Jumat, 29 Mei 2015

La Tahzan Rohingya, Bumi ini Milik Allah

        Bumi ini adalah satu kerajaan dan manusia menjadi warga negaranya. Mereka sama-sama memberi sumbangsih dan membangun kerajaan ini. Ikatan sesama manusia yang kokoh dalam rantai Tauhid mengakui firman Allah,  "....Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara."(Q.S.al-Hujurat:49). Orang-orang mukmin yang jujur memahami hal ini, sehingga mereka menghormati persaudaraan aqidah dengan semestinya. Mereka menyadari bahwa agama adalah tanah air dan kebangsaan untuk menyatukan berbagai jiwa yang berbeda-beda serta keinginan yang beragam. Sehingga, setiap jengkal tanah yang di dalamnya terdapat seorang Muslim yang berkata," Tidak ada Sesembahan selain Allah dan Muhammad utusan Allah," menjadi bagian dari tanah air yang besar. Setelah itu, seluruh bumi merupakan satu tanah air jika penduduk bumi itu mengenal Tuhannya, Allah al-A'la. Aduhai indahnya.....
      Jadi terbayang kisah penjelajah Muslim,Ibnu Bathuthah melintasi beberapa perbatasan negara Islam, mulai dari Fas dan Marakisy di tepi Samudra Atlantik hingga Cina jauh di Laut Teduh. Ia tidak pernah diminta paspor, dan perjalanannya tidak pernah dihentikan hanya karena belum mendapatkan visa. Ia merasakan di setiap daerah dan rumah seakan berada di negrinya sendiri sebab satu Tanah Air Islam.
     Apa kabar saudara Rohingya ku tercinta ? Maaf raga ku tak sempat tuk mendekapmu dalam dinginnya suhu. Usapku tak dapat mengeringkan air matamu di pipi sebab beratnya beban ujian yang dirimu kecup saat ini. Salamku tak pula bisa terdengar langsung oleh mu, aku hanya ingin sekedar berkata sebuah kalimat tuk menguatkanmu bahwa Allah selalu membersamai hamba-Nya yang sabar dan bersama satu kesulitan diiringi oleh dua kemudahan. Suap ku tak juga mampu menjulur ke mulut mu tuk mengenyangkan sedikit lambung sebab beberapa hari diperjalanan menuju Indonesia kudengar dirimu terkatung-katung kelaparan. Dadaku sesak, mataku hangat, dan buliran bening keluar refleks mengikuti grafitasi kala ku lihat gambar aksi-aksi keji yang dilakukan 'manusia-manusia biadab' itu terhadap mu. Maafkan aku wahai saudara se 'Tanah Air Islam' ku yang kucintai karena Allah. Tak banyak yang dapat kuupayakan untuk mendamaikan hatimu, menenangkan pikiranmu, dan membantumu.
     Apa kabar saudara Rohingya ku tersayang. Untaian doa ku lampirkan dalam senandung pujuk pada Pemangku Arsy nan Agung. Agar kalian selalu dalam naungan cinta, ridho, dan rahmat-Nya . Semoga Allah kokohkan syurga atas kekokohan iman kalian  mempertahankan tauhid dalam hati. Ishbiru wa Shobiru duhai saudaraku, kita semua beriringan kelak menuju hari pembangkitan dan di sisi Allah semua musuh akan bertemu, serahkan orang-orang yang menzalimi itu pada Allah. apapun yang tengah dirimu rasakan saat ini duhai saudaraku semua dari keputusan Allah nan Maha Bijaksana sedang "Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya"(asy-Syu'ara:19). "Janganlah kamu bersedih sesungguhnya Allah bersama kita" ( at-Taubah:40). Kiranya kalimat ini ku harap dapat menghibur lara mu nan menggunung.

Salam Ta'zim dari saudarimu nan dhoif AFJ

Rabu, 13 Mei 2015

Inilah Tulisan Terbaru Ustadz Salim A Fillah Tentang Kesultanan Islam di Tanah Jawa

Islamedia -  Ustadz Salim A Fillah memposting tulisan terbarunya tentang sejarah kesultanan Islam di tanah Jawa di website pribadinya salimafillah.com, senin (11/5/2015).

Dengan gaya bahasa yang sangat enak dibaca, Ustadz Salim mengajak pembaca membuka kembali sejarah masa-masa kejayaan Islam di Nusantara khususnya tanah Jawa. Kesultanan Islam pernah berdiri dengan gagah di tanah Jawa yang menjadi kekuatan besar dunia pada masanya.

Berikut isi tulisan lengkapnya dengan judul "PARA SULTAN SANTRI, Bagian I: Dari ‘Abdullah ke ‘Abdurrahman"

Kisah bermula dari balik tembok Kota Gede yang kukuh dengan pasar gedenya yang ramai riuh. Adalah Raja Mataram kedua, Panembahan Prabu Hanyakrawati (1601-1613) telah terikat janji pada Ratu Tulungayu, bahwa anak kesayangan mereka yang berjuluk Adipati Martapura, kelak akan dinobatkan sebagai penerusnya. Tapi sayang, pangeran muda itu mengalami gangguan syaraf yang berakibat keterbelakangan mental.

Janji seorang raja, demikian bagi sang penguasa yang bernama kecil Mas Jolang, putra Panembahan Senapati (1587-1601), tetaplah ikrar suci yang tan kena wola-wali. Di sisi lain, para kawula Mataram tidak boleh dikorbankan haknya untuk memiliki pemimpin yang cakap hanya demi sebuah janji.

Maka sebakda Ayahandanya wafat saat berburu di hutan Krapyak pada suatu hari di tahun 1613, Adipati Martapura tetap ditahbiskan sebagai raja ketiga Kedhaton Mataram di Kotagede. Tapi raja tunagrahita ini memangku jabatannya hanya selama satu hari saja.

Pada hari berikutnya, dia diturunkan secara hormat dari singgasana batu Dhampar Sela Gilang. Kemudian kakaknya beda ibu, Mas Rangsang alias Raden Mas Jatmika dilantik sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Agung Hanyakrakusuma.

Masa pemerintahan raja yang lahir pada 1593 dari rahim Ratu Dyah Banawati binti Pangeran Benawa Pajang ini akan dikenang sebagai masa kebesaran Mataram, dihiasi pula oleh keberanian pasukannya yang dua kali menyerang VOC di Batavia di tahun 1628-1629 hingga menewaskan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (1619-1623, 1627-1629). Pun raja ini pula yang mengubah hubungan hierarkis antara para ‘ulama dan para raja di Tanah Jawa.

Sebelumnya, pada masa Kesultanan Demak dan Pajang, majelis permusyawaratan para Wali adalah syuraa tertinggi yang keputusannya mengikat para Sultan sebagai semata pelaksana. Para Sultan pun tunduk dengan ta’zhim kepada dewan para ‘alim lagi faqih yang menjadi ahlul halli wal ‘aqdi negara mereka.

Adapun Raden Mas Jatmika tumbuh di bawah asuhan para ‘ulama dengan kecerdasan dan pemahaman yang diakui melampaui rata-rata kaum santri di zamannya. Maka ketika dia naik takhta sebagai Panembahan Agung Hanyakrakusuma, para ‘ulama kemudian didudukkan sebagai para penghulu Keratonnya, yang hanya dapat memberi nasehat, bukan keputusan mengikat. Apalagi dia mengambil gelar seperti kakeknya, Sayidin Panatagama, yang amat jelas dimaksudkan untuk iqamatuddin dalam pemerintahannya. Dan bagi para ‘ulama di zamannya, Panembahan Agung Hanyakrakusuma dengan kapasitas keilmuan dan kesantriannya jauh lebih kompeten untuk itu daripada para pendahulunya.

Panembahan Agung Hanyakrakusuma tahu, dinasti Mataram adalah trah keturunan petani. Bahkan jikapun diakui nasab buyutnya Ki Ageng Pemanahan sampai ke Ki Ageng Sela dan sampai ke Bondan Kejawan putra Prabu Brawijaya V di Majapahit; asal-usul sebagai wangsa petani baginya justru menguatkan hubungan dengan rakyat yang seasal selatar-belakang dengan dirinya.

Hanya saja, untuk menjadi pemimpin agama Islam tertinggi di Jawa yang sepadan dengan kekuasaannya kini, raja yang sesudah menaklukkan Madura dan Sukadana di Kalimantan serta merengkuh Palembang dan Jambi ke dalam kekuasaannya di tahun 1624 memakai gelar Susuhunan Agung Hanyakrakusuma ini merasa masih ada yang mengganjal.

Sebagai raja besar dari trah keturunan petani, dia justru dikelilingi oleh para penguasa yang di dalam nadi mereka mengalir darah Kanjeng Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hingga kaum muslimin pada umumnya lebih mengunjukkan hormat pada mereka.

Di Gresik, yang meski tunduk pada Mataram tapi tetap memiliki kedudukan istimewa bagi masyarakat Islam Pasisiran bahkan hingga Ternate dan Tidore, bertakhta Sunan Kawis Guwa dan dilanjutkan Panembahan Giri yang merupakan keturunan Mufti Demak di masanya, Sunan Giri ibn Maulana Ishaq. Sebelumnya, hingga masa Sunan Prapen (1548-1605), selain sebagai pusat ilmu agama Islam, bahkan para penguasa muslim di Jawa dianggap tak sempurna keabsahannya jika belum dilantik oleh pemimpin Giri Kedhaton.

Di Surabaya, Pangeran Pekik yang telah dinikahkan dengan adik Susuhunan Agung Hanyakrakusuma, Ratu Pandansari, adalah keturunan Maulana Rahmatullah Sunan Ampel, pemimpin Dewan Para Wali di zaman Demak. Di masa ayahanda Pekik, Pangeran Jayalengkara, perlu 5 tahun peperangan bagi Sang Susuhunan Mataram untuk memaksa Surabaya agar mau takluk.

Di Cirebon hingga Priangan, Galuh, Sumedang, dan Ukur yang juga tunduk pada Mataram dan bahkan rajanya, Panembahan Ratu I (1570-1649) menjadi mertua bagi sang Susuhunan Agung, tetap kukuh pula pengaruh para keturunan Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati.

Dan; ini yang paling mengganjal; Abul Mafakhir Mahmud ‘Abdul Qadir (1596-1651) yang sebagaimana Susuhunan Agung Hanyakrakusuma juga seorang santri ‘alim lagi faqih. Dia bertakhta di Banten didampingi pamannya, Mangkubumi Arya Ranamanggala, dan dengan penuh maruah tetap tak sudi tunduk pada supremasi Mataram. Dengan gelar “Sultan” yang dengan penuh kebanggaan disandangnya sejak 1638, putra Maulana Muhammad ibn Maulana Yusuf ibn Maulana Hasanuddin ibn Syarif Hidayatullah ini sering membuat sang Raja Mataram merasa jengkel.

Kalau Aceh sejak masa Sultan Alauddin Riayat Syah (1537-1571) telah mengirim Husain Affandi pada Sultan Sulaiman Al Qanuni (1520-1566) dan Kerajaan Demak-pun telah membangun aliansi strategis dengan Daulah ‘Aliyah ‘Utsmaniyah di Turki menghadapi Portugis yang diback-up oleh Daulah Shafawiyah di Iran; Susuhunan Agung Hanyakrakusuma memandang perlu melakukan langkah yang lebih jauh untuk mengokohkan kerajaannya sebagai wakil sah kuasa dunia Islam di Nusantara.

Setelah beberapa kali berkirim utusan memantapkan persekutuannya dengan I Mangari Daeng Manrabbia Sultan ‘Alauddin (1593-1639) di Gowa-Tallo dilanjutkan penggantinya I Mannuntungi Daeng Mattola Sultan Malikussaid (1639-1653) dan Pa’bicara Butta-nya yang cendikia, Karaeng Pattingalloang (1639-1654); Susuhunan Agung Hanyakrakusuma segera mengirim utusan ke pusat kuasa dunia Islam di masa itu; Turki ‘Utsmani. Kapal utusan Mataram itu berlayar dari Jepara hingga Aceh dengan perhentian di Palembang. Dari sana, atas izin Sultan Iskandar Tsani (1636-1641) yang gembira menerima hadiah persahabatan Susuhunan Agung, dengan kapal Angkatan Laut Aceh yang lebih tangguh berangkatlah duta Mataram itu bersama perutusan persahabatan Aceh Darussalam ke Turki.

Menurut satu versi, utusan itu berhasil menghadap Malikul Barrain wa Khaqanul Bahrain wa Khadimul Haramain, Qaishar Ar Rumi, Khalifatullah wa Zhilluhu fil Ardhi Al Ghazi Sultan Murad IV (1623-1640) di tahun-tahun terakhir pemerintahannya. Versi lain menyebutkan, Murad IV diwakili oleh Syarif Makkah, Zaid ibn Muhsin Al Hasyimi (1631-1666) yang menerima sang utusan di kota suci tersebut.

Bai’at Mataram sebagai kuasa bawahan sekaligus wakil resmi Daulah ‘Utsmaniyah di Nusantara diterima. Maka bagi Susuhunan Agung Hanyakrakusuma dihadiahkanlah gelar “Sultan ‘Abdullah Muhammad Maulana Jawi Matarami”, disertai tarbusy untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zam-zam. Utusan itu kembali ke Mataram dan tiba kembali di Kedhaton Karta di Plered pada tahun 1641.

Model tarbusy itu kelak akan dikenakan terus oleh para keturunan Sultan Agung, demikian kemudian dia termasyhur, dalam penobatan raja-raja Dinasti Mataram. Sepasang benderanya yang berupa sejahit bagian Kiswah Ka’bah dan sejahit bagian satir makam Rasulullah menjadi Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Pare Anom. Sementara guci itu hingga kini berada di makamnya dengan nama Enceh Kyai Mendung dari Sultan Rum.

Kuatnya orientasi ke Turki di masa itu bahkan ditandai dengan digantinya bendera Gula Klapa yang telah ada sejak masa Majapahit, Demak, dan Pajang dengan bendera berwarna dasar merah dengan tepi obar-abir putih, yang di tengahnya bergambar bulan sabit putih sebagaimana bendera ‘Utsmani, hanya ditambahkan keris bersilang sebagai penanda Nusantara.

Gelar “Raja dua benua, Khan Agung dua samudera, Pelayan dua tanah suci (Makkah-Madinah), dan Kaisar Rum”; yang tersemat pada nama Sultan-sultan ‘Utsmani secara lengkap sejak Salim I (1512-1520) di tahun 1517 mengambil alih semua atribut kekhalifahan dari Al Mutawakkil III Al ‘Abbasi (1508-1517) di Kairo yang jadi simbol legitimasi para Sultan Daulah Mamlukiyah ini agaknya nanti membuat para penulis sejarah hanya akan menyebut pemberi gelar “Sultan” pada Susuhunan Agung Hanyakrakusuma sebagai “Pemimpin Ka’bah di Makkah”, atau “Sultan Ngerum.”

Sejak tahun 1641 itu, dengan gelar barunya, Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami Susuhunan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama Khalifatullah memantapkan dirinya sebagai pemimpin tertinggi agama Islam di Jawa. Meski secara sosial-budaya pengaruh yang ditebarnya mewarnai ujung timur hingga ujung barat Pulau Jawa bahkan Palembang, Jambi, Tanjungpura, Sukadana, dan Banjar; cita-citanya untuk memasukkan Batavia dan Banten ke dalam genggaman iqamatuddin-nya pupus oleh wafatnya di tahun 1645 tanpa meninggalkan penerus yang punya kapasitas memadai. Seperti digambarkan dalam peribahasa Jawa; tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati. Bahkan dapat dikatakan, putranya yang nanti juga tak lagi menggunakan gelar Sultan; Susuhunan Amangkurat I; sangat mengecewakan.

Sebenarnya, persiapan Sultan Agung untuk memerangi VOC kian amat serius. Menyadari bahwa kelemahan utama serangannya di tahun 1628-1629 adalah kekuatan maritim, tepat di belakang Kedhaton Kartanya di Plered telah dibendung Kali Opak dan Kali Oya menjadi laut buatan yang dikenal sebagai Segara Yasa. Prajurit-prajuritnya yang senyatanya orang-orang pedalaman diajari berperang di perairan.

Tapi gara-gara perlakuan amat buruk Susuhunan Amangkurat I kepada kaum ‘ulama dan santri yang menimbulkan kekacauan, putusnya hubungan dengan Gowa-Tallo, dan pemberontakan Trunojoyo; untuk 100 tahun ke hadapan setelah wafatnya Sultan Agung, kuasa raksasa Mataram menjadi seperti harimau ompong di hadapan VOC. Bahkan pula kerajaan ini kehilangan banyak kepemilikan dan wilayah tiap kali VOC memberi bantuan lalu memeras raja-rajanya yang lemah di hadapan pemberontakan dan pertikaian perebutan takhta dalam keluarga. Ibukota terpaksa dipindah beberapa kali. Priangan lepas, demikian pula Blambangan dan Madura, hingga akhirnya bahkan pesisir utara Jawa pun disewa-paksa oleh VOC.

Pada tahun 1746, mulailah berkobar perang besar yang paling membangkrutkan VOC dalam sejarahnya di Nusantara. Putra Susuhunan Amangkurat IV (1719-1726) dengan Mas Ayu Tejawati, Bendara Raden Mas Sujana yang masyhur sebagai Pangeran Mangkubumi, bergabung dengan keponakan sekaligus menantunya Raden Mas Said menggerakkan rakyat melawan VOC yang kian mencengkeram takhta kakandanya, Susuhunan Pakubuwana II (1726-1749).

Ketika Susuhunan Pakubuwana II yang sakit-sakitan berada di ranjang kematiannya, dia memilih menitipkan keselamatan kerajaannya kepada VOC yang diwakili Gubernurnya untuk Java Noord Kust, Baron von Hogendorff. Tak lama kemudian, raja ini wafat dan dimakamkan di Laweyan. Atas desakan Raden Mas Said, di desa Kabanaran, Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai Susuhunan ing Mataram Senapati Ingalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Ingkang Tuhu Narendra Mandireng Amengku Tlatah ing Nuswa Jawa. Gelar yang menyiratkan kedaulatan penuh dalam politik dan agama di Jawa ini bergema menggentarkan.

Pada tahun tersebut prajuritnya mencapai 20.000 orang dan bahkan terus bertambah dengan bergabungnya pasukan dari pulau-pulau lain yang semula membantu VOC. Kapitan Juwana yang mengomandani legiun pasukan Bugis dan Ternate, juga Daeng Muhammad dari Makassar dan para keturunan Karaeng Galesong misalnya; kelak menjadi 2 dari 12 kesatuan inti resmi pasukan kerajaannya dengan nama Bugisan dan Daengan. Lebih dari dua pertiga di antara para bupati nayaka Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Yudanagara dari Banyumas dan Tumenggung Rangga Prawirasentika dari Madiun jelas berpihak pada Pangeran Mangkubumi. Selain itu, dengan latar belakang sebagai santri yang ‘alim lagi faqih, beristrikan seorang mujahidah setia putri Kyai Ageng Derpayuda trah Ampel yang juga cucu Sultan Bima di Sumbawa bernama Niken Lara Yuwati, maka dukungan para ‘ulama dan barisan santri juga mengalir padanya. Sang permaisuri yang tak putus mendampinginya bergerilya ini, bahkan menjadi komandan pasukan prajurit putri, kelak dikenal sebagai Ratu Ageng Tegalrejo yang kelak mendidik dan mempersiapkan Pangeran Diponegoro untuk berjuang mengobarkan jihad melawan Kolonialisme Belanda dalam perang yang lebih sengit daripada torehan kakek buyutnya.

Pada tahun 1750 dalam pengepungan benteng Ungaran, Gubernur Jenderal VOC Gustaf Willem Baron van Imhoff (1743-1750) terluka parah, dan pada pertempuran Jenar-Bogowonto tak berapa lama kemudian, komandan pasukan VOC, Kolonel De Clerk terbunuh. Pada pertempuran di Pekalongan tahun 1752, pasukan gabungan VOC dihancurkan dan banyak yang tertawan.

Perang dahsyat selama hampir 10 tahun itu berujung pada Palihan Nagari, perjanjian pembagian negara yang ditandatangani di desa Giyanti pada tahun 1755. Ingkang Sinuhun Kangjeng Sunan Sri Susuhunan Pakubuwana III (1749-1788) di Surakarta harus berbagi kerajaan dengan pamannya, yang kemudian bertakhta di Yogyakarta dengan gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati Ingalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I (1755-1792).

Babad Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I (1757-1795) menyinggung salah satu siasat VOC dalam mengakhiri perang ini. Menyadari betapa miripnya Pangeran Mangkubumi dengan Sultan Agung dalam orientasi ke Turki, dikirimlah seorang Arab bernama Syarif Akbar Syaikh Ibrahim yang disebut sebagai utusan Sultan Ngerum untuk membujuknya berdamai dengan imbalan gelar resmi sebagai Sultan Mataram yang diakui oleh Daulah ‘Aliyah ‘Utsmaniyah. Maka dengan syarat bahwa seluruh pusaka Mataram warisan Sultan Agung menjadi haknya, Pangeran Mangkubumi menyetujui perdamaian.

Semula, mengingat basis pendukungnya berada di timur, VOC yang diwakili Nicolaas Hartingh membujuk agar dia berkenan ditakhtakan di Japan, daerah Mojokerto kini. Tapi Susuhunan Kabanaran telah memilih Umbul Pacethokan dan Alas Paberingan di jantung tanah Mataram untuk menjadi lokasi keratonnya. Maka dalam palihan nagari, selain Kuthanagara dan Nagaragungnya, Surakarta yang lebih ke timur justru wilayahnya banyak terdapat di Mancanagara Barat (hingga Banyumas) sementara Yogyakarta yang lebih ke barat berdaulat di banyak wilayah Mancanagara Timur (hingga Ngantang, Malang).

Maka sang Sultan yang terhadap Buwana (bumi lahir dan batin) dituntut untuk Hamangku (berkhidmat melayani), Hamengku (melindungi dengan kasih sayang sekaligus keadilan), serta Hamengkoni (siap bertanggungjawab atas amanah di pundaknya) ini, kerajaannya mewarisi segenap atribut sekaligus nilai yang diterima Sultan Agung dari Daulah ‘Aliyah ‘Utsmaniyah kemudian diterjemahkan dalam dakwah kepada bahasa kaumnya.

Dengan memilih nama ‘Abdurrahman, bukan lagi ‘Abdullah seperti yang dianugrahkan pada Sultan Agung, Sultan Hamengkubuwana I hendak menegaskan Astabrata-nya sendiri. Delapan sifat raja yang diteladani dari unsur semesta (kartika/bintang, chandra/bulan, agni/api, bayu/angin, tirta/air, surya/mentari, samudra/lautan, bantala/tanah) dan dewa-dewa Hindu (Indra, Yama, Surya, Chandra, Kuwera, Bayu, Baruna, Brama) diubah dan dimaknai kembali menjadi 8 sifat ‘Ibadurrahman seperti yang tertera dalam Surat Al Furqan.
KARTIKA. Tawadhu’ dan bijaksana.

Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (QS Al Furqan: 63)

CHANDRA. Gemar menghidupkan malam.

Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. (QS Al Furqan: 64)

AGNI. Berlindung dari adzab neraka.

Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”. (QS Al Furqan: 65)

TIRTA. Pertengahan dalam membelanjakan harta.

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS Al Furqan: 67)

BAYU. Tidak berbuat syirik, membunuh, dan berzina.

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. (QS Al Furqan: 68)
SURYA. Berpaling dari perkara haram atau sia-sia dan menjaga kehormatan diri.

Dan orang-orang yang tidak menghadiri az Zuur (hal-hal yang haram), dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS Al Furqan: 72)
SAMUDRA. Mudah menerima nasehat dan peringatan.

Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (QS Al Furqan: 73)
BANTALA. Meminta diberi istri dan keturunan yang baik serta menjadi Imamul Muttaqin.

Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Al Furqan: 74)

Kehebatannya sebagai Senapati Ingalaga di medan perang selama berjuang telah termasyhur di kalangan rakyat. Bahkan Keratonnya pun dia bangun dengan tembok baluwarti, jagang (parit keliling), Tamansari, dan Pulo Cemethi yang sangat matang rencana pertahanannya. Sebagai Sayidin Panatagama dibangunnya Masjid Gede, Masjid Pathok Negara, dan Masjid Kagungan Dalem yang disusun letaknya sedemikian rupa berlapis-lapis di wilayah Kuthanagara untuk menjadi pusat pembinaan, pemberdayaan, dan mobilisasi perjuangan. Abdi Dalem Suranata yang menjadi penasehatnya terdiri atas 12 Haji yang disebut Kaji Selusin, sesuai jumlah Naqib Nabi Musa dan Hawari Nabi ‘Isa. Kesederhanaan sang Sultan ‘Abdurrahman tercermin dari gambaran tentang dirinya yang lebih sering tampil mengenakan Baju Taqwa, sesuai cita untuk menjadi Imamul Muttaqin.

“Hai anak Adam, Kami telah menurunkan pada kalian pakaian untuk menutup ‘aurat kalian dan pakaian yang indah sebagai perhiasan. Dan pakaian taqwa, itulah yang terbaik..” (QS Al A’raaf: 26)

Apakah Baju Taqwa itu? Alkisah Sayyid Ja’far Ash Shadiq, sang Sunan Kudus menegur Sunan Kalijaga atas pakaiannya yang berwarna wulung, maka sang wali Kadilangu menjawab, “Jika dengan ini saya merasa dekat dengan yang saya dakwahi dan mereka merasa dekat dengan saya; bukankah pakaian terbaik adalah pakaian taqwa; sedang taqwa tersembunyi dalam dada?”

Sejak itu, pakaian beliau disebut Baju Taqwa.

Ketika bertakhta, Sang Sultan santri ‘Abdullah Muhammad Maulana Matarami Susuhunan Agung Hanyakrakusuma menjadikan pakaian ini sebagai busana kerajaan untuk para pejabatnya. Lalu pada Palihan Nagari 1755, Sultan Hamengkubuwana I menjadikannya sebagai busana resmi Keraton Kasultanan Yogyakarta. Adapun anasir utama dalam baju taqwa itu antara lain:

1) Keris. Dalam bahasa Jawa disebut Curiga (waspada) atau Dhuwung (sadar & hati-hati). Inilah makna taqwa seperti dalam bincang antara dua sahabat Nabi yang mulia. “Apakah taqwa itu?”, tanya ‘Umar. “Apakah engkau wahai Amirul Mukminin”, sahut Ubay ibn Ka’b, “Pernah berjalan di lintasan yang remang-remang sementara ada banyak duri dan onak?” “Ya”, jawab ‘Umar. “Apa yang kau lakukan ketika itu?”, tanya Ubay. “Aku berhati-hati”, jawabnya. “Maka itulah taqwa”, simpul Ubay ibn Ka’b. Adapun keris ini dikenakan di belakang sebab kewaspadaan yang terjaga tidak menafikan prasangka baik.

2) Kain bawahan atau sinjang yang dikenakan sebagai bebet. Maknanya, perut dan bawah perut adalah markas syahwat yang harus dibebeti, dibebat, dikendalikan agar tak liar. Kain ini di-wiru bagian ujungnya, yakni agar terjaga sifat wara’/wira’i. “Adapun orang yang takut pada keagungan Rabbnya dan mencegah diri dari hawa nafsunya, surgalah tempat tinggalnya.” (QS An Naazi’aat 40-41). Salah satu motif larangan yang hanya dikenakan oleh Sultan sejak masa Sultan Agung adalah Parang Barong. Parang bisa berarti lereng, menandakan perjuangan melawan hawa nafsu yang berat dan menanjak. Barong berarti singa, atau sesuatu yang besar. Seperti dikatakan Imam Wahb ibn Munabbih, “Siapa menjadikan syahwat takluk di bawah tapaknya, syaithanpun gentar pada bayangnya.”
3) Pasangan ikat pinggangnya disebut kamus dan timang. Taqwa harus diikat dengan ilmu. Kamus karena kosakata, nama-nama benda adalah ilmu pertama yang diajarkan pada Nabi Adam. Dan ilmu yang menjadi dasar iqra’, wajib dituntut sejak dari timangan, buaian hingga liang lahat.
4) Pakaian atasannya disebut surjan. Ia adalah suraksa-janma, sebaik-baik penjaga bagi manusia, yang harus punya watak nyawiji (menyatu dengan sesama), greget (penuh semangat pada kebaikan), sengguh (yakin dan meyakinkan), ora mingkuh (berani bertanggungjawab). Ketaqwaannya harus bersinar memancar, karena surjan juga bermakna “siraajan muniiraa”, mencahayai siang dan malam, memandu diri dan orang di sekitarnya. Kancing di lehernya ada 6, sesuai jumlah rukun iman. Dua kancing di dada kiri dan kanan melambangkan syahadatain, dan 3 kancing yang tersembunyi menunjukkan nafsu bahimah, lawwamah, dan syaithaniyyah. Motif khasnya adalah lurik, garis-garis selang-seling berwarna yang menuntut untuk lurus dalam hati, lurus dalam kata, dan lurus dalam tindakan. Seperti dikatakan Imam Sufyan Ats Tsaury, “Takkan lurus ‘amal seseorang hingga lurus hatinya. Dan takkan lurus hatinya hingga lurus lisannya.” Lurik birunya disebut Pranakan, artinya rahim. Bagaimana pemakainya harus menghayati bakti sebagai anak kepada orangtua.

5) ‘Imamah Jawiyah yang disebut blangkon. Ia semula adalah surban santri yang demi kemudahan pemakaiannya maka dipelipit, direkatkan dan dijahit. Pada gagrak Yogyakarta, ada mondholan di belakang. Sebab pemakainya harus menjadi “minzhalah”, payung pengayom bagi masyarakat.

NB: Insyaallah bersambung ke Bagian II, dari Khalifatullah ke Khalifatu Rasulillah

Salim A Fillah
http://salimafillah.com/para-sultan-santri-bagian-i-dari-abdullah-ke-abdurrahman/

Pengaya Bacaan:

Ash Shalabi, Ali Muhammad. Bangkit dan Runtunya Khilafah Utsmaniyah (terj.). 2013. Jakarta: Pustaka Al Kautsar

Babad KGPAA Mangkunagara I (Pangeran Sambernyawa), disertai ringkasan terjemahan oleh Kamajaya. 1993. Yogyakarta: Yayasan Centhini.

Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi

KRT Jatiningrat. Peralihan Takhta di Keraton Yogyakarta (Suksesi). 2015. Makalah.

Ki Sabdacarakatama. Sejarah Keraton Yogyakarta. 2009. Yogyakarta: Narasi

M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius

Purwadi, Dr. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Soekanto, Dr. Sekitar Yogyakarta 1755-1825. 1952. Jakarta: Penerbit Mahabrata

Senin, 11 Mei 2015

Ilmu dan Jodoh

Ilmu itu harus di kejar, diuber dengan segenap kekuatan, jika tidak maka ia tidak dapat dikuasai.
Beda dengan jodoh tanpa harus dikejar Allah telah menyiapkan.

Ilmu itu akan menyublim ke alpaan kala mata, hati, dan pikiran bermaksiat.
Pedih dan pahit memang mempertahankan ilmu karena ia obat penawar tuk sampai ke syurga.

Agama adalah penerang hati, sedang ilmu pengetahuan peradaban adalah penerang akal. Maka mohonkanlah pada Allah pendamping hidup yang relegius dan intelek agar rumah tangga terang benderang dengan nuansa iman dan ilmu.

Minggu, 10 Mei 2015

Doa

Angin malam telah menyampaikan sapaku.
Tanpa harus berucap sepatah kata.
Sunyi pun menjadi perantara.
Namun satu sama lain saling merasakan.

Meski kelu berpesan dalam untaian kalimat.
Tuhan mengenal isi hati.
Maka ku sampaikan saja pada-Nya.
Detik ini sudah sekian kalinya menjadi saksi.
Betapa magis kekuatan doa.

Sabtu, 09 Mei 2015

Bait-Bait Malam

Aku tak mampu bertanya pada malam, kala fajar mulai mengintip hari. Meringkuk kaku dalam keheningan, merindu pasrah dengan rangkaian kata-kata.

Aku bungkam tuk menyapa cahaya rembulan, sebab gemawan telah beringsut menyulam tubuhnya.. Hanya termangu menatap langit dengan penuh harapan tuk diterpa kembali cahayanya.

Aku sungkan tuk bersuling dengan gemintang, sebab cawanku getas dengan sinarnya. Ingin benar mampu kuat menikmati canda bersama.

Namun apalah daku...
Menyeka tawa pun terbata.
Banyak jelaga yang menyuramkan sukma.
Hampir tunggang langgang menepis perih.
Kebutuhan angin utara jadi membuncah.
Sejenak pun jadi tuk sejuk kan nestapa.
Dingin pun hilang terganti semi.
Bermekaran hikmah atas cucuran ujian.
Menunggu kepastian hari nan jadi.

Allah.....
Untuk Perjalanan yang Kau ridhoi.
disini terus terpaku pada hasrat tuk bertemu.

Kamis, 09 April 2015

Beginilah Orang yang EQ nya Maksimal

Menemukan sebuah bacaan bagus malam ini, rasanya kalau tidak di bagikan ada rasa yang kurang tanggung jawab atas ilmu. Karena kewajiban penuntut ilmu setelah ia selami selanjutnya ia muntahkan. Ini adalah mengenai EQ, yang paling populer di bahas pada abad 20-an ini.

Akhir-akhir ini, kita semakin sadar bahwa kecerdasan emosional ini sangat penting bagi tiap individu dalam menunjang kesuksesan dan kebahagiaan mereka, baik di tempat kerja, pergaulan hingga kehidupan keluarga. Memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan membantu anda dalam bersikap praktis ketika di hadapkan pada suatu permasalahan. Untuk itu, kali ini saya akan sharingkan apa saja ciri-ciri mereka yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi. Harapannya, hal ini akan menjadi referensi kita bersama untuk kehidupan kita yang lebih bermanfaat dan bahagia kedepannya.
1. Fokus pada Hal-hal yang Positif
Mereka yang memiliki kecerdasan emosional tinggi sadar bahwa percuma saja berlarut-larut dengan masalah. Fokus pada masalah tidak akan pernah membawa solusi, sebaliknya bersikap positif dalam menyikapi masalah akan membawa anda pada solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan anda.
2. Mereka yang Berpikiran Positif akan Berkumpul dengan Mereka yang Berpikir Positif Pula
Orang-orang dengan kecerdasan emosional tinggi tidak akan menghabiskan banyak waktu dengan berkumpul bersama mereka yang suka mengeluh dan mengumpat. Mendengarkan keluh kesah dari mereka yang suka berpikir negatif hanya akan membawa menghabiskan energi kita pada hal yang percuma. Sebaliknya, berkumpul dengan orang yang memiliki pikiran positif dan penuh semangat akan membuat kita tertular juga. Dan inilah yang pada akhirnya akan meningkatkan kecerdasan emosional anda juga.
3. Orang dengan Kecerdasan Emosional Tinggi selalu Assertive
Assertive adalah sebuah sikap tegas dalam mengemukakan suatu pendapat, tanpa harus melukai perasaan lawan bicaranya. Orang yang assertive sangat tahu betul kapan mereka harus bicara, kapan mereka harus mengemukakan suatu pendapat dan bagaimana cara yang tepat untuk memberikan sebuah solusi tanpa harus menggurui. Dan yang pasti mereka yang memiliki sikap assertive selalu berpikir terlebih dahulu sebelum bicara.
4. Mereka adalah Visioner yang siap Melupakan Kegagalan di Masa Lalu
Orang-orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan sibuk memikirkan apa yang akan dilakukannya di masa depan dan segera melupakan kegagalan di masa lalu. Baginya kegagalan di masa lalu adalah sebuah pelajaran yang penting diambil untuk mengambil langkah yang lebih mantab di masa yang akan datang.
5. Mereka Tahu Cara Membuat Hidup Lebih Bahagia dan Bermakna
Dimanapun mereka berada, apakah itu di tempat kerja, di rumah ataupun berkumpul dengan teman-teman, orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan membawa kebahagiaan bagi sesamanya. Terkadang arti bahagia bagi mereka tidak harus sebuah kekayaan. Bersyukur akan nikmat yang didapat hari ini dan membantu orang lain yang membutuhkan pertolongannya akan membuat mereka merasa bahagia dan bermakna.
6. Mereka Tahu Bagaimana Mengeluarkan Energi Mereka secara Bijak
Mereka yang dikaruniai kecerdasan emosional tinggi, tahu bagaimana memanfaatkan energi mereka dengan bijak. Mereka tidak akan menghabiskan waktu untuk hal-hal yang percuma saja. Mereka akan fokus pada tindakan-tindakan yang akan membawa manfaat bagi sesamanya.
7. Terus Belajar dan Berkembang
Mereka yang memiliki kecerdasan emosional tinggi sadar, bahwa apa yang ia ketahui saat ini masih belumlah apa-apa. Baginya, belajar bukanlah 12 tahun wajib belajar dan 4 tahun kuliah. Wajib belajar adalah seumur hidup. Mereka selalu terbuka akan hal-hal baru dan berani mencoba berbagai macam tantangan yang akan membuat mereka berkembang. Kritik dan saran dari orang lain akan dijadikan sebagai referensi baru dalam mengambil langkah dan keputusan di masa yang akan datang.

Dari blognya: http://bagusberlian.com/7-ciri-ciri-mereka-yang-mempunyai-kecerdasan-emosional-yang-tinggi/

Selasa, 07 April 2015

Lucunya Mukmin itu

Lucunya mukmin itu.

Saat masalah datang ia berkata' Wow masalah datang lagi, asyik Tuhan tengah mengabulkan do'aku, karena aku pernah meminta kebijaksanaan, dengan masalah inilah aku di ajarkan untuk lebih mematangkan kebijaksanaanku menanggulangi dinamika hidup.

Saat ada yang menyakitinya ia berkata,' Alhamdulillah sekali ya,  masih ada kamu yang mau menyakitiku, indahnya Tuhan tengah mengabulkan do'aku, karena aku pernah meminta kemuliaan, dengan kesabaran aku bersama dia aku mendapatkan kemuliaan itu. Bahagianya.

Saat ia sakit ia berkata,' makasih ya sakit masih berkunjung di tubuhku, leganya Tuhan mengabulkan do'a ku, karena aku pernah meminta untuk di gugurkan dosa-dosa, dengan sakit ini semoga gugur pula lah segala kealpaan ku sebagai hamba nan dhoif.

Saat pekerjaan bertumpuk dan lelah menyergap ia berkata,' keren banget hidup hari ini masih bisa merasakan lelah, lagi-lagi Tuhan kabulkan do'aku, karena aku selalu berdoa untuk menjadi hamba yang selalu bersyukur. Dengan segala kepenatan yang ku rasa maka aku telah menunjukkan kesyukuran ku atas nikmat waktu, nikmat sehat, dan nikmat kesempatan hidup. Semoga berkah dah, katanya.