Kita terus baik memaksa atau pun
rela melangkah menuju tempat pencapaian, berproses melalui seseguk perjalanan.
Mari kita gontaikan dari semurni-murninya niat, sekecil-kecilnya langkah,
semampu daya upaya. Kita tahu dan menyadari sedeguban jantung yang memompa
untuk derap kebaikan tetap akan dihitung oleh-Nya. Kita akan memulai yang besar
dari kecil dulu. Sejenis apapun hal yang kita lakukan hari ini menjadi penentu
kita di kejauhan hari. Sudahkah detik kita disarati oleh nilai-nilai atau
sekedar kekosongan belaka. Bumi dan langit takkan pernah menangisi takdir kita
kelak. Mereka tak lain hanyalah penyaksi kita, penyaksi apapun yang kita
perbuat, kemarin, kini, dan nanti. Detik-detik waktu telah di sumpah dan ia akan terus berjalan
sekalipun kita diam. akankah kita menjadi yang tertinggal ? lalu kitalah yang bertanggung jawab atas pahit
manis keesokan yang menjelang. Hari kemarin adalah cerminan, esok adalah
harapan, hari ini adalah kekuatan kita. Kekuatan kita untuk mendesain masa
depan yang bercahaya, yang gempita, yang berujung ridho Sang Pencipta. Saat
dimana kita masih diberi kesempatan untuk berfikir jernih memanfaat akal,
bertidak lebih cepat, dan mengayuh pedal do’a sekencang-kencang menuju etala
langit.
Sambil terus berjalan Lihatlah telapak tangan.
Di sana ada banyak sekali garis kehidupan, entah itu garis keberuntungan, garis
rezeki,garis kegetiran, garis umur, atau pun garis jodoh. Kemudian coba
kepalkan tangan. Lihat, bahwa semua garis berada dalam kepalan tangan kita. Itu
artinya, hidup ini ada dalam kendali kita. Perjalanan terberat dari kita mungkin bukan perjalanan saat menuju
puncak. Bisa jadi sebaliknya yakni kepasrahan dan kekuatan hati untuk turun,
itu yang paling berat. Ujian terbesar dari kita adalah ketika kita diminta
melepaskan satu demi satu yang telah kita perjuangkan. Disanalah seni dari
hidup ini. Akankah kita mampu turun dari puncak kesuksesan dengan tegap dan
ikhlas segagah perjuangan kita ketika mendaki dulu? Mampukah wajah kita tetap
tersenyum indah penuh syukur ketika turun, sama halnya binaran mata kita saat
berhasil mencapai puncak dulu?. Bisa ?
Pernahkan kita patah hati ? Hal itu masih wajar, tak ada
perjalanan hati yang tak mengalami kepatahan. Namun, mereka yang mampu belajar,
adalah mereka yang bisa membalut patahannya, dan menjadikan hati yang lebih
kuat dari sebelumnya. Setelah itu, Hati kita
dilatih untuk menjadi lebih peka, lebih sensitif, dan lebih perasa. Kita
menjadi lebih menghargai, menjadi lebih tahu diri. Kita di uji lagi dari sisi
kesabaran. Kebanyakan dari kita bukanlah seorang penyabar. Kadang kita
merasa kesabaran berada pada garis batasnya, berada pada puncaknya dimana tidak
bisa lagi dikendalikan. Tapi kita sadar
bahwa rasa sabar tak punya batas. Kita membatasinya karena kita ingin
membatasinya, bukan karena ia punya batas. Maka kita mesti mencoba lagi. Atas itulah kita bersyukur dibiarkanNya jatuh, luka, berdarah,
menangis tiada henti, menyesali segala kesalahan, dan akhirnya bertekad untuk
menjadi lebih baik, demi Dia, demi mereka yang tulus dan sabar menemani kita. Untuk
orang-orang yang tetap ada di sisi kita bahkan ketika banyak dari lain memilih
pergi tak acuh saja, untuk orang-orang yang masih mau memegang pundak kita
bahkan ketika orang lain tak sudi melihat, untuk orang-orang yang dengan sabar
memapah kita kembali ke jalan yang semestinya bahkan di saat tak ada satu orang
pun yang peduli bagaimana sakitnya kita terjatuh, semoga Allah membalas mereka dengan
luasnya surga yang tak terkira keindahannya. Semoga…