Segala sesuatu dalam kehidupan ini tidak pernah terlepas dari kata 'usaha'. Semisal untuk bangun dari tidur pun setiap kita butuh usaha untuk membuka kedua kelopak matanya agar mampu tersadarkan dari dimensi ruh kepada dimensi materi. Seperti hal pula untuk mencapai tujuan jelas membutuhkan usaha, yakni segenap variabel yang membantu diri agar berpindah dari hanya sebatas niat, keinginan, hasrat, kepada pencapaian yang dituju. Dari beberapa analogi itu, kita dapat menyimpulkan secara sederhana bahwa usaha identik dengan perpindahan. Tidak ada penyebutan usaha jika perpindahan tidak terjadi. Fenomena ini bisa dikerucutkan dalam pembahasan hukum alam. Bahwasanya ada sebuah ketundukkan dari sebuah gejala yang terjadi, contohnya saja tentang usaha yang telah sedikit dideskripsikan sebelumnya. Bagaimana bentuk ketundukkannya? Yaitu usaha harus tunduk pada perpindahan. Jika tidak ada perpindahan maka usaha dapat dinyatakan bernilai nol.
Renungan sederhana seperti ini sering didalami oleh para filsuf. Mereka mencoba merumuskan apa yang ditangkap oleh indranya kedalam sebuah penterjemahan tatanan hukum alam (diferensi logika) menurut persepsi dan jangkauan ilmu yang mereka miliki. Dari pengamatan sederhana itulah dikembangkan apa yang disebut dengan variabel, simbol yang mampu mewakili makna apa yang ingin didefinisikan/diterejemahkan oleh para filsuf tersebut. Sebenarnya, dalam dunia kekinian peran filsuf bisa dikatakan telah terintegrasi pada peran ilmuan.
Ada hal yang ingin diterangkan dari fenonema usaha serta keterkaitannya dengan dunia pendidikan fisika. Selama ini, bahkan secara luas, dalam benak setiap orang akan mengenal bahwa fisika itu semacam operasi matematis dalam angka dan huruf yang membingungkan. Memang tidak dapat dipungkiri, sebab dalam dunia pendidikan kurikulum fisika lebih menonjolkan sisi kognitif pada bab hitung menghitung rumus yang tertera di buku cetak namun tidak mengembangkan keterampilan mengalisis langsung dari gejala yang teramati. Padahal, sejatinya akar kata fisika itu sendiri, jika ditelaah secara bahasa, berarti alam. Maksudnya pembelajaran fisika itu sendiri adalah belajar tentang alam. Sehingga pembelajarannya meski dimulai dengan kegiatan mengamati peristiwa bukan malah sebaliknya yakni mempelajari teori lalu baru menemukan peristiwa yang relevan. Sehingga pembelajarn fisika menjadi sangat membosankan. Karena 'hak' rasa keingintahuan siswa menjadi 'terampas'.
Ambil saja contoh usaha tadi. Dari gejala yang telah diceritakan sebenarnya dapat dirumuskan yakni besaran usaha (W) akan dipengaruhi oleh variabel perpindahan (posisi/besaran panjang[s]: satuan panjang[m]). Nah, apakah perpindahan itu serta merta terjadi begitu saja seperti bim salabim? Tidak kan? Untuk membuka mata maka kelopak mata butuh bekerja dengan gaya dorong tertentu agar terbuka. Maka hadirlah satu variabel yang menemani perpindahan (s) yakni gaya (F). Itu sebagai perumpamaan sederhana aja.
Strategi pembelajaran yang sedemikian sekiranya lebih menstimulus siswa untuk menemukan konsep-konsep sendiri dari apa yang telah diamati lalu dipraktikkannya dalam pembelajaran fisika. Pada akhirnya, siswa tidak lagi terinstalisasi dalam cpu otaknya bahwa fisika itu adalah kumpulan rumus-rumus yang mesti diselesaikan melainkan kumpulan fenomena-fenomena alam yang harus diterjemahkan dalam rumus-rumus agar bisa dipahami efek dan manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Nah, bagaimana? Fisika itu asyik dan menyenangkan bukan?
©Sulastriya Ningsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar