Minggu, 17 April 2016

Apa Kita Pernah Tahu ?



Apa kita pernah tahu, pembicaraan langit ketika melihat kita tengah berkelahi dengan perasaan. Kita yang terampil menciptakan estimasi, membayangkan hal  ke depan tentang ini dan itu. Padahal itu sangat membuat kita jerih dan tertatih perih. Betapa bermain dengan angan itu adalah sesuatu yang meresahkan. Memang pada apa yang tak tampak oleh mata, kita membutuhkan iman untuk merawatnya.
Apa kita pernah tahu, bisik-bisik angin saat kita menghelakan kisah. Menerangkan pada waktu dan menyimpannya sebagai masa lalu. Entah kisah itu menjadi penyesalan atau kesyukuran. Lantas yang setia akan senantiasa dalam do’a-nya untuk menemukan jawaban dari pertanyaan misteri.
Apa kita pernah tahu, langit malam yang gusar melihat mata kita yang enggan terlelap. Masih setia mentafakuri keinginan dan mengeja satu per satu perasaan yang dibaca hati. Menerka apa yang dikatakan saat diri telah dilempar ke masa depan tentang masa kini. Apakah akan mengutarakan deskripsi  kebahagiaan atau kenestapaan. Tiada frasa  yang kebetulan melainkan semua telah  ditakdirkan-Nya.
Apa kita pernah tahu , ada seseorang yang selalu tertunduk ketika berpapasan. Bukan karena angkuh atau enggan menyapa, ia hanya berusaha menyembunyikan perasaannya yang entah, dan terlalu malu untuk bertukar sapa. Mungkin enggan untuk memantik harap.
Kita harus tahu bahwa  apa pun bentuk ingin  saat ini, maka perlu waktu dalam prosesnya. Jangan menyerah hanya karena tidak dapat  melihat hasil yang diinginkan dalam waktu instan. Kita perlu bergantung pada Yang Maha Kuasa. Sabar itu biasanya tak menyenangkan diawal tapi manis rasanya diakhir.

Bagaimana Jika Aku Jatuh Hati



Selama ini aku mendengar kamu banyak bercerita tentang senja. Kamu yang mengisahkan senja tentang satu masa dimana pergantian siang menjadi malam. Pergantian cerah menjadi mendung. Pergantian panas menjadi dingin. Pergantian terang menjadi temaram. Pergantian lelah menjadi istirahat. Pergantian dua warna menjadi satu, kuning dan merah menjadi jingga. Mungkin juga pergantian rindu menjadi padu. 

                Kamu yang malu-malu untuk menciptakan arti yang sesungguhnya. Tapi aku tahu, kamu tidak dapat menuangkan keinginanmu sebab kamu seorang wanita.

                Bagaimana jika kamu telah membuat aku jatuh hati. Membuat aku tertarik memandang langit di ufuk timur. Menjadi terpesona pada jingganya yang bertabur. Lalu aku berdo’a diantara aroma embun. Semoga merah itu aku dan kamu bersedia menjadi kuningnya. Kemudian kita menjadi jingga di langit senja. Seperti prosa-prosa yang ku baca darimu. 

                Bagaimana jika aku memiliki perasaaan yang sama dengan perasaanmu kepada orang lain, kepada orang yang kamu harapkan. Sebenarnya aku ingin, kamu tidak berharap terlalu tinggi, karena di atas awan sana tidak ada pegangan. Aku mengharapkan kamu yang tengah mengharapkan orang lain. Sulit, kan?. Banyak orang yang mengalami seperti ini. 

Aku pun bertanya maukah kamu menjadi kuning untuk pelengkap jingga ku dan aku hanya butuh sebuah jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’.  Namun kamu membatu, membisu, dan tak bersuara.
Rumit…! Begitulah wanita.

Memperbaiki Diri



Kamu tidak perlu takut untuk melangkah. . .! Yang penting bagaimana upayamu saja. Semaksimal yang kamu  bisa, kalau sudah maksimal tetapi dia ternyata tidak mau, ya tidak apa-apa. Yang penting kamu sudah mengupayakan apa yang kamu  rasa perlu diupayakan. Itu sudah cukup. Selama belum ditolak, mengapa harus takut bertindak. Kalau pun ditolak artinya akan diterima oleh orang yang lebih baik. Gitu aja kok repot !
Pada akhirnya dari penolakan demi penolakan itu kita sadar bahwa ada yang butuh diperbaiki dari diri kita. Semestinya kita terus mengaktualisasikan perbaikan diri tanpa perlu menunggu seseorang untuk mendampingi menjadi lebih baik. Terimalah kenyataan bahwa kita memang belum baik dan kita masih butuh untuk terus menjadi lebih baik. Toh pada akhirnya kebaikan itulah yang berimbas pada masa depan kita. Bisa jadi kita yang terus memperbaiki diri akan menyulam penilaian tersendiri di sisi Allah.
Kita saja yang sering gagal paham akan maksud Allah. Pada waktunya, kita akan menyadari perihal jalan hidup yang selama ini mungkin kita keluhkan, kita cemaskan, kita kesalkan, dan kita khawatirkan adalah jalan yang membuat pertemuan itu kian mendekat, kian mudah, kian menuju titik temu, dan  kian menuai berkah. Kita mungkin tidak pernah menyangka bahwa kita akan menjadi genap. Dulu kita yang lugu dan tak banyak tahu-nya itu setia menimang-nimang tanya, kapan nama di Lauh Mahfudz itu turun?. Dan harap cemas tentang waktu mana yang tepat untuk nama itu diturunkan dari keputusan langit.
Namun hari ini, kita saling mengetahui jawabannya. Kita jadi tahu bahwa orang yang dulu sempat menolak kita hanya sebatas ujian. Untuk melihat dengan siapa kita patut disepadankan. Syukurnya, kita tidak terkecoh keadaan. Kita menimbunnya dengan hikmah hingga kita menemukan yang lebih baik. Kuncinya, teruslah berupaya. Setidaknya berupaya untuk memperbaiki diri untuk yang lebih pantas.
Memperbaiki diri setara dengan memperbaiki pribadi. Kata mereka, pribadi dengan visi yang jelas tentu tampak lebih menjanjikan dibanding orang yang masih belum tahu akan membawa hidupnya ke arah mana. Fokus menambah kualitas diri juga akan membuat kita merasa lebih siap. Sebab kita sudah tahu akan mengarahkan kemudi hidup, setelah mantap mengemudi maka kemungkinan penolakan itu tereliminasi oleh takdir. Perbaiki diri sepantas-pantasnya untuk mendapatkan sebaik-baiknya.
            Tapi kita mesti hati-hati. Jangan sampai sibuk meperbaiki diri sebatas untuk perkara jodoh, bukan lagi karena Allah. Karena kita tidak mau membatasi karunia Allah, kan ? Jika Allah ridho, karunia yang diberikan-Nya bisa jauh lebih luas dari itu. Berbenah dengan ikhlas itu lebih baik, demi menggapai kemuliaan dan kehidupan terbaik, dunia serta akhirat. Izinkan dalam hati hanya Allah lah yang menghuni. Kita tetap memperbaiki diri.

Aku Tahu


(Kutipan Buku "Hingga Senja Meramu Jingga" By: Ningsi_AFJ...Do'akan bisa diterbitkan ya ! ^-^)   

Aku tahu kamu tidak ingin membuatku begini. Mungkin kamu merasa bahwa kini aku tengah gusar menanti-nanti, menebak-nebak ini dan itu, menduga orang yang masih entah. Aku tahu kamu tidak berniat membuatku begini. Aku yang memang sering tersenyum simpul jika sedang membaca buku. Membangun istana khayal tentang masa depan. Tentang kamu yang membuat aku begini. Walau ini bukan salahmu. Darimu aku belajar untuk lebih lebih sabar dan lebih tahu apa yang sebaiknya dilakukan dalam menunggu. 

Aku tahu kamu tidak berniat membuatku menunggu. Aku mengerti bahwa ini adalah caramu untuk menjagaku dengan tetap menjaga diri. Kamu yang terlalu sibuk dengan kesiapan untuk hari depan. Kamu yang sibuk mencari tahu bagaimana membina keluarga yang diberkahi Allah. Kamu yang sibuk mendalami agama untuk menjadi imam yang membawa keluarga ke serambi syurga. Kamu, kurasa benar-benar sedang sibuk. Karena itu aku akan menyibukkan diriku pula dengan kebaikan. Karena kebaikan akan menemukan kebaikan, bukan ?

Aku tahu kamu tidak tega membuat ku lelah berdiam diri. Mungkin kamu sedang belajar. Belajar untuk dapat mencintaiku dengan benar, belajar menata hati. Belajar tentang mempersiapkan masa depan bersamaku. Belajar menjadi ayah yang baik bagi anak-anak nanti. Belajar menjadi suami yang pengertian bagi istrinya. Belajar lebih tangguh untuk memikul tanggung jawab yang lebih berat. Karena itu, aku pun belajar hal yang sama. Agar saat kamu datang aku sudah lebih siap.

Aku tahu kamu tidak mau membuatku khawatir. Walau sebaiknya kamu datang saat ini juga menyelamatkan dan kemudian melindungiku setiap hari. Namun aku yakin kamu punya alasan, mengapa sampai saat ini belum datang, kan?. Mungkin aku bisa sabar hingga sejauh ini berkat do’amu. Bisa jadi aku mampu menunggu hingga kini juga karena do’amu. Walau aku tidak tahu kamu siapa, entah dimana, dan kapan datangnya. Aku yakin saja kamu begitu dan kamu benar-benar ada. Kita akan menemukan sesuai dengan apa yang kita yakini, kan ?

Untukmu yang aku yakini, semoga baik-baik saja disana. Semoga Allah menjaga selalu. Semoga dimudahkan semua kesiapannya untuk menjemput. Aku tahu kamu juga sedang berdo’a. Bahkan mungkin kita berdo’a diwaktu yang persis sama. Entahlah.  Mungkin kamu tengah berdo’a untuk seorang wanita yang baik dan yang tidak sekedar memilihmu  karena cinta, tapi wanita yang  memutuskan untuk menerimamu karena yakin kamu akan bersamanya hingga syurga dan mampu mendidik dirinya dan anaknya menjadi manusia syurga.  Semoga, yakinku padamu tidak bertepuk sebelah tangan.

Perjalanan Menuju Senja yang Entah



Kita yang merasa, perjalanan hari menuju senja itu masih entah. Masing-masing dari kita akan melampaui lintasan sendiri dengan jarak dan rintang. Entah siapa dari kita yang tengah berlari. Melaju kencang untuk merengkuh titik tepi. Melaju berlomba bersama waktu dan para penyanjung agar kepastian rasa tak lagi utopia. Sayangnya, aku kehabisan energi. Mungkin butuh istirahat bersama do’a-do’a. Ikhtiar ini cukup menyita banyak hal. Maka  Sepertinya, tidak apa-apa kita harus berpisah jalan dulu, biar saja hari ini kita harus bertahan di jalur masing-masing. Bukankah esok lusa kita akan bersua di ujung yang sama? Bukankah esok lusa kita akan bersatu di tujuan yang sama?. Mudah-mudahkan begitu.
Kita yang merasa, perjalanan hari menuju senja itu masih entah. Terlalu banyak arah membuat hati bimbang ingin menuju kemana. Jelas memang jalan untuk menuju yang ditakdirkan itu hanya ada satu jalan. Meski pada awalnya telihat lurus tanpa hambatan, kenyataannya penuh aral dan onak yang merintang. Kita harus tetap menuju kesana, sebab titik itu adalah akhir yang tak akan ada lagi persimpangan jalan setelahnya. Kita akan menunggu hingga satu titik yang disetujui takdir, di tempat yang disebut masa depan. Semoga perencanaan satu sama lain itu lebih sempurna dengan campur tangan Tuhan.
Kita yang merasa, perjalanan hari menuju senja itu masih entah. Berdiam diantara jawaban yang tidak benar. Memang inilah ujian. Cobaan bagi para perindu. Harus menunggu dalam ujian yang bertubi-tubi hingga mencapai apa yang dirindukan. Terlalu lama kita berjalan saling berpunggungan. Asumsi membelai asumsi, tak pernah ada ruang untuk hati bicara arti. Dengan menyerahkan hati pada Ilahi  mudah-mudahakan atas kasih sayang-Nya semua menjadi lebih membaik kembali. Sebaiknya kita tak perlu terburu-buru. Jika Allah mengiyakan hati kita, tak lagi ada peluru penyangkalan yang memburu. Mudah-mudahan.
Kita yang merasa, perjalanan hari menuju senja itu masih entah. Kita yang berlari namun terus dibatasi durasi waktu dan garis finish yang enggan menampakkan pita kuningnya. Sedang orang lain yang berlari telah disambut penuh senyum di garis finish. Semua orang, semua penonton, bahkan angin pun tahu siapa pemenangnya. Hanya saja kita tidak peduli, kita akan terus berlari meskipun tak ada apapun di garis finish. Karena Tuhan lah yang akan memberi hadiah dari proses kita. Kita akan tetap berjuang, kan ? Tentu saja berjuang untuk seseorang yang juga tengah memperjuangkan kita. Yakin saja kita akan  menang dengan semua do’a yang dipanjatkan pada Allah di sepertiga malam. Akhirnya, kita lebih damai.
Kita yang merasa, perjalanan hari menuju senja itu masih entah. Terbata-bata mencari makna. Memandang jalan yang akan dilalui kedepan. Perjalanan yang kelak pasti diguyuri sinar mentari, jelas menguras banyak peluh, menyita banyak waktu, mencurahkan energi yang lebih. Kita sebenarnya hanya menuju perjalanan yang seperti itu. Bersama orang yang tepat tentu semua perjalanan panjang itu menjadi nikmat. Sebab akan ada yang menopang disaat lemah. Ada yang mengingatkan dikala salah. Ada bahu tempat bersandar dari segenap gelisah. Ada mata yang menyemburatkan cahaya dan menerangi di saat gelap menerpa. Melangkah sejauh apa pun itu jika bersama, kita yakin kita mampu. Berjalan menuju bahagia, bersama-sama menuju Allah dengan orang yang kini masih entah. Siapa kah ?
Kita yang merasa, perjalanan hari menuju senja itu masih entah. Sembari menikmati hijrah gemawan dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Mengingatkan akan hijrah kita pula. Kita yang banyak berubah setelah mengenang bahwa kebaikan akan menemukan kebaikan. Maka kita terus berupaya memperbaiki diri. Mencoba berdamai dengan waktu dan jarak. Memaksa ketabahan yang sesekali memberontak. Apakah ada yang rela menyusuri jalan sepi?, sebuah jalan yang tidak banyak diminati orang-orang. Jalan itu adalah jalan yang diridhoi Allah. Jalan yang memang sepi, tanpa ada interaksi, tanpa ada sapa berbalas sapa, dan hanya ada kepatuhan akan rambu-rambu di dalamnya. Mungkin jika kita masih bisa tabah kita akan saling bertemu pada satu jalan yang tercitra namaku dan namamu, nama kita.
Kelak saat kita telah bertemu kita akan belajar lagi bahwa kita disatukan bukan untuk berkompetisi, saling mengalahkan, terus menonjolkan ego masing-masing. Bukan! Saat takdir senja berpihak pada kita untuk menjinggakan langit, semua menjadi sebuah awal baru. Awal dari perjalanan  kita. Dalam perjalanan ini kita akan merangkak, berjalan, ataupun berlari bersisiran. Dan kurasa tidak perlu mengajakku untuk berlari. Nanti aku bisa lelah. Kita nikmati perjalanan sambil mengeratkan genggaman jemari. Pun sebenarnya kamu bisa dengan mudah meninggalkanku. Aku berharap kamu akan memilih tetap membersamaiku, karena aku ingin kita sejajar, bukan saling menarik dan ditarik, atau digiring dan menggiring. 
Jika kau lihat saat berjalan tali sepatuku lepas, bantulah aku untuk mengikatnya agar dapat kita tantang bersama jalan yang telah ditelanjangi dari aspal panas.  Kadang aku sempat berfikir untuk menjadi menjadi telapak sepatumu, yang memberi kenyamanan bagi telapakmu untuk berjalan. Yah, aku ingin jadi telapak sepatumu saja dari kotor dan basah, aku mengabdi tetap untuk bersamamu. Yang sesungguhnya lelah, tapi  untukmu aku tidak pernah menyerah. InsyaALlah, karena akan bernilai ibadah. Terlebih dari rasa syukuryang  telah menimbulkan rasa bahagia. Bahagia itulah yang memicu untuk terus menerjang lelah. Sebab dulunya kita telah berupaya penuh. Ini adalah saatnya kita mensyukuri titik temu.