Sabtu, 20 Januari 2018

Membumikan Khidmat, Menebar Makna, Mengangkasakan Karya




Tetap berkarya walaupun pernah mengalami kegagalan, terus berkarya meskipun telah berhasil, jangan bosan berkarya mesti dalam keadaan lelah. Bahwa manusia telah ditakdirkan sebagai khalifah, bersama itu telah diinstalisasi sekian potensi akbar yang menjadi suport system untuk mengeksekusi amanahnya. Insan yang produktif, sangat mengkhawatirkan waktu yang berlalu tanpa bekas karya. Waktu yang ada bahkan tidak cukup baginya untuk menuntasakas segenap kerja yang ingin digelarnya.


Manusia itu makhluk potensial. Potensi-potensi menakjubkan itu dapat dimekarkan dengan ketekunan, kedisiplinan, kesungguhan, dan kekhusyukkan hati pada Ilahi Rabbi. Kita sebaiknya berupaya untuk selalu hadir dalam segenap ruang dan waktu yang tengah dihadangkan. Memang keberadaan tak selalu membawa kehadiran. Adanya diri dalam shalat misalnya, juga  berpotensi hanya sekedar menaruh keberadaan diri dihadapan Allah namun tak menghadirkan hati untuk-Nya. Hadirnya hati itu identik dengan presence dalam istilah meditasi, lebih ringan bahasanya dikatakan khusyuk untuk kontekstual shalat.

Dalam shalat esensinya setiap diri itu telah dilatih untuk dapat hadir dalam keberadaanya. Agar mereka dapat menyelesaikan segala sesuatu di luar shalat dengan penuh kesungguhan atas kehadirannya. Misalnya saat belajar di kelas, keberadaan memang tengah mengikuti alur pembelajaran tapi tak jarang terjadi mental (kognisi) diri tidak tertempah pada proses pembelajaran yang tengah disajikan karena hanyut pada teater pikiran yang lain. Melatih diri untuk hadir dalam keberadaan menjadi suatu kebaikan yang patut diharuskan bagi siapapun yang ingin layak kehidupannya di masa kini maupun yang mendatang.

Bila diri itu bisa berkompromi dengan kesadaran akan waktu, jelas lantunan istighfar tak pernah henti terlafadzkan. Sebab dari sekian banyaknya waktu yang berlalu, entah sudah seberapa perbekalan untuk menghadap-Nya. Detik yang melintas tak pernah lagi melintas dalam kembali, hanya sekali, lalu berlalu tanpa kembali. Betapa nikmat bila kemampuan diri akan menjadi insan produktif kian dicetuskan dan didawamkan dalam hari-hari. Mungkin salah satu variabel yang dapat menjadi support systemnya adalah ‘hadir dalam keberadaan’. Belajar untuk benar-benar menyelesaikan satu hal dengan kesungguhan untuk beranjak pada hal lain dengan kesungguhan lagi. 

Manusia telah ditetapkan keberadaannya di bumi, tapi bagi mukmin hatinya telah tinggal di syurga.”

Melatih diri untuk mendalami makna agar mampu menjadi yang bermakna. Belajar dengan kesungguhan untuk menebar manfaat sebagi insan terbaik di sisi-Nya, mengangkasa dengan karya sebagai rasa syukur seorang hamba atas nikmat kesempatan untuk memanfaatkan karunia-Nya menjadi sesuatu yang berguna.

Menulis




Tulisan yang berkarakter, bermutu, bertenaga, dan juga bermanfaat merupakan tulisan yang hadir dari  pancaran keimanan dan ruh pikiran yang benderang. Sehingga dapat menghanyutkan pikiran siapa pun yang membacanya dalam arus influensasi sang penulis. Apa yang tulis memberi efek nan membahana lagi dahsyat cetarnya bagi pembaca. Pengaruh dari tulisannya menembus pikiran-pikiran manusia melewati lintas ruang dan waktu. Siapa pun yang membaca tulisannya akan terlahirkan menjadi pribadi-pribadi baru, membentuk manusia-manusia penggerak kebaikan. Jelas untuk dapat membuat tulisan yang sedemikian bukanlah perkara yang mudah. Ada beberapa hal yang menjadi beberapa prasyarat ketika seseorang memulai untuk menulis.

 Tuntutan menulis sefrekuensi dengan kebutuhan mensuplai ilmu. Akumulasi dari energi ilmu  menuangkan penyegaran pada ide. Mencuarkan semacam ruh dalam kata-kata yang dijejalkan pada tulisan. Berbeda dengan seorang yang menulis hanya sekedar mengungkapkan perasaan atau menuangkan kisah-kisah harian. Memang ada poin hikmah yang dapat disiggahi, namun kedangkalan akan ilmu membuat poin hikmah yang akan tersampaikan pun kurang mengena. Pada akhirnya, hanya menjadi bacaan yang abalan tanpa bobot dan makna bagi pembaca. Maka pentinglah bagi seorang penulis untuk menjadikan budaya tholibul ilmy sebagai suatu kebutuhan dasar. Budaya tholibul ilmy  merupakan budaya baik yang diteladankan oleh para salafus solih. Meraup ilimu baik dengan membaca, mendengarkan kajian ilmu, atau membaca pengalaman kehidupan manusia-manusia yang silih berganti menghiasai kehidupan diri. Budaya itulah yang mengajarkan diri untuk menjadi lebih baik dan menunjukkan pada jalan pencerahan bagi akal dan hati. 

Salah seorang Salafus Sholih yang bergentayangan dalam kemah budaya tholibul ilmy adalah Imam Tsa’lab. Kisah yang menarik adalah tentang kematiannya pada suatu hari ketika beliau menikmati perjalanannya dengan membaca buku, perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki. Maka dalam keasyikannya dengan bacaannya tetiba datang seekor kuda dari belakang dan kemudian menabraknya. Lantas beliau pun jatuh ke parit dan dua hari kemudian meninggal dunia. Poin penting yang menggelitik motivasi dari kisah ini adalah keasyikan seorang ulama dengan ilmu membuatnya selalu dan senantiasa haus untuk membaca sekalipun dalam kondisi berlajan. MasyaAllah.

Kecanduan membaca mengindikasikan seseorang  mulai mencintai ilmu. Jika membaca belum menjadi candu maka jadikanlah sebagai paksaan. Harus berupaya membaca sekalipun dalam keadaan malas.

PENULIS YANG MAMPU MENGUBAH




Menjadi penulis merupakan pekerjaan bagi penggiat ide dan gagasan. Mereka yang antusias untuk menularkan ide dan gagasannya kepada yang lain. Hal ini dilakukan oleh seorang Karl Marx yang telah menginisisasi dunia dengan Das Capitalnya. Bloom dan Anderson telah berhasil mewarnai dunia pendidikan menjadi lebih kondusif dengan teori taxonomy-nya. Max Haveelar tulisan Edwar Douwes Dokker berhasil mempengaruhi sikap bangsa Belanda terhadap Indonesia.  Namun, kita patut takjub kepada para ulama salafus shalih yang tulisan-tulisannya menjadi karya fenomenal sepanjang masa. Jelasnya, mereka menulis bukan untuk ketenaran, tidak demi mendapatkan harta, apalagi pujian makhluk.  Tetapi mereka menulis dilatarbelakangi oleh hasrat yang hebat untuk menyampaikan ilmu yang bermanfaat bagi umat. Harapannya adalah tulisan itu dapat menjadikan umat Islam semakin tercerahkan dan terbimbing ke jalan yang lurus, jalan yang Allah ridhoi. Misalnya Harun Yahya yang melahirkan 200 karya, lalu karya-karyanya itu ditulis sebagai tanggapan terhadap penyimpangan moral yang terjadi di negaranya dan di dunia. Melalui buku-bukunya Harun yahya pun berhasil membuktikan secara empiris keteledoran teori Darwin. 

Tersebutlah pula lah diantara Ulama Penulis yang fantastis hingga kini, Imam Al-Bukhari, penulis kitab hadist paling shahih dan beliau salah satu muhadistin termasyhur dalam tinta sejarah.  Semua bermula dari mewujudkan harapan sang guru, Imam Ishhaq bin Ruwaihah “Andai saja di antara kalian ada yang mengumpulkan hadist-hadist Nabi yang shahih kemudian menulisnya dalam satu kitab….”. Ucapan gurunya menjadi inspirasi baginya untuk melecutkan karya terbaik untuk umat ini.   Gelora jiwanya kian terasah demi merealisasikan harapan sang guru. Karena Beliau menyadari harapan baik gurunya adalah kuntum pencerahan yang telah lama dinanti oleh umat Islam. Dengan kedekatan pada Allah, ikhtiar yang konsisten, ketekunan pagi, siang, dan malam akhirnya para ulama pun sepakat bahwa Kitab Shahih Bukhari Karya Imam Bukhari adalah kitab paling shalih setelah Al-Qur’an. MasyaAllah
 
Tulisan memilih pengaruh yang kuat terhadap perubahan di tataran sikap, budaya, bahkan tradisi bangsa dan peradaban.  Sebentuk tulisan memberi daya pengubah luar biasa yang menembus dimensi ruang dan waktu meskipun penulisnya telah menyatu dengan tanah. Kita menyaksiakn betapa karya-karya para ulama tersebut terus menggawangi umat Islam seutuh zaman. Ada semangat menulis yang patut diteladani dari ulama-ulama terdahulu, yakni dari  Ibnu jarir Ath-Thabary yang berjuang menulis 14 lembar karangan tiap harinya. Selanjutnya, Ibnu Syahim dengan sejumlah 330 karya tulis. Kemudian ada Ibnu Aqil yang menulis sebanyak 20 buku, karya terharumnya berjudul al-Funun yang terdiri atas 400 jilid. Tentunya tekad mereka bukan sekedar menjadi penulis, melainkan ada hal yang mesti ditulis dan  ada ilmu yang wajib disampaikan kepada sesama. 

            Ada pula kisah menarik dari Penulis kitab Fathul Bari (kitab syarah Shahih Bukhari). Ibnu Jahar al-Asqolani terinspirasi dari kalimat yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun “Sesungguhnya untuk menulis syarah dari kitab Shahih Bukhari menjadi hutang bagi seluruh ummat”. Maka Beliau memantaskan diri untuk menjadi salah seorang yang melunasi hutang dari umat ini. Betapa mulia tujuannya seorang Ulama besar, Ibnu Hajar al-Asqolani, ketika ia memulai menulis. Bukan untuk publikasi yang bersifat duniawi, melainkan untuk ganjaran yang lebih dahsyat di sisi Allah. Sehingga Abul Khair as-Sakhwi pun berkata, “Seandainya Ibnu Khaldun melihat apa yang telah ditulis oleh Ibnu hajar, tentu akan sejuk pandangan matanya, dan ia akan melihat bahwa hutang umat ini telah terbayar lunas.” MasyaAllah 

            Penulis yang mengubah selayaknya penulis yang memiiki nyali yang besar untuk membuat kehidupan lebih hidup. Mereka yang bersemangat untuk menjadi penyegar bagi dahaga kehidupan penghuni bumi.  Seperti Ibnu Main yang telah mewariskan karya tulisnya sebanyak 100 rak buku semasa hidupnya.  Atau seperti Imam Ibnu al-Jauzy yang tercatat oleh sejarah berhasil memproduksi tulisan sejumlah 40 halaman sehari, pada akhirnya selama 89 tahun hidupnya hadirlah 500 kitab.  Bisa juga seperti  Imam Syahid Hasan al-Banna yang menulis sebuah tanggapan atas buku Dr Thaha Husein (tokoh sekuler Mesir) ketika beliau sedang dalam perjalanan pulang naik kereta.  Ada juga yang fantastis yakni,  Imam Muhammad Abduh yang mampu menulis buku “Ilmu Menurut Islam dan Kristen” hanya dalam sehari, sebagai tanggapan terhadap tulisan seorang Kristen yang menyebutkan bahwa Islam tidak menghargai ilmu pengetahuan. Serupa pula dengan Prof. Mustafa al-A’zami menulis sejumlah buku yang meruntuhkan pemikiran sesat para orientalis. Bahkan dengan satu buku saja, beliau mampu meruntuhkan teori Schacht dan Goldziher yang sebelumnya mampu bertahan bertahun-tahun lamanya dan dianggap sebagai teori ilmiah.  Mereka menulis karena ada kegelisahan terhadap problematika yang dihadapi umat ini, lahir dari kegerahannya terhadap realitas umat Islam yang semakin jauh dari cahaya al-Qur’an dan al-Hadist. Sehingga karya-karya besar mereka memiliki ruh bagi siapa pun yang membacanya. 

Para Ilmuan Muslim hendaknya menulis bukan hanya sekedar menyampaikan fakta, melaikan untuk menyegerakan kebenaran untuk diketahui oleh manusia.  Suatu temuan yang terkadang tak dapat disampai secara orasi, melainkan melalui data dan hasil riset.  Idealisme “Khairunnas anfa’uhum linnas” mesti menjadi motor penggerak  untuk tidak henti berkarya siang dan malam. Cita-cita besar kita hanya karena Allah dan demi kerinduan untuk bertemu dengan-Nya di syurga tertinggi kelak.  Sehingga kita mampu menjadi penulis yang mengubah. Mengubah umat menjadi lebih berTuhan, mengubah peradaban menjadi lebih cerah, mengubah dunia menjadi lebih baik.

Karya



Karya menjadi bukti kontribusi diri bagi negri dan kemuliaan agama. Segera gesakan mimpi itu dalam kemah cita-cita yang teramat hebat untuk diupayakan. Jika seorang Theodore Hertzl  dalam mimpi busuk dapat ia rekam dalam cita-cita agungnya, yakni 50 tahun sejak ia mendeklarasaikan mimpi itu maka Israel pada tahun 1948 berdiri secara resmi dan penguasaan Yahudi terhadap Palestina menjadi realita atas izin Allah. Karya kejahatan yang dihembuskan oleh semangat juang, totalitas dan kedisiplinan untuk menuju keinginan terlaknat itu telah membuat seorang Theodore Hertzl  lega dan tersenyum pulas.  Lantas sebagai seorang Muslim yang Allah adalah penolongnya dan sumber energi paling massif yang mampu menguatkannya, mesti memiliki mimpi yang lebih agung, lebih besar, lebih fantastis untuk kemuliaan Agama ini. Sebagai Muslim yang memiliki amanah untuk mengelola bumi ini menjadi bagian dari semesta yang berkesimbangan dan harmonis, maka tidak ada waktu rehat selama di dunia ini. Diri itu tidak boleh hanya sebagai penonton tapi mesti menjadi aktor utama yang memobilisasi penegakan kebenaran dan pemberangus kebatilan. Memang bukan jalan yang mudah untuk ditempuh, tapi jalan ini menjanjikan kehidupan yang lebih layak di yaumul akhir. Segenap gangguan adalah pemandangan indah yang harus dinikmati, setiap aral adalah teman terhebat untuk menguatkan jiwa dan menumbuhkan kebijaksanaan diri. 

Jadikan hadirnya diri sebagai makna bagi kehidupan orang lain, mampu memotivasi dan memberikan inspirasi bagi penduduk semesta. Mulai lah dari hal paling sederhana, langkah kecil yang terus menerus digontaikan pada jalan-jalan kebaikan dan perbaikan. Dengan harapan baik dan demi keridhoan Allah bahwa satu masa kelak diri itu menjadi bagian dari catatan sejarah yang diwariskan, termasuk pada kisah-kisah hebat yang dapat mengubah dan menggubah suatu peradaban dunia Islam yang lebih indah dan suci. 

Sepucuk tekad yang terus bertumbuhan dalam bara semangat akan menelan rasa letih dan payah dalam perjuangan mencapai cita-cita yang baik itu. Untuk itu, lakukanlah urusan-urusan besar, pikirkanlah hal-hal besar, dan ukirlah  karya besar yang bermakna. Meski lelah, panat, dan dalam keadaan yang serba terbatas. Meski memanfaatkan peluang waktu istirahat yang sejenak, teruslah berjalan dalam langkah pencapaian cita-cita baik itu. Melahirkan karya yang dimahkotai oleh gesakan cita yang baik dan cahaya iman yang terang benderang.  Jika bukan diri kita, siapa lagi? Jika bukan sekrang, kapan lagi?. Segera gesakan cita baik itu, wujudkan karya terbaik untuk persembahan bangsa, Negara, dan agama.

Memahami Makna




Bukan sedikit dari sekian makna yang tersembunyi dari kata. Terkadang asosiasi sederetan kata itu menghadirkan  pemehaman baru bagi yang menyelaminya. Walau adakalanya, kata itu tidak dapat menjamin ekspresi dari perasaan yang sesungguhnya. Berapa banyak orang yang  berkicau perihal kebahagiaannya melalui social media, padahal realita yang dialami tidak sseindah apa yang dimunculkan ke dunia maya. Sehingga kita menjadi tahu, bahwa untuk memahami seseorang bukan dari sekedar yang diucapkannya, disampaikannya melalui kata-kata. Butuh pendalaman makna dan pendekatan yang intensif agar lebih kenal perihal kejadian yang dikecup oleh hatinya, oleh rasanya, oleh jiwanya, pada dirinya. 

Memang tidak baik menjastifikasi seseorang dari sekedar melihat atau selintas membaca keadaan yang ada pada dirinya. Kita bisa lebih bijaksana untuk bertolerasni jika kita telah memahami, dan dari sekian kerumitan pun terlerai menjadi sederhana dari sebuah pemahaman yang baik pada diri seseorang. Seperti halnya, pernah didapati seseorang yang telat dating dalam kegiatan rapat nan urgen di sebuah organisasi. Jelas sangat kesal kan? Bila kehadirannya yang ditunggu-tunggu malah menghancurkan sekian agenda kita yang lain sebab molornya rapat. Namun, jika diri itu bersedia membaca keadaan seseorang jauh dari apa yang terlihat mungkin dapat meredamkan didihan emosi itu. Ada sekian prasangka positif yang sebaiknya ditanamkan untuk membantu hati selalu dalam keadaan tenang. Mengapa tidak memilih untuk tenang? Kan? Bukankah itu lebih membantu diri mendapatan kebahagiaan? Belajar berbaik sangka merupakan latihan mengkondisikan hati untuk konsistem dalam kebaikan. Sehingga, sebagaimanapun ombak yang menerjang, kita dapat membalikkannya fungsinya menjadi sumber energy yang bermanfaat untuk menguatkan diri menjalani kehidupan kedepan. Begitulah efek dahsyat dari memaknai, akan menunbuhkan kebijaksanaan hati, akan menanamkan prasangka baik, akan memudahkan pikiran untuk mendapatkan solusi, akan lebih menentramkan hati.

Memaafkan

"Sebagaimana harapnya diri untuk dimaafkan, maka seluas itu pulalah hati untuk mudah memaafkan"

Setiap orang berpotensi untuk berbuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang segera meminta maaf. Karena itu, setiap diri dituntut pula untuk mudah dalam memaafkan kesalahan orang lain sebagaimana ia pun pernah berbuat salah.

“Maukah aku ceritakan kepadamu mengenai sesuatu yang membuat Allah memualiakan bangunan dan meninggikan derajatmu? Para sahabat menjawab; tentu. Rasul pun bersabda; Kamu harus bersikap sabar kepada orang yang membencimu, kemudian memaafkan orang yang berbuat dzalim kepadamu, memberi kepada orang yang memusuhimu dan juga menghubungi orang yang telah memutuskan silaturahmi denganmu.”(HR. Thabrani)

Memang memaafkan bukanlah perkara sepele. Namun, bagi mukmin yang hatinya  telah tertaut di syurga maka memaafkan adalah keharusan.

"Pintu-pintu surga akan dibukakan pada hari Senin dan Kamis, lalu Allah akan memberi ampunan kepada siapapun yang tidak menyekutukan-Nya kecuali seorang laki-laki yang berpisah dengan saudaranya. Maka Allah berkata: tangguhkanlah kedua orang ini hingga mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini hingga ia berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini hingga mereka berdamai.” (HR. Muslim)
.
.
Terkadang, kita tidak pernah dapat menguatkan kesabaran jika kita tidak pernah diuji. Sebagaimana saat Allah menguji diri dengan menghadirkan seseorang yang dengan ucapan, sikap dan tindakannya melukai hati dan menyoalkan emosi. Maka disaat itulah, kredibilitas keimanan seorang hamba di asessmen oleh-Nya. Menjadi mulia lah diri itu atas kebijaksanaan hatinya untuk memaafkan walau bisa-bisa saja saat itu untuk meluapkan emosi.Tapi keridhoan Allah dan siluet syurga telah meredam emosinya.

Indahnya mukmin itu.

Jumat, 19 Januari 2018

Hari ini

Dear nona
Bagaimana hari ini? ^_^

Tentu selalu ada cerita tentang kesabaran dalam hari yang ditapaki itu. Sebab kesabaran adalah pokok keutamaan untuk menjadi yang beruntung. Maka dari itu, Nona. Bila ada satu hal yang membuat amarah mu mendidih, peluk erat jiwamu dengan ucapan "Bahwa balasan di syurga itu lebih menakjubkan maka bersabarlah sejenak".