Selasa, 18 Agustus 2015

Ayah, Selamat Hari yang Katanya 'merdeka'

Harapan pada hari yang katanya 'merdeka'.
Semoga memang begitu.
Terbentang pemandangan indah...
Lukisan yang bersih dari warna anak-anak pengemis, dari coretan para koruptor, dari pesona hiruk pikuk aksi ganas membara, dari siluet wajah busung lapar, dari titik-titik perbudakan, dari garis antrian beras miskin, dari coreng pertikaian antar suku, dari grafik angka kriminalitas dan kenakalan remaja .

Harapan pada hari yang katanya 'merdeka'.
Semoga memang begitu.
Terbentang pesonanya ibu pertiwi ini...
Dalam lukisan itu semoga pulau-pulaunya masih utuh dan tidak ada lagi yang hilang. Sebab telah berpuluh tahun lalu darah pejuang tangguh negri mengkanfas pulau-pulau pembebasannya. Ceceran darah pejuang seakan kian menyeruakkan indahnya alam Indonesia.

Aku.....
Berharap tak banyak di hari ini. sebab Hari perdana memperingati yang katanya hari 'merdeka' tanpa Ayah.
Bagi anak yang lain mungkin biasa. Tapi aku tidak.
Kami memiliki ritual rutin dalam mempersiapkan 17 Agustus, bukan untuk makan kerupuk, bukan untuk lompat karung, bukan untuk panjat pinang, bukan ....bukan untuk hal sepele itu. Karena para Pahlawan kita memperjuangkan Indonesia bukan dengan hura-hura dan banyak bersenda gurau. Tapi dengan selogan "Merdeka atau Mati". Taruhan mereka nyawa bukan hadiah-hadiah harta semata.

Izinkan aku menguraikan ritual itu dalam sebisanya aku bercerita.
Almarhum kakek ku hidup di zaman pergulatan kebengisan belanda.
Ayah terkadang, saat malam hari mengisahkan kehidupan kakek di zaman belanda. Aku lebih banyak diam jika ayah bercerita. Sudah tabiat Ayah bahwa membawakan kisah-kisah dengan mimik dan intonasi yang seolah kita terseret dalam dunia imijinasi cerita itu. Hal yang kutangkap bahwa hidup di zaman yang katanya 'merdeka' kita mesti bersyukur. Para pemuda yang tak bersyukur itu dapat dilihat kuantitasnya di negri ini kini. Hal ini, tercitra dari data-data kenakalan remaja. Ah aku tak perlu kupas dalam cerita ini lah. Karena bukan inti cerita.

Ayah dulunya pemuda yang berbeda. Aku dapat mengatakan Ayah dulunya pemuda yang bersyukur. Buktinya terakhir 17 Agustus 2014 kemarin Ayah masih menggelar karyanya. Walau kulit tlah keriput di sedot waktu, walau telah legam di panggang sang mentari. Walau telah rapuh tulang belulang Digerogoti kerasnya perjalanan hidup , tapi Ayah tak henti mempersembahkan yang terbaik untuk memperingati jasa para pahlawan. Oh ya ? Kedengarannya hiperbol bingitz...
Aku suka bilangnya begitu. Ayah memperingati jasa pejuang negri ini dengan mempersembahkan karyanya. Karya yang dikontruksi dari besi-besi perjuangan seminggu begadang. Yakni membuat mobil hias.
Ayah selalu membuat mobil hias untuk pawai 17 Agus ditambah mendesain stand pameran. Tahun ini tentu bukan hanya aku yang kehilangan Ayah bukan ? Mereka juga kehilangan karya ayah.
Inilah ritualnya.

Jika dulu para pahlawan bergerilya. Kami pun seolah-olah sekeluarga bergerilya dengan ritual membuat mobil hias sampai pagi. Mobil hias untuk peringatan 17 Agustus. Biasanya aku hanya sanggup dekor sampai jam 01.00 wib dan ayah tak tidur sepicing pun. beberapa bulan sebelumnya Ayah sering diskusi dengan anak-anak nya dulu tentang desain mobil yang akan di rancang (Ah rindu...!). Tahu kan betapa ngantuk nya kalau pagi jika semalaman gak tidur. Mungkin ayah mengantuk. Entah kenapa tetap saja Ayah ke lokasi pawai untuk memastikan karya nya dalam kondisi baik dan aman sampai selesai acara. Subhanallah... Ayah tu mah gitu orangnya. Hehehe. Unlimited deh kobar semangatnya. Alhamdulillah karya Ayah selalu menang. Pernah juara 1 bahkan. "Cieeee Ayah, Selamat ya juara. Keren Ayah ini lah hah",kata ku dulu. Ayah Jawab, "Nah kalau anak Ayah bisa apa ?"(gigit jari waktu itu, sambil cengengesan ).

Jika aku tanya untuk apalah Yah mati-matian buat mobil hias toh yang dapat nama kan provinsi atau kabupaten. Nama Ayah tidak pernah disebut kan ?. Tahu Ayah jawab apa ?. "Nak, Ayah tidak pernah berkarya untuk menang, semua dilakukan hanya untuk menyalurkan bakat. Jika ada orang yang senang dengan kebaikan yang kita lakukan mengapa mesti berhenti berbuat. Orang ikhlas itu kan tidak perlu mengharap namanya disebut-sebut. Namun orang akan merasa kehilangan saat Ia telah tiada". (Aduh jadi mewek neh nulis nasihat Ayah, lap ingus dulu). Ayah mah gitu orang nya. Sekarang apa yang Ayah ucapkan terbukti. Mereka kehilangan karya Ayah, dan mereka akan kenal nama Ayah setelah Ayah beranjak ke 'dimensi' lain. Sebab tak ada lagi bertengger karya secetar yang Ayah buat. Dan kami disini tak lagi melakukan ritual perjuang itu.

Menjelang subuh hari yang katanya 'merdeka' aku sendiri.
Jauh dari tumpah ruah canda tawa merayakan kepenatan berjuang tuk sambut raja siang datang.
Sebab hari ini, katanya hari 'merdeka'.
Semoga memang begitu adanya.

Kata Ayah, "Nak, untuk kita merdeka itu sebentuk perjuangan membebaskan diri dari kemalasan lalu beranjak untuk lebih menghargai hidup".
Nasihat yang hidup lantas sejati bersenandung dalam jiwa anak ayah.
Ayah disana tengah berjuang apa ?
Kami disini....
Berjuang tak henti mendoakan agar Ayah 'disana' disayang Allah selalu.

Selamat hari yang katanya 'merdeka' Ayah.....!

*salam rindu sepenuh jagad dari anak Ayah

©ningsi_afj

#bait_bait_rindu_anak_ayah

17 Agustus 2015 @home

Tidak ada komentar:

Posting Komentar