Minggu, 20 Agustus 2017

Ketika Harus Menunggu



Kamu sedang menunggu, kita pun menunggu. Kita sama-sama sedang menungu, tapi tidak untuk tunggu-tungguan kan. Kita tetap pada posisi menunggu masing-masing.  Menunggu akan tak terasa jika diisi oleh hal yang menyenangkan lagi bermanfaat. Sebab setelah menunggu waktu kita habis di dunia kita akan kembali menunggu di alam barzakh.

Apa yang sekiranya kita rasakan jika kita dihadapkan pada masa menunggu puluhan, ratusan, bahkan mungkin jutaan tahun. Betah ? Begitulah kita akan menunggu. Kita akan menunggu di alam barzakh bisa jadi sangat lama sekali. hingga terompet pembinasaan dipekikkan. Pernah membayangkan momen penantian itu ?. Mudah-mudahan kita tidak terlewat jenuh melauinya ya. Pilihan kita esok hanya dua. Menyakitkan atau menyenangkan. Karena alam kubur tak menyediakan ruang tunggu yang steril dari siksa dan nikmat. Hanya ada dua ruang. Yakni ruang yang penuh dengan siksa dan ruang yang bergelimang dengan nikmat. Lantas semua pilihan bergantung bagaimana perilkita kita saat hidup.

“Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.“
(Q.S. az-Zalzalah:6-8)

Ketika kita mengisi hidup dengan taburan benih kebaikan, kelak benih itu akan tumbuh menjadi teman terbaik yang menentramkan hingga dimensi waktu dimusnahkan dan waktu menunggu dihabiskan. Benih kebaikan yang kita semai selama hidup nantinya menjelma dalam wujud taman-taman bunga yang harumnya semerbak, aliran sungai yang menghilangkan dahaga, tak ada lagi terik tak ada lagi kegelisahan, semua sebentang mata yang terlihat hanyalah keindahan. Aduhai….

Mari kita lebih bersabar dengan sandiwara kehidupan sementara ini. Kepulangan kita adalah titik dimana Sang Maha Sutradara dari hidup ini berkata ‘Cut !’. itulah pertanda waktu pementasan kita sudah selesai. Kita pun 'Pulang' dan menunggu lagi.

Ketika kita sadar bahwa dunia adalah ajang sandiwara, maka berperanlah sebaik mungkin. Patuhilah scenario Allah yang sempurna. Beraktinglah sesuai petunjuk al-Qur’an dan Sunah Rasul. Apapun peran yang telah kita pilih, semoga Allah tetap menjadi yang pertama. Berperanlah secara elegan. Sungguh pementasan kita di dunia ini pasti tidak akan lama.

“….. Allah bertanya: "Berapa lama kamu tinggal di sini?" Ia menjawab: ‘Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari. … “
(Q.S. al-Baqarah:259)

Menulis



“Hikmah ada dimana-mana, sedangkan pena adalah pengikatnya”

Nasihat dan kata-kata kita bernilai tinggi di hadapan Allah bukan ketika banyak yang berdecak kagum dan memujinya. Tapi ketika kalimat-kalimat kita itu mampu membantu orang lain untuk menemukan solusi hidupnya atau menjadikannya lebih baik setelah membaca apa yang kita tulis. Satu syarat yang mesti ditunaikan yakni jagalah niat menulis ; lillah. Bukan selalu karena kita sudah merasa baik lalu kita menulis. Tapi karena kita butuh dikuatkan pada kebaikan maka kita menulis hal yang menurut kita baik. 

Mengapa Napoleon Bonaparte mengatakan bahwa dirinya lebih merasa takut terhadap satu orang penulis ketimbang seribu orang tentara.. Mungkin kalimat KH.M.Isa Anshary lah jawabannya. “Revolusi-revolusi besar dunia selalu didahului oleh jejak pena seorang pengarang. Pena pengarang mencetus suatu ide dan cita, menjadi bahan pemikiran-pemikiran pedoman berjuang”. Memang kita menulis bukan hanya untuk menerbit karya, tapi lebih untuk menerbitkan cita dan harapan bagi generasi selanjutnya. Semoga...

Orang berilmu itu derajatnya lebih tinggi, karena tanggung jawab yang dipikulnya lebih berat. Teruslah belajar, teruslah mencari kebenaran, dan teruslah berusaha untuk mengamal ilmu yang kita tahu. Setidaknya kita dapat mengamalkannya dengan menulis sembari berupaya melakukannya sendiri. Tetaplah menulis. kita akan menjadi lebih tenang setelah memuntahkan segala isi kepala menjadi sebuah tulisan. Tulis saja apa yang dirasa. Menulislah dengan hati dan pertajamlah dengan pikiran.

Terkadang kita harus punya jiwa yang merasa diri kita adalah makhluk yang dikirim Tuhan untuk menjadi perantara kemashlahatan bagi lebih banyak insan. Menulis pun mampu membantu kita untuk memainkan peran sebagai sebergunanya insan. Tulisan kita sebentuk ledakan dalam kepala atau juga letupan dalam hati kecil. Jangan dipendam. Lewat menulis, kita membuat diri bebas berbicara tanpa harus berkata. Bebas mengutarakan tanpa butuh didengar. Puas melampiaskan tanpa harus mengacungkan tangan.

Adakalanya menulis ini meringankan kepenatan dalam otak, dengan menumpahkannya akan memberi ruang yang leluasa pada pikiran. Bisa jadi ada suatu rasa yang sulit untuk di defenisikan dalam ucapan, maka kata-kata setidaknya menjadi penghubung sementara sampai kelu lidah itu hilang. Begitulah..

Adakalanya menulis ini membuat daya ingat lebih baik, sebab apa yang telah dibaca dilukis dalam kanfas tulisan, sehngga gambaran dari apa yang telah dibaca dapat termaknai citranya. Mungkin juga bisa dari ucapan-ucapan bijak yang terlontar oleh siapa, maka untuk mengabadikannya, yah moga-moga bermanfaat, direkam dalam memori dan diputar ulang dalam tulisan. Begitulah.

Menulislah dengan hati yang dibawa perahu perasaan dan pertajam dengan pikiran yang cakrawalanya sering-sering terbang. InsyaAllah memudahkan dalam merangkai kebermaknaan kalimat demi kalimat.

Sesungguhnya, ide dan renungan adalah jalan terbukanya akal. Jika kita meninggalkan dan mengacuhkan ide-ide tersebut, maka kita akan rugi. Bahkan kita akan menyesal di hari yang tidak ada lagi bermanfaat penyesalan maupun kesedihan. Berapa banyak buku yang kita baca, nasihat yang kita dengar ,serta hikmah kehidupan yang terlewatkan begitu saja. Ia terabaikan karena kesibukan. Larut dalam kelupaan. Padahal betapa baiknya jika kita menyediakan sedikit waktu untuk menulisnya kembali. Untuk kebaikan kita sendiri dan sebagai fungsi kemanfaatan kita bagi sesama.

Sesungguhnya ide-ide itu seperti telur-telur yang berada dalam sebuah plastik. Jika tidak segera mengeluarkannya, maka ia akan saling berbenturan dan pecah. Ikatlah kata, makna, dan ilmu dengan mencatat. Kuatkan memori di alam bawah sadar dengan menulis. Salah satu amal jariyah terbaik adalah menulis. Meski penulisnya telah mati, apabila tulisan itu terus dibaca, ia akan terus mengalirkan pahala. InsyaAllah.

Menjadi Luar Biasa



Orang kerdil selalu merasa sedih dengan keinginan yang belum dimilki, sementara orang besar selalu mendayagunakan apa yang sudah dimiliki. Kita yang semacam apa ? hanya kitalah yang patut menilai diri sendiri. Kita mesti menyadari bahwa manusia memiliki potensi yang jauh lebih dahsyat ketimbang malaikat. Itulah mengapa saat baru dicipta, Allah meminta malaikat bersujud kepada Adam.  Maka  tidak baiklah jika kita meremehkan Mahakarya Tuhan dengan plihan hidup kita yang kerdil. Engganlah melecehkan Mahakarya Tuhan dengan aktivitas kita yang tak berarti. Bukankah kezhaliman yang  teramat dahsyat jika kita  menjadikan Mahakarya yang istimewa ini hanya numpang lewat dalam sejarah. Lahir, hidup, lalu mati, tanpa meninggalkan warisan berharga bagi generasi selanjutnya.
Jika kita harus kecewa dan menggerutu terhadap kekurangan pada diri kita, maka datanglah pada ‘Arsitek’ yang telah merancang dan menciptakan kita. Bisa ? Yakinlah tidak ada satu pun manusia di muka bumi ini yang hanya diberi kelebihan tanpa dikaruniai kekurangan, begitupun sebaliknya. tidak ada satu pun manusia yang diberi kekurangan tanpa dihadiahkan kelebihan pada dirinya.  Tetaplah berbaik sangka. Allah memberikan ketidaksempurnaan pada diri seseorang pasti ada rencana besar untuk menjadikan hal itu sebagai alasan untuk memuliakannya di masa mendatang.
“…. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(Q.S.al-Baqarah:216)
Kita hanya satu-satunya yang ada di muka bumi. Kita adalah Mahakarya Terindah. Masterpiece yang tiada duanya. Sebab tak ada satu pun yang lahir nya, pengalaman hidupnya, serta matinya, sama persis dengan kita. Kita adalah satu dari tiga ratus miliaran kemungkinan yang ditakdirkan untuk ada. Dengan kata lain, tiga ratus ribu miliar ‘saudara kandung’ kita telah kalah untuk lahir ke dunia ini. Lalu kitalah yang terpilih untuk menjadi wakil Tuhan dimuka bumi. KITA MEMANG LUAR BIASA.

Mari Upayakan



Untuk menjadi orang besar, kita  tidak harus menjadi kaya, terkenal atau dikagumi banyak orang. Jika kita bersedia mengajarkan al-Qur’an  di sebuah surau kecil di desa terpencil banget, maka kita telah menjadi orang besar. Sebab orang besar adalah orang yang mampu bermanfaat bagi orang lain kan ?. Penghargaan dan penghormatan tertinggi adalah keridhoan Allah terhadap segala perbuatan dan amal kebaikan yang kita lakukan dengan tulus. Kebesaran tidak selamanya menjadi sumber kemuliaan dan kehormatan bagi seseorang. Terkadang justru menjadi sumber kesengsaraan dan ketersiksaan hidup bila disalahgunakan. Bila dimanfaatkan hanya untuk memenuhi hasrat duniawi.
Kita yang sering mendengarkan atau langsung membaca kisah Seperti Fir’aun. Betapa tak tertandingi kebesaran Fir’aun. Seluruh penduduk tunduk padanya bahkan ia sekaligus mentahtakan diri sebagai tuhan. Na’udzubillah…! Karena merasa begitu ia merasa begitu besar, sebuah perasaan yang bereferensi pada kebuntuan akal, kebutaan penglihatan, dan tertutupnya mata hati.  Kebesaran yang menghinakan diri sendiri. Fir’aun berbuat untuk kebesaran dirinya bukan kebesaran Tuhan dan itulah yang menjadikan kecil.
Mari berkelana pada telaga bening, Kisah Nabi Yusuf. Ayat keempat dalam surah Yusuf berkisah tentang mimpi Nabi Yusuf a.s. Beliau bercerita pada ayahnya perihal sebuah mimpi yang dialaminya. Mimpi yang membawa pesan kepadanya bahwa kelak dia akan menjadi “orang besar”.
Pernah tahu kan seberapa uniknya kisah perjalanan Nabi Yusuf. Seseorang yang mesti melalui jauhnya tempuhan dengan kesulitan dan aral-aral keji sepajang perjalanan. Bahkan pada usia Belia pun sudah menerima cobaan yang menggetirkan nurani. Dengan kedengkian saudara-saudaranya Beliau a.s pun dicampakkan ke dalam sebuah sumur. Tau rasanya ? sendiri di dalam lubang kelam, tanpa minum-makan, dipunggungi terik mentari siang sekaligus di terjang tusukan dinginnya suhu kala malam, tak berbaju. Sungguh pilu.
Perjalanan cobaan terus berlanjut sampai Beliau a.s ditemukan kafilah dagang dan dijual sebagai budak. Diperlakukan semena-mena. Layaknya seorang budak. Diperintah ini dan itu, dilecehkan, bisa jadi jika tuannya gak mood, yah kena sampah amarah sekenanya saja. Aduuuh… kalau kita diposisi ini, sudah mulaikah kita mempertanyakan keadilan Tuhan ?  Mungkin iya,  tapi Nabi Yusuf tidak !. Suatu keyakinan bahwa  Allah adalah Tuhan Yang Maha Adil. Maka dengan tetap sabar dan yakin Allah selalu menyediakan hal-hal yang baik dibalik setia ujian, maka Nabi Yusuf menaiki tangga-tangga ujiannya hingga puncak kemuliaan di sisi Allah.  Hingga Nabi Yusuf menjadi orang besar. Benar-benar besar sebab kebesarannya lahir dari  kesabaran-kesabaran kecil yang berkelanjutan dan terus Beliau besarkan. Tantangan dan kesulitan tidak selamanya buruk. Ia melatih kita untuk menjadi kuat dan tangguh. Ia mengasah pikiran kita untuk selalu mencari solusi dan cara untuk mengatasi nya. Nabi Yusuf a.s yang telah membuktikannya, Beliau a.s adalah orang yang setia menjadikan Allah selalu yang pertama.
Allah tidak pernah pelit untuk membalas kebaikan kecil yang dilakukan hamba-Nya yang  ikhlas. Meski ganjarannya kecil, tidak ada pahala sekecil apa pun di hari kiamat nanti melainkan ia akan menjadi tempat bergantung harapan setiap hamba untuk mengantarkannya ke surga.
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gkitakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.”
 (Q.S an-Nisa:40)
Kita tentu tidak akan mengharapkan menjadi orang besar yang kecil di sisi Allah kan ?. Mari kita ukir kebaikan-kebaikan kecil untuk diri kita. Sebab apapun yang kita lakukan meski secara maknawi berorientasi pada kepentingan orang lain, namun pada hakikatnya adalah kita berbuat untuk diri kita sendiri. Orang yang tidak bisa menjalani hidup dalam kebahagiaan dan kesuksesan adalah mereka yang tidak bisa memanfaatkan kesempurnaan dirinya. Seseorang yang pikirannya dipenuhi banyak gagasan dan rencana cerdas tetapi tidak pernah mencoba merealisasikannya menjadi sebuah karya nyata, maka dia adalah orang yang tidak berguna.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.”
 (Q.S.Fushshilat:46).
 Berupayalah untuk pulang ke negri keabadian dengan sebaik-baik nama, mari kita bawa kebesaran nama kita hingga ke syurga
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
 (Q.S.al-Qasas:77)
Mari upayakan…!

Orang-Orang yang Bahagia



Orang-orang yang bahagia bukanlah yang tak pernah sedih, tak pernah kecewa, tak pernah gundah gulana. Manusia kan bukan malaikat. Semua itu fitrah untuk dikenyam. Namun ada sosok yang ketika sedih, maka kesedihan itu tidak akan berkepanjangan dan melarutnya dalam duka tak bertepi. Saat kecewa, kekecewaannya tak membuatnya putus asa dari rahmat Allah. Segala gejolak diredamnya dalam satu kalimat penyangga, "Wahai Masalah Besar Kita Memiliki Allah Yang Maha Besar !". Saat segala ujian begitu menghimpit ia bisikkan keluhan pada bumi dalam senandung sujud yang panjang agar bumi menyampaikan langsung pada langit perihal luka yang tengah tersayat di kehidupannya.  Lagu kesabaran terus ia dendangkan dalam langkah gontai yang letih menapaki panggung sandiwara,dunia. Sebab ia sadar manusia satu menjadi ujian bagi yang lain. Sehingga hatinya pun lega. Sebab masih santunnya Allah mengirimkan seseorang yang dengannya ia mendapatkan kemuliaan atas sabar membersamainya. Indahnya....
 Sosok itu adalah seutuh raga dan jiwanya tersemai indah benih-benih keimanan. Hampir mutlak hidupnya adalah senyuman. Karena tak pernah dihinggapi penyesalan pada ketetapan Allah. Ia memaklumi bahwa dalam kalam Ilahi disampaikan. Segala takdir Allah tercipta dari sifat-Nya yang Maha Lembut, maka pasti tidak akan melukai hamba-Nya.
Untuk menjadi yang sekali, berarti, lalu mati. Bukan lagi apa yang difikirkan orang terhadap diri, namun apa yang telah kita beri untuk Ilahi dan apa penilaian-Nya kepada diri ini. Sebab bahagia letaknya di hati, tidak ada parameter materi apapun yang dapat mengukur kebahagiaan seseorang kecuali ia sendiri. Akhirnya sekian kali kita mengelilingi matahari, dan semakin pekat kita kenali. Hanya pada kedekatan pada Allah lah kebahagian itu terhimpun.
 Hanya hati yang beninglah mampu menerjemahkan segala ketetapan Allah. Bahwasanya apapun yang ditakdirkan bagi seseorang merupakan kanfas terbaik lukisan dikehidupannya. Tapi kebanyakan manusia mengingkari nikmat Allah. Padahal sejatinya kita dapat terus bahagia jika kita terus bersyukur.