Oleh: Sulastriya
Ningsi (Physic’s 09)
-Nominator karya terbaik
se-FMIPA dalam acara SMILE FSI-
Salamu’alaika Ya Habiballah, Rasululllah,
Waliyallah, Muhammad Bin Abdullah
Semoga kemuliaan dari
Allah selalu dilimpahkan kepadamu. Anta syamsun anta badrun Anta nuurun fawqa
nuuri, Anta mishbahu as-shuduuri.
Wahai purnama yang
bercahaya wajahnya
Ini aku, Sang Wanita
Pujangga
Dalam baik syair pujangga merindu
Tertata kata dalam
suratku yang takkan pernah terbalaskan
Habibi, kau telah
berada dalam singgasana megah syurga-Nya
Wahai hamba pilihan
yang diutus untuk kami
Engkau datang membawa urusan untuk ditaati
Gubahan syair nan indah
untukmu
Ya Rasul, hadir ku
bukan dalam dimensi yang sama dengan mu. Namun, serasa terngiang gema shalawat
dan takbir mengiringi kedatangan
serdadumu.
Wahai penawar hati
kami, nan mulia akhlaknya
Aku adalah wanita yang
kini telah membuncah kedengkiannya
Betapa dengkiku pada
para Shahabiyahmu
Karena keunggulannya
yang istimewa dalam pandangan Allah S.W.T
Aku bukanlah Khadjah
ra, wanita teragung sejagad raya
Yang beriman padamu
saat yang lain mendustakan
Melindungimu kala semua
menolak dan memusuhimu
Tidak pula aku Aisyah
ra yang kesuciannya diumumkan dari 7 lapis bumi
Sebagai pasangan
abadimu dunia dan akhirat
Aku
pun tak sedermawan Saudah Binti Zam’ah ra
Bukan juga Hafsah Binti
Umar ra yang ahli puasa dan shalat
Ya Habibi, aku hanya
wanita akhir zaman
Yang mengharap hati
dipenuhi kerinduan padamu
Ketika hadir syahdunya
alunan rindu padamu, menjadikan lampauan waktu terbingkai pahala
Kini aku harap menjadi
wanita-wanita generasi thabi’in yang mulia dalam ukiran jejak sunnahmu
Wahai utusan agung, nan
benar tutur katanya
Abad demi abad terkikis
musnah oleh waktu
Namun, namamu terpatri
dalam kalbu
Tak pernah aku bertemu
denganmu, melihat langsung dakwahmu
Tapi sinar cahaya mu
mampu menembus zaman
Begitu agung namamu
Indahnya getaran hati
ini, buliran air mata dan kerinduan padamu
Mengemis penuh hina
pada Rabb Penguasa Alam
Agar rasa ini terkunci
abadi dalam ridho-Nya
Wahai penghulu para
anbiya’
Bicaramu dalam tuntunan
wahyu, sekalipun orientalis jahil menfitnahmu dengan tuduhan tak berdasar Aku
yakin kau adalah qudwah hasanah
Habibi, kini ku mulai
kesahku dengan malu yang mencabik kalbu
Lihatlah Nabi, dizaman
apa kini aku merangkak ?
Aku hadir dalam kemelut
pembusukan moral yang mewabah
Dalam fitrah pemuda
Islam yang telah terkontaminasi comberan nilai-nilai hedonisme
Wahai Rasul yang terjaga
perangainya…
Sungguh
tak tega bila aku harus menunjukkan padamu realitas faktual zaman kini. Al
Islam mahjubun bil muslimun. Kemuliaan Islam terhijab akibat perilaku
penganutnya yang berkubang di tengah lumpur jahiliyyah. Mungkin jahilnya
sedikit berbeda dengan tingkah polah Abu Jahal atau Abu Lahab. Ini adalah jahiliyyah
modern. Sampai-sampai mereka berani meragukan mutlaknya kebenaran Al-Qur’an
yang diturunkan kepadamu. Sampai-sampai mereka nekad menyebut syariat Allah tak
lagi kompatibel dengan zaman. Sampai-sampai mereka secara sok intelek
menyimpulkan jilbab hanyalah produk budaya belaka. Sampai-sampai mereka tega
menuduh risalah yang telah memuliakan perempuan ini sebagai lembaga yang
mengokohkan budaya patriarki yang menindas martabat kaum hawa, lalu mereka secara
kompak menyanyikan koor kesetaraan gender. Naudzubillah…negeri ini masih
hidup dalam iklim yang takut-takut bersyariat. Bersyariat setengah hati.
Totalitas tunduk tidak pasti. Dicap sekuler tidak berani. Astaghfirullah… Ya Nabi
Wahai Rasul
yang anggun pesonanya…
Teman-temanku
kini sudah biasa membuang waktunya dengan hal-hal yang makruh, syubhat bahkan
haram. Hari-hari mereka dihabiskan di warung kopi atau kafe santai untuk
bermain game online yang cenderung
mengarah pada perjudian dan zina. Awalnya aku coba berbaik sangka. Tapi
nyatanya apa? Shalat saja mereka lupa. Sebungkus rokok yang mereka hisap
perlahan telah mencerabut secara perlahan kesadaran mereka. Bahwa mereka adalah
mahluk ciptaan-Nya yang harus taat pada Maha Pencipta, bukan malah menduakannya
lalu memuja-muja thagut durjana.
Wahai Rasul
yang lembut tutur-sapanya…
Kesedihan
demi kesedihan terus menggelayutiku hari ini. Apalagi jika terpaksa melihat
realitas saudari-saudari muslimah yang kini kehilangan identitas diri. Jilbab
dikhianati. Aurat diumbar di sana-sini. Tanpa peduli mata lelaki begitu buas
melahap menikmati tontonan gratis yang bermagnet sakti, mengajak menuju neraka
penuh api. Baju mereka full pressed body. Ketat, seksi ditambahi dengan
wewangian tabarruj pengundang laknat Ilahi.
Wahai
lelaki yang gagah perkasa…
Bila terus
diceritakan, kisah ini hanyalah berisi kumpulan risau yang membuncah. Dan kami
butuh pemecah resah . Aku terkadang miris melihat para da’i pun masih saja
berkutat pada selisih pendapat yang tidak produktif: qunut, nawaitu,
rakaat shalat tarawih, berapa kali adzan shalat jumat dan semacamnya. Bukankah
itu cuma hal-hal furu’ yang para ulama membolehkan terjadinya ikhtilaf?
Bukankah lebih baik semua bersinergi membina ummat? Membenahi akidah,
mengoptimalisasikan pendidikan, mensejahterakan ekonomi dan sebagainya?
Duh…lagi-lagi aku tak kuasa berbuat sendiri. Sebab, lidi yang satu tak kan bisa
menyapu dedaun walaupun sehelai. Hanya kebersamaan dalam satu ikatanlah sumber
kekuatan ummat ini agar tidak menjadi buih di tengah lautan.
Wahai
panglima pasukan mukminin…
Ingin
sekali rasa hati bertemu denganmu, menjumpai keluargamu dan para sahabatmu.
Rindu betul aku dengan suasana hidup yang rabbani, membayangkan Bilal
bin Rabbah dengan adzan yang menggetarkan dan shalat bersamamu yang penuh haru.
Lalu aku ikut duduk di halaqah bersamamu. Bahkan kalau bisa menjadi
salah satu orang yang turut meriwayatkan hadits langsung dari lisanmu. Oh,
indahnya….
Wahai
lelaki yang mengimami shalat para mukhlisin…
Membaca
sirahmu sesekali saja sudah membuat ghirahku menggelora. Apalagi bila
aku hidup bersamamu di zaman itu. Subhanallah. Aku pasti takjub pada
peristiwa-peristiwa dahsyat yang tak normal jika menuruti hawa nafsuku. Melihat
ketegasan Umar bin Khattab, kelembutan Abu Bakar, kedermawanan Utsman. Juga
melihat bagaimana mereka betapa semangat menyambut seruan jihad.
Akan
tetapi, tentu saja yang paling ingin kubersamai adalah dirimu. Bagaimana kau
mengelola Imperium Madinah, bagaimana lantunan qira’ahmu dalam shalat yang menderaikan
air mata makmum, bagaimana lihainya kau memimpin sebuah pertempuran, bagaimana
kau menjadi qawwam dalam rumah tangga, menjadi suami romantis penuh
cinta kasih dan ayah yang lembut lagi perhatian kepada anak-anaknya.
Wahai
lelaki yang lembut hatinya…
Bertemu
denganmu di kala jaga adalah sebuah utopia. Maka bermimpi berjumpa denganmu
adalah salah satu yang kudamba. Karena kata para ulama, itu mungkin saja. Namun
yang paling kuharapkan, insya Allah di surga nanti kita bertetangga. Walaupun
dari sisi amal sudah pasti aku yang berlumur dosa ini akan sangat jauh darimu,
namun aku ingat betul salah satu sabdamu, “Engkau akan bersama orang yang kau
cintai di akhirat nanti.”
Hari demi
hari aku hanya terus berusaha merawat cintaku padamu mulai dari basuhan wudhu’
di pagi hari, harmoni sujud di simpang dhuha hingga simfoni zikir menjelang
rehat di malam hari. Meski shalat jama’ahku kadang menjadi masbuk, rakaat
dhuhaku selalu pas-pasan dan qiyamullail dengan kondisi mengantuk, aku hanya
ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu melebihi kecintaanku pada ayah ibu,
Cintaku insya Allah lebih dalam dari dalamnya palung Pasifik dan
menjulang lebih tinggi dari puncak Himalaya.
Wahai
hamba pilihan yang dirindu
Dalam
segenap penatku di dunia
Menyentil
hati untuk menggubah lirik rindu
Betapa
rindu nya pada suri teladan yang kau berikan
Rindu
kesederhanaan dan kepedulianmu
Rindu
kedamaian yang kau ciptakan
Rindu
majelis ilmu yang kau bina
Rindunya
yang tiada tara, sangat harapkan syafaatmu
Lirik yang
menjadi simfoni quantum cinta dalam melodi kerinduan
Sang
wanita pujangga, tertulis pada surat cintanya untukmu
Ya
Rasulullah, Mudah-mudahan dengan amalku yang tak seberapa ini, kau tetap
mengakuiku sebagai ummatmu yang kelak tetap mendapat kesejukan di telagamu.