Tampilkan postingan dengan label edukasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label edukasi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 Juli 2017

Usaha

Segala sesuatu dalam kehidupan ini tidak pernah terlepas dari kata 'usaha'. Semisal untuk bangun dari tidur pun setiap kita butuh usaha untuk membuka kedua kelopak matanya agar mampu tersadarkan dari dimensi ruh kepada dimensi materi. Seperti hal pula untuk mencapai tujuan jelas membutuhkan usaha, yakni segenap variabel yang membantu diri agar berpindah dari hanya sebatas niat, keinginan, hasrat, kepada pencapaian yang dituju. Dari beberapa analogi itu, kita dapat menyimpulkan secara sederhana bahwa usaha identik dengan perpindahan. Tidak ada penyebutan usaha jika perpindahan tidak terjadi. Fenomena ini bisa dikerucutkan dalam pembahasan hukum alam. Bahwasanya ada sebuah ketundukkan dari sebuah gejala yang terjadi, contohnya saja tentang usaha yang telah sedikit dideskripsikan sebelumnya. Bagaimana bentuk ketundukkannya? Yaitu usaha harus tunduk pada perpindahan. Jika tidak ada perpindahan maka usaha dapat dinyatakan bernilai nol.

Renungan sederhana seperti ini sering didalami oleh para filsuf. Mereka mencoba merumuskan apa yang ditangkap oleh indranya kedalam sebuah penterjemahan tatanan hukum alam (diferensi logika) menurut persepsi dan jangkauan ilmu yang mereka miliki. Dari pengamatan sederhana itulah dikembangkan apa yang disebut dengan variabel, simbol yang mampu mewakili makna apa yang ingin didefinisikan/diterejemahkan oleh para filsuf tersebut. Sebenarnya, dalam dunia kekinian peran filsuf bisa dikatakan  telah  terintegrasi pada peran ilmuan.

Ada hal yang ingin diterangkan dari fenonema usaha serta  keterkaitannya dengan dunia pendidikan fisika. Selama ini, bahkan secara luas, dalam benak setiap orang akan mengenal bahwa fisika itu semacam operasi matematis dalam angka dan huruf yang membingungkan. Memang tidak dapat dipungkiri, sebab dalam dunia pendidikan kurikulum fisika lebih menonjolkan sisi  kognitif  pada bab hitung menghitung  rumus yang tertera di buku cetak namun tidak mengembangkan keterampilan mengalisis langsung dari gejala yang teramati. Padahal, sejatinya akar kata fisika itu sendiri, jika ditelaah secara bahasa, berarti alam. Maksudnya pembelajaran fisika itu sendiri adalah belajar tentang alam. Sehingga pembelajarannya meski dimulai dengan kegiatan mengamati peristiwa bukan malah sebaliknya yakni mempelajari teori lalu baru menemukan peristiwa yang relevan. Sehingga pembelajarn fisika menjadi sangat membosankan. Karena 'hak' rasa keingintahuan siswa menjadi 'terampas'.

Ambil saja contoh usaha tadi. Dari gejala yang telah diceritakan sebenarnya dapat dirumuskan yakni besaran usaha (W) akan dipengaruhi oleh variabel perpindahan (posisi/besaran panjang[s]: satuan panjang[m]). Nah, apakah perpindahan itu serta merta terjadi begitu saja seperti bim salabim? Tidak kan? Untuk membuka mata maka kelopak mata butuh  bekerja dengan gaya dorong tertentu agar terbuka. Maka hadirlah satu variabel yang menemani perpindahan (s) yakni gaya (F). Itu sebagai perumpamaan sederhana aja.

Strategi pembelajaran yang sedemikian sekiranya lebih menstimulus siswa untuk menemukan konsep-konsep sendiri dari apa yang telah diamati lalu dipraktikkannya dalam pembelajaran fisika. Pada akhirnya, siswa tidak lagi terinstalisasi dalam cpu otaknya bahwa fisika itu adalah kumpulan rumus-rumus yang mesti diselesaikan melainkan kumpulan fenomena-fenomena alam yang harus diterjemahkan dalam rumus-rumus agar bisa dipahami efek dan manfaatnya bagi kehidupan manusia.

Nah, bagaimana? Fisika itu asyik dan menyenangkan bukan?

©Sulastriya Ningsi

Minggu, 23 April 2017

Pembelajaran Menyenangkan

Sejauh ini tampak gejala yang memprihatinkan pada diri peserta didik. Sebab pergi ke sekolah adalah hal yang bagi mereka amat menjemukan. Bisa jadi dulunya kita juga begitu semasa menempuh pendidikan dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Fase-fase belajar seolah keadaan yang menegangkan urat-urat saraf. Sebab di dalamnya ada tuntutan untuk mengejar nilai terbaik dalam bentuk nominal. Sehingga yang terekam dalam setiap memori peserta didik, sekolah adalah tentang meraih prestasi dalam bentuk angka. Maka mereka pun berjuang demi angka itu dengan makna belajar yang belum ditemukan.

Padahal setiap peserta didik memiliki potensi untuk suka belajar, tertarik terhadap ilmu pengetahuan, dan bergairah untuk memperolehnya. Sayangnya, cara-cara belajar yang membosankan dan strategi pembelajaran yang masih konvensional belum berhasil menghadirkan motivasi peserta didik dalam belajar. Membelajarkan peserta didik tidak hanya sebatas tranfer ilmu melainkan menjalin harmonisasi emosional dengan peserta didik. Sehingga pendidik dapat melakukan prediksi untuk pendekatan terbaik bagi setiap setiap peserta didiknya untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.

Rabu, 05 April 2017

Urgensi Pendidikan Karakter



 Pendidikan karakter dewasa ini bukan saja merupakan hal yang penting bagi lembaga pendidikan, tetapi menjadi kebutuhan yang harus diberikan kepada peserta didik, karena kebutuhan  bangsa ini bukan hanya mengantarkan dan mencetak peserta didik cerdas dalam nalar, tetapi juga harus cerdas dalam moral. Mencetak anak yang berprestasi secara nalar memang tidak mudah, tetapi mencetak anak bermoral jauh lebih sulit dilakukan, apalagi dengan perkembangan teknologi canggih yang seamkin cepat dan pesat, yang tentunya akan berdampak terhadap perkembangan anak.
Pendidikan karakter telah menjadi perhatian banyak pihak, misalnya, pemerintah telah mengagendakan pentingnya pendidikan karakter diterapkan di sekolah-sekolah dan telah menjadi kebijakan nasional yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hampir semua sepakat bahwa krisis moral yang melanda generasi bangsa ini diakibatkan telah melemahnya nilai-nilai moral bangsa dalam kehidupan masyarakat. Hal ini diduga penyebabnya adalah kurang berhasilnya pendidikan yang membina karakter di sekolah. Pendidikan formal dewasa ini lebih dominan mengembangkan aspek kognitif ketimbang aspek moral dan karakter. Oleh karena itu, perlu pendidikan diterapkan di sekolah. Pemikiran ini seolah-olah pendidikan watak atau pendidikan karakter belum pernah dijalankan di sekolah, padahal esensi pendidikan watak atau pendidikan karakter telah ada dan selalu menjadi muatan dalam setiap kurikulum di sekolah. Bahkan sejak dulu pendidikan karakter ini dilabeli dengan nama pendidikan budi pukerti. Hanya memang pendidikan karakter merupakan istilah baru dalam pendidikan atau kurikulum di Indonesia.
Pendidikan karakter sangatlah penting karena karakter akan menunjukkan siapa diri  kita sebenarnya, karakter akan menentukkan bagaimana seseorang membuat keputusan, karakter menentukan sikap, perkataan, dan perbuatan seseorang, sehingga menjadi identitas yang menyatu dan mempersonalisasi terhadap dirinya, sehingga mudah membedakan  dengan identitas yang lainnya. Hal tersebut seperti disampaikan oleh Mufid (2011:447) bahwa karakter membentuk ciri khusus suatu entitas yang menentukan individu tau entitas lain. Kualitas yang menggambarkan suatu karakter bersifat unik, khas, yang mencerminkan pribadi atau entitas dimaksud, yang akan selalu Nampak secara konsisten dalam sikap dan perilaku individu atau entitas dalam menghadapi setiap permasalahan.
Wiratman (2008:264) menyatakan banyak tokoh yang menggarisbawahi [entingnya pendidikan karakter. Seperti mahtma Gandi menyatakan salah satu dosa fatal dari proses pendidikan adalah pendidikan tanpa karakter (education without character). Marthin Luther King menyatakan intelligence plus character that is the goal of the true education (kecerdasan plus karakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). Tidak ketinggalan Theodore Rosevelt berpendapat,to education person in maind and nation morals is to educate a manace to society (mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan  moral adalah ancaman berbahaya pada masyarakat.
Sungguh wajar, Prof.DR.HC.Ir.R.Russeno dalam setiap pidato-pidatonya kerap mengingatkan bangsa Indonesia, khususnya generasi muda, yakni dibutuhkan moralee herbewapening (kesiapsiagaan moral) dalam berprofesi, terutam ahal ini jika dikaitkan dengan kondisi kemajuan ekonomi dan teknologi yang amat sering membawa side effect negarif dan mengganggu moral bangsa (seperti korupsi, pergaulan bebas, narkoba, hingga tingkat kriminalitas). Cara tepat membendung hal-hal negative itu adalah dengan mempersenjatai diri dengan paham-paham dan karakter positif.
Disampi itu Thimas Lickona (1992), memberikan penjelasan mengenai urgensi pendidikan karakter, diantaranya: (1) Banyak generasi muda saling melukai Karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi  peradaban yang paling utama, (3) peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak abak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orang tua, masyarakat, atau lembaga keagmaan, (4) adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggung jawab, (5) demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, oleh, dan untuk masyarakat, (6) tidak ada suatu pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus jadi guru yang baik, dan (8) pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performance akademik yang meningkat.
Dari beberapa pendapat menganai pentingnya pendidikan karakter di atas, sejatinya memberikan motivasi serta pencerahan bago pemerintah, para pendidik, insan akademik serta stakeholder pendidikan pada umumnya untuk segera sadar dan bangkit berupaya mencari solusi agar pendidikan karakter ini dapat diimplentasikan dengan segera di sekolah/madrasah dan juga di rumah. Bangsa ini haru segera diselamatkan dengan mencetak sumber daya manusia yang berkarakter unggul sesuai dengan nilai-nilai agama, budaya, dan falsafal bangsa.


Disari dari: Syarbini, Amirullah.2012. Buku Pintar Pendidikan karakter. as@-prima pustaka: Jakarta

PENDIDIKAN BERBASIS INTEGRASI SQ, IQ, DAN EQ UNTUK OPTIMALISASI PERAN PEMUDA INDONESIA DI KACAH KOMPETISI GLOBAL



Oleh: Sulastriya Ningsi,S.Si (Penulis Buku “Perjalanan untuk Sebuah Mimpi”)

Tahun 2045, Indonesia menduduki seratus tahun kemerdekaannya. Hal tersebut menjadi momentum yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Menyadari akan cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa dan negara besar, kuat, disegani dan dihormati keberadaannya di sumbu negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia. Setelah 71 tahun Indonesia merdeka pencapaian cita-cita ini belum sepenuhnya dipenuhi. Faktanya, Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan besar dalam memasuki era tatanan dunia baru bernama globalisasi dana pasar bebas, dimana tantangan terbesar negeri ini ialah rendahnya daya saing yang slah satunya tercermin dari tingkat kemiskinan dan kesejahteraan yang masih sangat rendah, hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk miskin yang terdata pada Biro Pusat Statistik pada bulan Maret 2016 di Indonesia mencapai 28,01 juta jiwa. Jelas perkara ini berkesepadanan pada salah satu  aset besar bangsa ini yakni, para Pemuda.
 Bangsa yang besar,kuat, disegani, dan dihormati harus menyimpan generasi masa depan yang berkualitas. Berkualitas dari beberapa aspek yakni kualitas iman, akhlak, intektual, keterampilan abad 21. Sehingga hadirlah dari bangsa ini, pemuda yang beriman, berkarakter, berprestasi, dan berkarya demi menyongsong Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat dan berdaya saing global di kancah dunia.
Salah satu peran kritis para pemuda adalah sebagai akselerasi pembangunan bangsa di kancah kompetisi global ini. Ikrar Sumpah Pemuda telah dikumandangkan sejak tanggal 28 Oktober 1928 lalu seolah membangunkan jiwa-jiwa yang teritidur. “Pemuda adalah tulang punggung negara”, kata-kata inilah yang biasanya sering diperdengarkan pada pidato-pidato dalam rangka merayakan hari sumpah pemuda. Namun, kontribusi nyata, karya, dan pergerakan aksi para pemuda Indonesia saat ini mengalami tantangan untuk dapat mewujudkan harapan bangsa tercinta ini.
Jika ditelaah beberapa variable tantangan untuk mencapai cita-cita luhur negri ini adalah arus perkembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan kondisi virus moral yang menjangkiti para pemuda. Disisi perkembangan IPTEK tampak terjadi percepatan arus globalisasi yang ketat. Era digital telah menciptakan dan melahirkan kemajuan yang sangat Indiscribible (tidak terdeskripsi), baik kepesatan dalam sains maupun teknologi. Modernitas era digital di awal milenium ketiga ini telah berkolaborasi dengan nuansa globalisasi yang kental instalisasi westernitas (budaya barat).  Gejala tersebut menjadi problematika hangat bangsa Indonesia yang menabrak pada seantaro strata publik dewasa ini. Realita demikian menimbulkan kekhawatiran akan mendistorsi nilai luhur bangsa yang berasaskan pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Disisi lain, betapa memilukan menyaksikan tayangan kondisi moral anak bangsa indonesia sekarang. Kian merebaknya kasus-kasus degradasi moral, terlebih hal ini menimpa para pemuda harapan Indonesia, yaitu kaum yang kelak dinantikan menjadi estafet kebanggaan bangsa ini. Generasi  yang tentunya tidak hanya memiliki good intelektual  (IQ), tetapi juga mengutamakan good spiritual (SQ) dan good emotional (EQ).  Sebuah laporan penelitian di beberapa kota besar (Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya) mendata bahwa perilaku seksual remaja tingkat SMP dan SMU (antara usia 12 tahun sampai 18 tahun) sebagai berikut: 93,7% ciuman, petting, dan oral sex, 62,7 %  remaja tingkat smp tidak perawan, 21,2% remaja tingkat SMU pernah aborsi, 97 % pernah nonton film porno, 52% melakukan sex pra-nikah.
 Kejadian ini mengindikasikan bahwa pemuda saat ini belum memiliki sense of value (kepekaan terhadap nilai-nilai moral). Bentuk dekadansi moral saat ini, tidak hanya sebatas perilaku seksual, namun telah merambah ketingkat yang lebih kompleks. Menggejalanya kenakalan remaja, bisa terekam dalam berbagai aktifitas negatif seperti: merokok, minuman keras, narkoba, perjudian, tawuran, sampai pada ketidakjujuran dalam pelaksaan ujian. Segala aktivitas negatif ini jelas bersifat destruktif dan mencederai masa depan anak bangsa. Pada akhirnya, realitas semacam ini secara perlahan membuat  bangsa ini  semakin merosot dan terpuruk. Padahal, ada lima kelemahan yang harus dijauhi bagi generasi kita, seperti yang diungkapkan Prof. B.J. Habibi yakni lemah harta, lemah fisik, lemah ilmu, lemah semangat hidup dan yang lebih ditakutkan adalah lemah moral (akhlak).
Adapun muara dari dekadansi  moral para pemuda Indonesia adalah minimnya pendidikan moral dan pendidikan tauhid yang berkualitas. Moral (akhlak) dan ketauhidan (iman) merupakan dua hal yang harus terintegrasi satu sama lain secara proposional. Tentunya, integrasi tersebut belum sempurna jika tidak diikuti oleh kapasitas intelektual yang optimal. Jika seseorang hanya memiliki domain intelektual  untuk menerima serta mengolah ilmu pengetahuan dan teknologi namun tidak ditemalikan bersama domain akhlak dan iman maka akan sangat rentan untuk bertindak yang membahayakan diri maupun orang lain. Domain akhlak dan iman berfungsi sebagai  power pengontrol diri seseorang dari segenap tindakan yang diluar nilai-nilai agama dan norma-norma masyarakat.
Generasi menempati dimensi urgentif dalam suatu peradaban dunia.  Ditilik dari segenap sejarah kebangkitan bangsa-bangsa terbukti bahwa pemuda atau generasi muda selalu memiliki peran yang masif dan strategis. Sebab, pemuda memiliki potensi akbar guna mengakselerasi inovasi pembangunan pada suatu bangsa yang sebelumnya  telah diretas para pendahulunya. Idealisme tersebut sejalan dengan orasi Bung Karno, presiden pertama republik ini, dengan lantang pernah berkata, “Berikan aku 1000 orangtua, niscaya aku cabut semeru dari akarnya. Berikan aku 10 orang pemuda, niscaya akan ku guncangkan dunia.”
Untuk menghadapi abad ke 21 dan era globalisasi diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas.  Manusia berkualitas dalam undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah “Manusia Indonesia Seutuhnya”. Adapun “Manusia Indonesia Seutuhnya” dalam undang-undang pendidikan nasional Indonesia adalah: “Manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pukerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantapn dan mandiri,  serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Menjadi yang unggul dan berkualitas dibandingkan dengan yang lainnya, tentu bukan peristiwa kebetulan melainkan hasil dari proses yang diciptakan. Oleh karena itu, generasi unggul dan berkualitas harus diciptakan dan salah satu langkahnya adalah melalui pendidikan, yakni pendidikan yang tidak hanya menekankan pada sisi kualitas good intelektual  (IQ), tetapi juga mengutamakan kualitas good spiritual (SQ) dan good emotional (EQ). Para pemuda Indonesia merupakan harapan bangsa untuk dapat menjadi generasi unggul, sebagai ujung tobak peradaban bangsa. Para pemuda  adalah nafas penyambung bangsa, yang akan meneruskan amanah-amanah negara berikutnya. Optimisme dan upaya kuat seluruh pemuda dengan semangat nasionalisme dan keimanan dalam mewujudkan cita-cita harus tetap dilakukan secara sistematik, sistemik dan berkelanjutan, meskipun dihadapkan pada sekelumit tantangan. Dari pada itu, mengantisipasi tantangan di era globalisasi saat ini sangat butuh penguatan komitmen dengan menjadikan pendidikan sebagai sarana utama untuk menuju terwujudnya bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan berdaya saing tinggi.
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam akselerasi pembangunan nasional menuju bangsa yang berdaya saing global. Tidak dapat disangkal, bahwa melalui pendidikan bangsa kita dapat menjadi lebih baik dan dapat mengejar ketertinggalan dari bangsa lain, baik di bidang sains dan teknologi maupun ekonomi.  Peran pendidikan pun juga  penting dalam membangun peradaban bangsa yang berdasarkan atas jati diri dan karakter bangsa. Hal ini selaras dengan amanat UU NO 20/2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Yuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab“.  Semakin terang bahwa rumusan tujuan pendidikan tidak hanya sebatas memaksimalkan kecerdasan intelektual saja (Intelegence Quoetient) melainkan mengoptimalkan kecerdasan emosional (Emotional Quoetient), dan kecerdasan spiritual (Spiritual  Quotient).
Selain itu, dari penjelasan Undang-undang Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003 juga terefleksi secara makna bahwa orientasi pendidikan sebaiknya melakukan integrasi domain Spritual Quotient (SQ), Emotional Quotient (EQ), dan Intelectual Quotient (IQ) dalam sistem pendidikan, pembelajaran maupun kurikulum. Kecerdasan  Spiritual atau Spritual Quotient (SQ)  adalah  kecerdasan yang dioentingkan dalam  menghadapi  persoalan  makna  atau  value, yaitu kecerdasan inti dalam menempatkan perilaku dan hidup pada konteks makna yang lebih  luas  dan  lebih  kaya,  kecerdasan  untuk  menilai  bahwa  tindakan  atau  jalan  hidup seseorang  lebih  bermakna  dibandingkan  dengan  yang  lain.  SQ  adalah landasan  yang begitu diperlukan  untuk  memfungsikan  IQ  dan  EQ  secara  efektif,  bahkan kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi manusia yang semestinya dioptimalkan.
Sepeetinya, problematika yang tengah menghantam di era globalisai saat ini, terkait penempatan nilai-nilai spiritual di sumbu dinamika peradaban yang terus terjadi dalam pengembangan khazanah intelektual. Pergeseran nilai-nilai spiritual dalam eksplorasi ilmu pengetahuan mensintesis paham materialisme, sekularisme dan hedonisme yang mempertuhankan kemampuan akal dalam ilmu dan teknologi. Permasalahan ini sangat erat kaitannya dengan rencangan, sistem dan program pendidikan yang terimplementasi di Indonesia. Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia untuk membantu, melatih, dan mengarahkan peserta didik melalui transmisi pengetahuan, pengalaman, intelektual yang idelanya dapat mengerucut pada injeksi kemurnian akidah. Untuk itu, dibutuhkan pendidikan yang dapat membentuk generasi unggul dalam mencetak pemuda berkualitas agar dapat menyongsong persaingan global. Gambaran pendidikan tersebut adalah pendidikan yang mengintegrasikan secara seimbang domain SQ, EQ, dan IQ dalam rencana, sistem, dan program pendidikan. Sehingga dilahirkan pemuda unggul harapan bangsa yang memiliki kriteria sebagai berikut:
Pertama, memiliki SQ yang berkualitas. Maksudnya, beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan,ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Pemuda-pemuda unggul Indonesia haruslah memiliki pondasi SQ yang kokoh untuk membawa bangsa ini lebih cerah, damai dan disegani.
Kedua, memiliki EQ yang berkualitas. Maksudnya, beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiativitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya secara baik dan dalam koridor nilai dan norma yang berlaku di agama dan masyarakat. Serta, beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang (i) membina dan memupuk hubungan timbal balik secara positif, (ii) demokratis, (iii) empatik dan simpatik, (iv) menjunjung tinggi hak asasi manusia, (v) ceria dan percaya diri, (vi) menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara, (vii) berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara. Dalam berinteraksi dengan lingkungannya senantiasa memiliki ide-ide inovatif dan brilian untuk diterapkan. Ilmu yang dimilikinya membuat ia mampu berpikir strategis merencanakan masa depannya. Pemuda yang mampu berpikir visioner atau mau berpikir jauh ke arah masa depan. Menyesuaikan diri dengan keterampilan abad 21 yakni keterampilan berfikir kritis, kreatif, inovatif, solutif, keterampilan berkomunikasi, berkolaborasi, dan refleksi diri.
Ketiga, memiliki IQ yang berkualitas. Maksudnya, beraktualisasi diri melalui olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi; aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif, inovatif dan imajinatif. Cerdas kinestetik,yaitu beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insan sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil dan trengginas; serta aktualisasi insan adiguna. Oleh karena itu perbaikan dan pembangunan sektor pendidikan di negeri ini harus memperhatikan agar sumber daya manusia kelak menjadi generasi yang profesional, sesuai bidang keilmuannya dan memiliki kemampuan dan keterampilan untuk  membawa bangsa dan negara ini ke arah peradaban sains dan teknologi mutakhir dunia. Diharapkan dengan menyadari keadaan Indonesia yang sedang berada dalam keterpurukan saat ini, para pemudanya tergerak menjadi pemikir kritis, kreatif dan bertindak solutif terhadap permasalahan negara saat ini. Sehingga setiap detik dalam aktifitas kehidupannya menjadi sesuatu hal yang bermanfaat.
Pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam kehidupan setiap individu, yang mempengaruhi perkembangan fisik, mental, emosional, sosial, dan etik seorang peserta didik. Dengan kata lain pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam mempengaruhi seluruh aspek kepribadian dan kehidupan individu secara umum dan sangat mendasar. Untuk itu, pengembangan sekolah-sekolah yang berbasis integrasi secara seimbang domain SQ, EQ, dan IQ dalam sistem pendidikan, pembelajaran, maupun kurikulum menjadi solusi terbaik untuk menelurkan generasi unggul sebagai estafet peradaban bangsa Indonesia menuju bangsa dan negara yang mampu berkompetesi dalam persaingan global.

Pendidikan Bertauhid

        Sepertinya sebagian besar orang telah sepakat bahwa dalam dunia pendidikan, manusia adalah aktor utamanya, berperan menjadi subjek dan objek. Boleh dianalogikan pula bahan  dalam pendidikan adalah ilmu pengetahuan. Pencapaian dari  Ilmu pengetahuan yang akan mengendalikan perkembangan potensi peserta didik dari kecakapan kognitif, afektif, maupun psikomotorik. selanjutnya, orientasi pencapaian ilmu pengetahuan dalam sistem pendidikan tidak jauh dari memanusiakan kembali manusia tersebut. Tuntutan pendidikan yang berkesesuain dengan tujuan pendidikan dalam UU  No.20 Tahun 2003   mendesain sedemikian rupa  dunia  pendidikan yang kompleks dan integratif. Sebab segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia memiliki pendekatan tersendiri yang agak rumit. 

       Di sisi lain, kepesatan ilmu pengetahuan dan teknologi akan melakukan seleksi alam terhadap manusia yang tidak mampu menguasainya. Fakta-fakta sedemikianlah menambah kompleksitas  ruang pergerakan dunia pendidikan. Dalam menghadapi persoalan dan tantangan yang makin kompleks tersebut, diperlukan generasi yang mampu bertahan dalam kimpetisi global. Diharapkan hasil akhir dari produk pendidikan tidak hanya menelurkan generasi yang cakap dalam menghadapi tantangan zaman melainkan generasi yang memiliki ketahanan mental dan spiritual untuk dapat melesat dalam tantangan kompetisi global  tersebut. 

       Kelebihan demografi adalah karunia Tuhan Semesta Alam  yang patut disyukuri, khususnya jumlah populasi usia produktif yang melimpah untuk siap ditranformasi menjadi SDM yang berdaya guna. Ini adalah modal utama bagi Bangsa Indonesia untuk menyambut 100 tahun kemerdekaan negri ini di Tahun 2045. Tugas dunia pendidikan adalah memanfaatkan momentum  bonus demografi tersebut (jumlah prediksi 2050 adalah 9 milyar) sebagai ladang subur untuk menumbuhkan tunas-tunas generasi emas yang siap membangun Bangsa Indonesia dengan kesadaran tauhid yang mengakar kuat. Sebagaimana tujuan pendidikan itu sendiri.
Langkah awal untuk menyegarkan dunia pendidikan Indonesia yakni melalui  penanaman kesadaran kolektif tentang pentingnya  pendidikan yang berbasis nilai-nilai ketauhidan. Mulai jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi, diberikan secara merata pada segenap spektrum usia. Aspek-aspek yang perlu dibangun antara lain:
1. Kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa
2. Kesadaran akan tantangan global yang rentan mendistorsi moral.
3. Kesadaran dalam integrasi intelektual, emosional, dan spiritual.
4. Kesadaran akan inovasi dan akselerasi peradaban emas berbasis nilai-nilai religius. 

Indonesia layaknya kapal raksasa-kapal induk; untuk menggerakkannya memerlukan energi masif. Sumber utama energi itu adalah SDM yang memiliki potensi intelektual, emosional, dan spiritual yang terintegrasi baik satu sama lainnya. 

Pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai intelektual, emosional, dan spritual dapat dikenal sebagai "Pendidikan yang Bertauhid", dalam artian pendidikan yang menjadikan tauhid sebagai poros utama dalam menggerakan aspek-aspek lain dalam kebutuhan pendidikan. Pendidikan Bertauhid sangat relevan dengan harapan Bangsa Indonesia dalam  Rencana jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan berada berdasarkan falsafal Pancasila.”

Rabu, 22 Maret 2017

Dialog Guru dan Murid

Saya tersentuh dengan potongan dialog yang dimuat dalam Buku "Find Your Best Teacher" karangan Bambang Achdiyat ini:

Murid: Guru, adakah nasihat untuk saya yang sedang mencari jati diri?

Guru: Pertama, bergurulah pada guru yang terbaik di bidang yang kamu ingin pelajari. Kedua, secepatnya kamu tiru semua hal yerbaik dari dirinya dan jadilah setara dengan dirinya.

Murid: tiru? Bukankah saya harus jadi diri sendiri?

Guru: murid yang lebih cepat unggul dari gurunya adalah yang kebih cepat setara dengan gurunya. Karena setelah engkau otomatis engkau lebih baik.

Murid: mengapa otomatis?

Guru: Karena prestasi itu fungsi waktu. Jika engkau mendapatkan kualitas guru-gurumu di usia muda artinya engkau lebih baik dari mereka, karena mereka dulu di usiamu yang sekarang belum sehebat sekarang.

Murid: kalau saya sudah setara dengan mereka, lalu nanti apa bedanya dengan probadi mereka, usianya sajakah?

Guru: Dalam proses peniruan yang terbaik dari guru-gurumu, engkau akan menemukan pribadimu yang kelak tidak bisa lagi ditiru oleh orang lain, itulah pribadi aslimu. Engkau akan mendengar atau melihat kadang-kadang kalimat, tulisan, termasuk sikap saya yang mirip dengan guru-guru saya, itu artinya bahwa saya sedang menduplikasi kualitas mereka dan butuh waktu untuk bisa vatiasi menemukan yang baru dari kualitas terbaik guru-guru saya. Tapi tidak ada yang salah dengan meniru sikap terbaik dari yang terbaik.

    Sungguh membaca dialog tersebut sungguh menyentak saya setelah itu saya merasa amat perih. Rasa sakit atas ketidaktahuan itu sungguh menjengkelkan. Betapa banyak kesempatan untuk belajar dari orang terbaik yang telah saya lewatkan. Kesadaran akan singkatnya hidup di dunia  dan betapa berartinya singkatnya waktu itu untuk meraih keuntungan akhirat mengharus saya untuk tidak lagi membiarkan detik-detik berlalu tanpa bekas.

Kita mesti berbuat dan melangkah menjadi lebih baik. . .!

Semangat sholiha....

Sang Pendidik

Pembelajaran sebelum abad 21, khususnya di negri tercinta, Indonesia, masih kentara dengan makna transfer ilmu pengetahuan. Sehingga realita yang terjadi ketika itu seorang siswa akan dikatakan sukses jika memiliki kualitas nilai yang baik dan guru yang sukses jika mampu mencetak siswa-siswa yang mumpuni dalam ilmu pengetahuan. Agaknya, pergeseran definisi pembelajaran menggiring pada makna yang baru tentang kesuksesan  siswa (saat ini disebut peserta didik) dan guru (saat ini lebih menonjol dengan kata pendidik). Temuan-temuan yang lebih segar mengenai psikologi pendidikan, neurologi, dan aspek sosiokultural mendefisikan kembali makna pembelajaran sebagai proses interaksi antar 3 faktor peserta didik, pendidik, dan sumber belajar yang melakukan segenap aktifitas pengembangan potensi peserta didik secara holitik, yakni pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Sehingga evaluasi kesuksesan pendidik dan peserta didik tidak hanya dari poin pengetahuan saja.

Dengan tuntutan pendidikan yang semakin deterministik saat ini, akan sangat diharapkan lahir pendidik yang bekualitas. Pendidik yang berkualitas boleh dikatakan adalah pendidik yang menginspirasi bukan yang hanya sekedar mengajar. Sedang peserta didik yang berkualitas bukanlah yang sebatas memiliki keunggulan intelektual melainkan peserta didik yang bersungguh-sungguh dalam belajar lagi tak putus semangat untuk terus memperbaharui pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan sikap menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Maka pembelajaran yang berkualitas adalah pembelajaran yang dirancang sedemikan rupa untuk memproduksi peserta didik yang berkualitas. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Tentu kesuksesan dari pembelajaran sangat ditunggangi oleh kualitas pendidik. Untuk itu, kesadaran pendidik akan begitu penting dirinya bagi dalam menentukan kesuksesan peserta didik akan membantu pendidik untuk sedemikian rupa berupaya untuk mengasah jiwa kependidikannya dan melatih diri untuk terus belajar sepanjang hayat. Pada akhirnya, terbentulah siklus kausalitas yang harmoni  dalam sistem pendidikan. Yakni kesungguhan pendidik untuk menempah dirinya penjadi pendidik yang berkualitas dalam rangka mengahdirkan untuk bangsa ini generasi creator peradaban emas. 

*kumpulan tulisan " kontribusi untuk negri" page 3

Senin, 20 Maret 2017

Memupuk Potensi Generasi Emas Anak Bangsa

Oleh: Sulastriya Ningsi, S.Si

Kepesatan arus globalisasi telah menggeser pola kehidupan masyarakat dari agraris dan perdagangan tradisional kepada masyarakat industri dan perdagangan modern. Jelas hal ini memicu tuntutan yang lebih besar pada dunia pendidikan untuk mentransformasi penduduk khususnya di usia produktif menjadi sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan keterampilan. Memang fakta  sedemikian menjadi ancaman sekaligus tantangan besar yang harus diselesaikan bersama mulai dari lapisan pemerintah hingga lapisan lingkungan keluarga.

Dalam masyarakat modern saat ini, kompetensi dan keterampilan abad 21 sangat memiliki fungsi urgentif untuk dapat bertahan dalam dunia  pergaulan yang kian mengglobal. Anak-anak usia produktif yang berada di jenjang pendidikan mulai dari SD hingga perguruan tinggi perlu difasilitasi segenap wahana untuk memupuk potensi dalam dirinya. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tertera dalam Undang-Undang  No.20 Tahun 2003,  bahwasanya esensi pengembangan potensi peserta didik yakni, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jelas sekali bahwa  tentang deskripsi pendidikan tidak boleh lepas dari penanamam nilai ketauhidan. Separasi intelektual dan spiritual seakan dapat mengikis potensi besar yang sebenarnya bertengger pada setiap diri peserta didik. Hal tersebut tentu mengacam masa depan anak yang diharapkan kelak menjadi generasi emas yang mampu membangun peradaban besar di Bangsa Indonesia tercinta ini.

Saat ini, sistem pendidikan sudah sangat terbantu dalam penanaman nilai-nilai spiritual dengan implementasi dari Kurikulum 2013. Dalam kerangka dasar maupun struktur kurikulum telah dirancang bentukan sistem pendidikan berdasarkan kebutuhan kontekstual. Untuk itu, dalam sistem pembelajaran maupun penilaian aspek sikap (afektif) telah dirangkum menjadi satu kesatuan bersama aspek pengetahuan(kognitif) serta aspek keterampilan (psikomotorik). Jika segenap pendidik dapat memanfaatkan kondisi pembelajaran dengan pendekatan saintifik dan penilaian autentik untuk mengoptimalkan potensi fitrah dalam peserta didik maka dapat diyakinkan bahwa pendidikan telah menjadi lumbung besar dalam memproduksi generasi emas itu.

Jika  fenomena pendidikan dan tujuannya dikembalikan pada muaranya, dapat di ambil keterangan faktual dan terpercaya dari firman Allah tersebut:

  Allah SWT berfirman:

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ 
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa."
(QS. Yunus: Ayat 63)

Allah SWT berfirman:

لَهُمُ الْبُشْرٰى فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰخِرَةِ  ؕ  لَا تَبْدِيْلَ لِـكَلِمٰتِ اللّٰهِ  ؕ  ذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ 
"Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung."
(QS. Yunus: Ayat 64)

Relevansi ayat tersebut terhadap tujuan pendidikan dan efeknya pada bangsa Indonesia sangat terang, bahwa mendidik anak bangsa untuk mengembangkan potensinya agar menjadi bertakwa akan secara otomatis dengan ini Tuhan Semesta Alam yang akan merekontrusi masa depan mereka sehingga  lebih produktif, kreatif, dan inovatif, fakta ini tertera dalam janji Allah yakni 'kabar gembira pada kehidupan dunia'. Beruntungnya, rekontruksi masa depan anak Indonesia pun terjamin hingga kehidupan dunia ini berakhir.

Untuk itu, program integrasi nilai-nilai spiritual dalam segenap lini khazanah ilmu pada dunia pendidikan  menghimpun peran masif dalam optimalisasi potensi fitrah sumber daya manusia usia produktif di  Indonesia. Demi terlahirkannya generasi emas bangsa ini yang siap dan kokoh jiwa dan tapak langkahnya untuk mengukir sejarah peradaban Bangsa yang Bermartabat dan Mulia bukan hanya dalam pandangan dunia juga dalam pandangan penduduk langit.

*kumpulan tulisan "Kontribusi untuk Negri"  page 2 yang insyaAllah akan dirangkum dalam 1 buku