas dan getir lalu Dia peluk dalam rahmat-Nya.
Yang bisa berharapan lalu Dia   tentramkan dengan kesabaran.
Yang bisa berdo'a lalu Dia tenangkan sebagai pertolongan pertama.
Yang bisa berdosa lalu Dia ampuni dengan Sifat-Nya Yang Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.

Menanti sebuah kepastian adalah pembelajaran hebat untuk mengenal Allah lebih dekat. Salah satu metode memupuk keyakinan hakiki pada-Nya. Sebentuk cara-Nya untuk mengajarkan setiap diri untuk membenahi diri dihadapan-Nya.

Menanti sebuah kepastian adalah berenang dalam keremangan takdir yang masih disimpan semesta. Bukan untuk membuat hamba-Nya kalut dan kemelut melainkan agar hamba-Nya itu kembali pada-Nya untuk memohon dan mengemis agar Dia tabahkan hati yang risau, damaikan jiwa yang meronta, jernihkan akal yang keruh, dan ampuni dosa-dosa yang mengundang nelangsa.

Dear Ayah yang 'Disana'

Dear Ayah yang 'disana'...

Malam ini ada yang kembali merindukan Ayah.
Apa Ayah bisa merasakan rindu hebat ini, Yah?
Rindu yang membulir mesra dengan air bening menuju gravitasi bumi.
Lalu anak yang merindukan Ayahnya itu, berbisik ke langit dengan tangan menengadah, pulas dengan seseguk tangisnya.
Betapa masif rindunya itu.

Dear Ayah yang 'disana'....
Untuk segenap jerih lelah Ayah,
Sepenuh pengorbanan Ayah,
Setiap getir pahit yang dilalui Ayah,
Dengan setegar batu karang  berjalan menyusuri payah kehidupan
demi keluarga, demi anak-anak.

Semoga Allah utuhkan  untuk Ayah, Syurga Firdaus-Nya
Serta melihat wajah-Nya Yang Maha Mulia
Di Yaumul akhir....

Amin amin amin
Ya Rabbal 'alamin

Yah, selalu ada rindu dan do'a terpaut cinta untuk mu....
Dari anak gadis Ayah yang telah mendewasa dengan tantangan zaman tanpa mu.

Ayah....
Kelak kita insyaAllah akan bertemu lagi, anak Ayah betapa meyakini bahwa Ayah tengah menunggu anak gadis kesayangannya ini di pintu syurga.
Lalu nanti  kita akan masuk bersama-sama dengan menggelar bahagia atas kesabaran yang kita jaga selama keberpisahan itu.

Rabu, 05 April 2017

Urgensi Pendidikan Karakter



 Pendidikan karakter dewasa ini bukan saja merupakan hal yang penting bagi lembaga pendidikan, tetapi menjadi kebutuhan yang harus diberikan kepada peserta didik, karena kebutuhan  bangsa ini bukan hanya mengantarkan dan mencetak peserta didik cerdas dalam nalar, tetapi juga harus cerdas dalam moral. Mencetak anak yang berprestasi secara nalar memang tidak mudah, tetapi mencetak anak bermoral jauh lebih sulit dilakukan, apalagi dengan perkembangan teknologi canggih yang seamkin cepat dan pesat, yang tentunya akan berdampak terhadap perkembangan anak.
Pendidikan karakter telah menjadi perhatian banyak pihak, misalnya, pemerintah telah mengagendakan pentingnya pendidikan karakter diterapkan di sekolah-sekolah dan telah menjadi kebijakan nasional yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hampir semua sepakat bahwa krisis moral yang melanda generasi bangsa ini diakibatkan telah melemahnya nilai-nilai moral bangsa dalam kehidupan masyarakat. Hal ini diduga penyebabnya adalah kurang berhasilnya pendidikan yang membina karakter di sekolah. Pendidikan formal dewasa ini lebih dominan mengembangkan aspek kognitif ketimbang aspek moral dan karakter. Oleh karena itu, perlu pendidikan diterapkan di sekolah. Pemikiran ini seolah-olah pendidikan watak atau pendidikan karakter belum pernah dijalankan di sekolah, padahal esensi pendidikan watak atau pendidikan karakter telah ada dan selalu menjadi muatan dalam setiap kurikulum di sekolah. Bahkan sejak dulu pendidikan karakter ini dilabeli dengan nama pendidikan budi pukerti. Hanya memang pendidikan karakter merupakan istilah baru dalam pendidikan atau kurikulum di Indonesia.
Pendidikan karakter sangatlah penting karena karakter akan menunjukkan siapa diri  kita sebenarnya, karakter akan menentukkan bagaimana seseorang membuat keputusan, karakter menentukan sikap, perkataan, dan perbuatan seseorang, sehingga menjadi identitas yang menyatu dan mempersonalisasi terhadap dirinya, sehingga mudah membedakan  dengan identitas yang lainnya. Hal tersebut seperti disampaikan oleh Mufid (2011:447) bahwa karakter membentuk ciri khusus suatu entitas yang menentukan individu tau entitas lain. Kualitas yang menggambarkan suatu karakter bersifat unik, khas, yang mencerminkan pribadi atau entitas dimaksud, yang akan selalu Nampak secara konsisten dalam sikap dan perilaku individu atau entitas dalam menghadapi setiap permasalahan.
Wiratman (2008:264) menyatakan banyak tokoh yang menggarisbawahi [entingnya pendidikan karakter. Seperti mahtma Gandi menyatakan salah satu dosa fatal dari proses pendidikan adalah pendidikan tanpa karakter (education without character). Marthin Luther King menyatakan intelligence plus character that is the goal of the true education (kecerdasan plus karakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). Tidak ketinggalan Theodore Rosevelt berpendapat,to education person in maind and nation morals is to educate a manace to society (mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan  moral adalah ancaman berbahaya pada masyarakat.
Sungguh wajar, Prof.DR.HC.Ir.R.Russeno dalam setiap pidato-pidatonya kerap mengingatkan bangsa Indonesia, khususnya generasi muda, yakni dibutuhkan moralee herbewapening (kesiapsiagaan moral) dalam berprofesi, terutam ahal ini jika dikaitkan dengan kondisi kemajuan ekonomi dan teknologi yang amat sering membawa side effect negarif dan mengganggu moral bangsa (seperti korupsi, pergaulan bebas, narkoba, hingga tingkat kriminalitas). Cara tepat membendung hal-hal negative itu adalah dengan mempersenjatai diri dengan paham-paham dan karakter positif.
Disampi itu Thimas Lickona (1992), memberikan penjelasan mengenai urgensi pendidikan karakter, diantaranya: (1) Banyak generasi muda saling melukai Karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi  peradaban yang paling utama, (3) peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak abak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orang tua, masyarakat, atau lembaga keagmaan, (4) adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggung jawab, (5) demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, oleh, dan untuk masyarakat, (6) tidak ada suatu pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus jadi guru yang baik, dan (8) pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performance akademik yang meningkat.
Dari beberapa pendapat menganai pentingnya pendidikan karakter di atas, sejatinya memberikan motivasi serta pencerahan bago pemerintah, para pendidik, insan akademik serta stakeholder pendidikan pada umumnya untuk segera sadar dan bangkit berupaya mencari solusi agar pendidikan karakter ini dapat diimplentasikan dengan segera di sekolah/madrasah dan juga di rumah. Bangsa ini haru segera diselamatkan dengan mencetak sumber daya manusia yang berkarakter unggul sesuai dengan nilai-nilai agama, budaya, dan falsafal bangsa.


Disari dari: Syarbini, Amirullah.2012. Buku Pintar Pendidikan karakter. as@-prima pustaka: Jakarta

PENDIDIKAN BERBASIS INTEGRASI SQ, IQ, DAN EQ UNTUK OPTIMALISASI PERAN PEMUDA INDONESIA DI KACAH KOMPETISI GLOBAL



Oleh: Sulastriya Ningsi,S.Si (Penulis Buku “Perjalanan untuk Sebuah Mimpi”)

Tahun 2045, Indonesia menduduki seratus tahun kemerdekaannya. Hal tersebut menjadi momentum yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Menyadari akan cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa dan negara besar, kuat, disegani dan dihormati keberadaannya di sumbu negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia. Setelah 71 tahun Indonesia merdeka pencapaian cita-cita ini belum sepenuhnya dipenuhi. Faktanya, Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan besar dalam memasuki era tatanan dunia baru bernama globalisasi dana pasar bebas, dimana tantangan terbesar negeri ini ialah rendahnya daya saing yang slah satunya tercermin dari tingkat kemiskinan dan kesejahteraan yang masih sangat rendah, hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk miskin yang terdata pada Biro Pusat Statistik pada bulan Maret 2016 di Indonesia mencapai 28,01 juta jiwa. Jelas perkara ini berkesepadanan pada salah satu  aset besar bangsa ini yakni, para Pemuda.
 Bangsa yang besar,kuat, disegani, dan dihormati harus menyimpan generasi masa depan yang berkualitas. Berkualitas dari beberapa aspek yakni kualitas iman, akhlak, intektual, keterampilan abad 21. Sehingga hadirlah dari bangsa ini, pemuda yang beriman, berkarakter, berprestasi, dan berkarya demi menyongsong Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat dan berdaya saing global di kancah dunia.
Salah satu peran kritis para pemuda adalah sebagai akselerasi pembangunan bangsa di kancah kompetisi global ini. Ikrar Sumpah Pemuda telah dikumandangkan sejak tanggal 28 Oktober 1928 lalu seolah membangunkan jiwa-jiwa yang teritidur. “Pemuda adalah tulang punggung negara”, kata-kata inilah yang biasanya sering diperdengarkan pada pidato-pidato dalam rangka merayakan hari sumpah pemuda. Namun, kontribusi nyata, karya, dan pergerakan aksi para pemuda Indonesia saat ini mengalami tantangan untuk dapat mewujudkan harapan bangsa tercinta ini.
Jika ditelaah beberapa variable tantangan untuk mencapai cita-cita luhur negri ini adalah arus perkembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan kondisi virus moral yang menjangkiti para pemuda. Disisi perkembangan IPTEK tampak terjadi percepatan arus globalisasi yang ketat. Era digital telah menciptakan dan melahirkan kemajuan yang sangat Indiscribible (tidak terdeskripsi), baik kepesatan dalam sains maupun teknologi. Modernitas era digital di awal milenium ketiga ini telah berkolaborasi dengan nuansa globalisasi yang kental instalisasi westernitas (budaya barat).  Gejala tersebut menjadi problematika hangat bangsa Indonesia yang menabrak pada seantaro strata publik dewasa ini. Realita demikian menimbulkan kekhawatiran akan mendistorsi nilai luhur bangsa yang berasaskan pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Disisi lain, betapa memilukan menyaksikan tayangan kondisi moral anak bangsa indonesia sekarang. Kian merebaknya kasus-kasus degradasi moral, terlebih hal ini menimpa para pemuda harapan Indonesia, yaitu kaum yang kelak dinantikan menjadi estafet kebanggaan bangsa ini. Generasi  yang tentunya tidak hanya memiliki good intelektual  (IQ), tetapi juga mengutamakan good spiritual (SQ) dan good emotional (EQ).  Sebuah laporan penelitian di beberapa kota besar (Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya) mendata bahwa perilaku seksual remaja tingkat SMP dan SMU (antara usia 12 tahun sampai 18 tahun) sebagai berikut: 93,7% ciuman, petting, dan oral sex, 62,7 %  remaja tingkat smp tidak perawan, 21,2% remaja tingkat SMU pernah aborsi, 97 % pernah nonton film porno, 52% melakukan sex pra-nikah.
 Kejadian ini mengindikasikan bahwa pemuda saat ini belum memiliki sense of value (kepekaan terhadap nilai-nilai moral). Bentuk dekadansi moral saat ini, tidak hanya sebatas perilaku seksual, namun telah merambah ketingkat yang lebih kompleks. Menggejalanya kenakalan remaja, bisa terekam dalam berbagai aktifitas negatif seperti: merokok, minuman keras, narkoba, perjudian, tawuran, sampai pada ketidakjujuran dalam pelaksaan ujian. Segala aktivitas negatif ini jelas bersifat destruktif dan mencederai masa depan anak bangsa. Pada akhirnya, realitas semacam ini secara perlahan membuat  bangsa ini  semakin merosot dan terpuruk. Padahal, ada lima kelemahan yang harus dijauhi bagi generasi kita, seperti yang diungkapkan Prof. B.J. Habibi yakni lemah harta, lemah fisik, lemah ilmu, lemah semangat hidup dan yang lebih ditakutkan adalah lemah moral (akhlak).
Adapun muara dari dekadansi  moral para pemuda Indonesia adalah minimnya pendidikan moral dan pendidikan tauhid yang berkualitas. Moral (akhlak) dan ketauhidan (iman) merupakan dua hal yang harus terintegrasi satu sama lain secara proposional. Tentunya, integrasi tersebut belum sempurna jika tidak diikuti oleh kapasitas intelektual yang optimal. Jika seseorang hanya memiliki domain intelektual  untuk menerima serta mengolah ilmu pengetahuan dan teknologi namun tidak ditemalikan bersama domain akhlak dan iman maka akan sangat rentan untuk bertindak yang membahayakan diri maupun orang lain. Domain akhlak dan iman berfungsi sebagai  power pengontrol diri seseorang dari segenap tindakan yang diluar nilai-nilai agama dan norma-norma masyarakat.
Generasi menempati dimensi urgentif dalam suatu peradaban dunia.  Ditilik dari segenap sejarah kebangkitan bangsa-bangsa terbukti bahwa pemuda atau generasi muda selalu memiliki peran yang masif dan strategis. Sebab, pemuda memiliki potensi akbar guna mengakselerasi inovasi pembangunan pada suatu bangsa yang sebelumnya  telah diretas para pendahulunya. Idealisme tersebut sejalan dengan orasi Bung Karno, presiden pertama republik ini, dengan lantang pernah berkata, “Berikan aku 1000 orangtua, niscaya aku cabut semeru dari akarnya. Berikan aku 10 orang pemuda, niscaya akan ku guncangkan dunia.”
Untuk menghadapi abad ke 21 dan era globalisasi diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas.  Manusia berkualitas dalam undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah “Manusia Indonesia Seutuhnya”. Adapun “Manusia Indonesia Seutuhnya” dalam undang-undang pendidikan nasional Indonesia adalah: “Manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pukerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantapn dan mandiri,  serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Menjadi yang unggul dan berkualitas dibandingkan dengan yang lainnya, tentu bukan peristiwa kebetulan melainkan hasil dari proses yang diciptakan. Oleh karena itu, generasi unggul dan berkualitas harus diciptakan dan salah satu langkahnya adalah melalui pendidikan, yakni pendidikan yang tidak hanya menekankan pada sisi kualitas good intelektual  (IQ), tetapi juga mengutamakan kualitas good spiritual (SQ) dan good emotional (EQ). Para pemuda Indonesia merupakan harapan bangsa untuk dapat menjadi generasi unggul, sebagai ujung tobak peradaban bangsa. Para pemuda  adalah nafas penyambung bangsa, yang akan meneruskan amanah-amanah negara berikutnya. Optimisme dan upaya kuat seluruh pemuda dengan semangat nasionalisme dan keimanan dalam mewujudkan cita-cita harus tetap dilakukan secara sistematik, sistemik dan berkelanjutan, meskipun dihadapkan pada sekelumit tantangan. Dari pada itu, mengantisipasi tantangan di era globalisasi saat ini sangat butuh penguatan komitmen dengan menjadikan pendidikan sebagai sarana utama untuk menuju terwujudnya bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan berdaya saing tinggi.
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam akselerasi pembangunan nasional menuju bangsa yang berdaya saing global. Tidak dapat disangkal, bahwa melalui pendidikan bangsa kita dapat menjadi lebih baik dan dapat mengejar ketertinggalan dari bangsa lain, baik di bidang sains dan teknologi maupun ekonomi.  Peran pendidikan pun juga  penting dalam membangun peradaban bangsa yang berdasarkan atas jati diri dan karakter bangsa. Hal ini selaras dengan amanat UU NO 20/2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Yuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab“.  Semakin terang bahwa rumusan tujuan pendidikan tidak hanya sebatas memaksimalkan kecerdasan intelektual saja (Intelegence Quoetient) melainkan mengoptimalkan kecerdasan emosional (Emotional Quoetient), dan kecerdasan spiritual (Spiritual  Quotient).
Selain itu, dari penjelasan Undang-undang Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003 juga terefleksi secara makna bahwa orientasi pendidikan sebaiknya melakukan integrasi domain Spritual Quotient (SQ), Emotional Quotient (EQ), dan Intelectual Quotient (IQ) dalam sistem pendidikan, pembelajaran maupun kurikulum. Kecerdasan  Spiritual atau Spritual Quotient (SQ)  adalah  kecerdasan yang dioentingkan dalam  menghadapi  persoalan  makna  atau  value, yaitu kecerdasan inti dalam menempatkan perilaku dan hidup pada konteks makna yang lebih  luas  dan  lebih  kaya,  kecerdasan  untuk  menilai  bahwa  tindakan  atau  jalan  hidup seseorang  lebih  bermakna  dibandingkan  dengan  yang  lain.  SQ  adalah landasan  yang begitu diperlukan  untuk  memfungsikan  IQ  dan  EQ  secara  efektif,  bahkan kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi manusia yang semestinya dioptimalkan.
Sepeetinya, problematika yang tengah menghantam di era globalisai saat ini, terkait penempatan nilai-nilai spiritual di sumbu dinamika peradaban yang terus terjadi dalam pengembangan khazanah intelektual. Pergeseran nilai-nilai spiritual dalam eksplorasi ilmu pengetahuan mensintesis paham materialisme, sekularisme dan hedonisme yang mempertuhankan kemampuan akal dalam ilmu dan teknologi. Permasalahan ini sangat erat kaitannya dengan rencangan, sistem dan program pendidikan yang terimplementasi di Indonesia. Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia untuk membantu, melatih, dan mengarahkan peserta didik melalui transmisi pengetahuan, pengalaman, intelektual yang idelanya dapat mengerucut pada injeksi kemurnian akidah. Untuk itu, dibutuhkan pendidikan yang dapat membentuk generasi unggul dalam mencetak pemuda berkualitas agar dapat menyongsong persaingan global. Gambaran pendidikan tersebut adalah pendidikan yang mengintegrasikan secara seimbang domain SQ, EQ, dan IQ dalam rencana, sistem, dan program pendidikan. Sehingga dilahirkan pemuda unggul harapan bangsa yang memiliki kriteria sebagai berikut:
Pertama, memiliki SQ yang berkualitas. Maksudnya, beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan,ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Pemuda-pemuda unggul Indonesia haruslah memiliki pondasi SQ yang kokoh untuk membawa bangsa ini lebih cerah, damai dan disegani.
Kedua, memiliki EQ yang berkualitas. Maksudnya, beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiativitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya secara baik dan dalam koridor nilai dan norma yang berlaku di agama dan masyarakat. Serta, beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang (i) membina dan memupuk hubungan timbal balik secara positif, (ii) demokratis, (iii) empatik dan simpatik, (iv) menjunjung tinggi hak asasi manusia, (v) ceria dan percaya diri, (vi) menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara, (vii) berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara. Dalam berinteraksi dengan lingkungannya senantiasa memiliki ide-ide inovatif dan brilian untuk diterapkan. Ilmu yang dimilikinya membuat ia mampu berpikir strategis merencanakan masa depannya. Pemuda yang mampu berpikir visioner atau mau berpikir jauh ke arah masa depan. Menyesuaikan diri dengan keterampilan abad 21 yakni keterampilan berfikir kritis, kreatif, inovatif, solutif, keterampilan berkomunikasi, berkolaborasi, dan refleksi diri.
Ketiga, memiliki IQ yang berkualitas. Maksudnya, beraktualisasi diri melalui olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi; aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif, inovatif dan imajinatif. Cerdas kinestetik,yaitu beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insan sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil dan trengginas; serta aktualisasi insan adiguna. Oleh karena itu perbaikan dan pembangunan sektor pendidikan di negeri ini harus memperhatikan agar sumber daya manusia kelak menjadi generasi yang profesional, sesuai bidang keilmuannya dan memiliki kemampuan dan keterampilan untuk  membawa bangsa dan negara ini ke arah peradaban sains dan teknologi mutakhir dunia. Diharapkan dengan menyadari keadaan Indonesia yang sedang berada dalam keterpurukan saat ini, para pemudanya tergerak menjadi pemikir kritis, kreatif dan bertindak solutif terhadap permasalahan negara saat ini. Sehingga setiap detik dalam aktifitas kehidupannya menjadi sesuatu hal yang bermanfaat.
Pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam kehidupan setiap individu, yang mempengaruhi perkembangan fisik, mental, emosional, sosial, dan etik seorang peserta didik. Dengan kata lain pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam mempengaruhi seluruh aspek kepribadian dan kehidupan individu secara umum dan sangat mendasar. Untuk itu, pengembangan sekolah-sekolah yang berbasis integrasi secara seimbang domain SQ, EQ, dan IQ dalam sistem pendidikan, pembelajaran, maupun kurikulum menjadi solusi terbaik untuk menelurkan generasi unggul sebagai estafet peradaban bangsa Indonesia menuju bangsa dan negara yang mampu berkompetesi dalam persaingan global.

Pendidikan Bertauhid

        Sepertinya sebagian besar orang telah sepakat bahwa dalam dunia pendidikan, manusia adalah aktor utamanya, berperan menjadi subjek dan objek. Boleh dianalogikan pula bahan  dalam pendidikan adalah ilmu pengetahuan. Pencapaian dari  Ilmu pengetahuan yang akan mengendalikan perkembangan potensi peserta didik dari kecakapan kognitif, afektif, maupun psikomotorik. selanjutnya, orientasi pencapaian ilmu pengetahuan dalam sistem pendidikan tidak jauh dari memanusiakan kembali manusia tersebut. Tuntutan pendidikan yang berkesesuain dengan tujuan pendidikan dalam UU  No.20 Tahun 2003   mendesain sedemikian rupa  dunia  pendidikan yang kompleks dan integratif. Sebab segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia memiliki pendekatan tersendiri yang agak rumit. 

       Di sisi lain, kepesatan ilmu pengetahuan dan teknologi akan melakukan seleksi alam terhadap manusia yang tidak mampu menguasainya. Fakta-fakta sedemikianlah menambah kompleksitas  ruang pergerakan dunia pendidikan. Dalam menghadapi persoalan dan tantangan yang makin kompleks tersebut, diperlukan generasi yang mampu bertahan dalam kimpetisi global. Diharapkan hasil akhir dari produk pendidikan tidak hanya menelurkan generasi yang cakap dalam menghadapi tantangan zaman melainkan generasi yang memiliki ketahanan mental dan spiritual untuk dapat melesat dalam tantangan kompetisi global  tersebut. 

       Kelebihan demografi adalah karunia Tuhan Semesta Alam  yang patut disyukuri, khususnya jumlah populasi usia produktif yang melimpah untuk siap ditranformasi menjadi SDM yang berdaya guna. Ini adalah modal utama bagi Bangsa Indonesia untuk menyambut 100 tahun kemerdekaan negri ini di Tahun 2045. Tugas dunia pendidikan adalah memanfaatkan momentum  bonus demografi tersebut (jumlah prediksi 2050 adalah 9 milyar) sebagai ladang subur untuk menumbuhkan tunas-tunas generasi emas yang siap membangun Bangsa Indonesia dengan kesadaran tauhid yang mengakar kuat. Sebagaimana tujuan pendidikan itu sendiri.
Langkah awal untuk menyegarkan dunia pendidikan Indonesia yakni melalui  penanaman kesadaran kolektif tentang pentingnya  pendidikan yang berbasis nilai-nilai ketauhidan. Mulai jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi, diberikan secara merata pada segenap spektrum usia. Aspek-aspek yang perlu dibangun antara lain:
1. Kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa
2. Kesadaran akan tantangan global yang rentan mendistorsi moral.
3. Kesadaran dalam integrasi intelektual, emosional, dan spiritual.
4. Kesadaran akan inovasi dan akselerasi peradaban emas berbasis nilai-nilai religius. 

Indonesia layaknya kapal raksasa-kapal induk; untuk menggerakkannya memerlukan energi masif. Sumber utama energi itu adalah SDM yang memiliki potensi intelektual, emosional, dan spiritual yang terintegrasi baik satu sama lainnya. 

Pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai intelektual, emosional, dan spritual dapat dikenal sebagai "Pendidikan yang Bertauhid", dalam artian pendidikan yang menjadikan tauhid sebagai poros utama dalam menggerakan aspek-aspek lain dalam kebutuhan pendidikan. Pendidikan Bertauhid sangat relevan dengan harapan Bangsa Indonesia dalam  Rencana jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan berada berdasarkan falsafal Pancasila.”