Minggu, 07 September 2014

Simfoni Quantum Cinta dalam Melodi Kerinduan



Oleh: Sulastriya Ningsi (Physic’s 09)
-Nominator karya terbaik se-FMIPA dalam acara SMILE FSI-
 Salamu’alaika Ya Habiballah, Rasululllah, Waliyallah, Muhammad Bin Abdullah
Semoga kemuliaan dari Allah selalu dilimpahkan kepadamu. Anta syamsun anta badrun Anta nuurun fawqa nuuri, Anta mishbahu as-shuduuri.
Wahai purnama yang bercahaya wajahnya
Ini aku, Sang Wanita Pujangga
Dalam  baik syair pujangga merindu
Tertata kata dalam suratku yang takkan pernah terbalaskan
Habibi, kau telah berada dalam singgasana megah syurga-Nya
Wahai hamba pilihan yang diutus untuk kami
Engkau datang  membawa urusan untuk ditaati
Gubahan syair nan indah untukmu
Ya Rasul, hadir ku bukan dalam dimensi yang sama dengan mu. Namun, serasa terngiang gema shalawat dan takbir  mengiringi kedatangan serdadumu.
Wahai penawar hati kami, nan mulia akhlaknya
Aku adalah wanita yang kini telah membuncah kedengkiannya
Betapa dengkiku pada para Shahabiyahmu
Karena keunggulannya yang istimewa dalam pandangan Allah S.W.T
Aku bukanlah Khadjah ra, wanita teragung sejagad raya
Yang beriman padamu saat yang lain mendustakan
Melindungimu kala semua menolak dan memusuhimu
Tidak pula aku Aisyah ra yang kesuciannya diumumkan dari 7 lapis bumi
Sebagai pasangan abadimu dunia dan akhirat
Aku pun tak sedermawan Saudah Binti Zam’ah ra                                                                           
Bukan juga Hafsah Binti Umar ra yang ahli puasa dan shalat
Ya Habibi, aku hanya wanita akhir zaman
Yang mengharap hati dipenuhi kerinduan padamu
Ketika hadir syahdunya alunan rindu padamu, menjadikan lampauan waktu terbingkai pahala
Kini aku harap menjadi wanita-wanita generasi thabi’in yang mulia dalam ukiran jejak sunnahmu
Wahai utusan agung, nan benar tutur katanya
Abad demi abad terkikis musnah oleh waktu
Namun, namamu terpatri dalam kalbu
Tak pernah aku bertemu denganmu, melihat langsung dakwahmu
Tapi sinar cahaya mu mampu menembus zaman
Begitu agung namamu
Indahnya getaran hati ini, buliran air mata dan kerinduan padamu
Mengemis penuh hina pada Rabb Penguasa Alam
Agar rasa ini terkunci abadi dalam ridho-Nya
Wahai penghulu para anbiya’
Bicaramu dalam tuntunan wahyu, sekalipun orientalis jahil menfitnahmu dengan tuduhan tak berdasar Aku yakin kau adalah qudwah hasanah
Habibi, kini ku mulai kesahku dengan malu yang mencabik kalbu
Lihatlah Nabi, dizaman apa kini aku merangkak ?
Aku hadir dalam kemelut pembusukan moral yang mewabah
Dalam fitrah pemuda Islam yang telah terkontaminasi comberan nilai-nilai hedonisme
Wahai Rasul yang terjaga perangainya…
Sungguh tak tega bila aku harus menunjukkan padamu realitas faktual zaman kini. Al Islam mahjubun bil muslimun. Kemuliaan Islam terhijab akibat perilaku penganutnya yang berkubang di tengah lumpur jahiliyyah. Mungkin jahilnya sedikit berbeda dengan tingkah polah Abu Jahal atau Abu Lahab. Ini adalah jahiliyyah modern. Sampai-sampai mereka berani meragukan mutlaknya kebenaran Al-Qur’an yang diturunkan kepadamu. Sampai-sampai mereka nekad menyebut syariat Allah tak lagi kompatibel dengan zaman. Sampai-sampai mereka secara sok intelek menyimpulkan jilbab hanyalah produk budaya belaka. Sampai-sampai mereka tega menuduh risalah yang telah memuliakan perempuan ini sebagai lembaga yang mengokohkan budaya patriarki yang menindas martabat kaum hawa, lalu mereka secara kompak menyanyikan koor kesetaraan gender. Naudzubillah…negeri ini masih hidup dalam iklim yang takut-takut bersyariat. Bersyariat setengah hati. Totalitas tunduk tidak pasti. Dicap sekuler tidak berani. Astaghfirullah… Ya Nabi
Wahai Rasul yang anggun pesonanya…
Teman-temanku kini sudah biasa membuang waktunya dengan hal-hal yang makruh, syubhat bahkan haram. Hari-hari mereka dihabiskan di warung kopi atau kafe santai untuk bermain game online yang cenderung mengarah pada perjudian dan zina. Awalnya aku coba berbaik sangka. Tapi nyatanya apa? Shalat saja mereka lupa. Sebungkus rokok yang mereka hisap perlahan telah mencerabut secara perlahan kesadaran mereka. Bahwa mereka adalah mahluk ciptaan-Nya yang harus taat pada Maha Pencipta, bukan malah menduakannya lalu memuja-muja thagut durjana.
Wahai Rasul yang lembut tutur-sapanya…
Kesedihan demi kesedihan terus menggelayutiku hari ini. Apalagi jika terpaksa melihat realitas saudari-saudari muslimah yang kini kehilangan identitas diri. Jilbab dikhianati. Aurat diumbar di sana-sini. Tanpa peduli mata lelaki begitu buas melahap menikmati tontonan gratis yang bermagnet sakti, mengajak menuju neraka penuh api. Baju mereka full pressed body. Ketat, seksi ditambahi dengan wewangian tabarruj pengundang laknat Ilahi.
Wahai lelaki yang gagah perkasa…
Bila terus diceritakan, kisah ini hanyalah berisi kumpulan risau yang membuncah. Dan kami butuh pemecah resah . Aku terkadang miris melihat para da’i pun masih saja berkutat pada selisih pendapat yang tidak produktif: qunut, nawaitu, rakaat shalat tarawih, berapa kali adzan shalat jumat dan semacamnya. Bukankah itu cuma hal-hal furu’ yang para ulama membolehkan terjadinya ikhtilaf? Bukankah lebih baik semua bersinergi membina ummat? Membenahi akidah, mengoptimalisasikan pendidikan, mensejahterakan ekonomi dan sebagainya? Duh…lagi-lagi aku tak kuasa berbuat sendiri. Sebab, lidi yang satu tak kan bisa menyapu dedaun walaupun sehelai. Hanya kebersamaan dalam satu ikatanlah sumber kekuatan ummat ini agar tidak menjadi buih di tengah lautan.
Wahai panglima pasukan mukminin…
Ingin sekali rasa hati bertemu denganmu, menjumpai keluargamu dan para sahabatmu. Rindu betul aku dengan suasana hidup yang rabbani, membayangkan Bilal bin Rabbah dengan adzan yang menggetarkan dan shalat bersamamu yang penuh haru. Lalu aku ikut duduk di halaqah bersamamu. Bahkan kalau bisa menjadi salah satu orang yang turut meriwayatkan hadits langsung dari lisanmu. Oh, indahnya….
Wahai lelaki yang mengimami shalat para mukhlisin…
Membaca sirahmu sesekali saja sudah membuat ghirahku menggelora. Apalagi bila aku hidup bersamamu di zaman itu. Subhanallah. Aku pasti takjub pada peristiwa-peristiwa dahsyat yang tak normal jika menuruti hawa nafsuku. Melihat ketegasan Umar bin Khattab, kelembutan Abu Bakar, kedermawanan Utsman. Juga melihat bagaimana mereka betapa semangat menyambut seruan jihad.
Akan tetapi, tentu saja yang paling ingin kubersamai adalah dirimu. Bagaimana kau mengelola Imperium Madinah, bagaimana lantunan qira’ahmu dalam shalat yang menderaikan air mata makmum, bagaimana lihainya kau memimpin sebuah pertempuran, bagaimana kau menjadi qawwam dalam rumah tangga, menjadi suami romantis penuh cinta kasih dan ayah yang lembut lagi perhatian kepada anak-anaknya.
Wahai lelaki yang lembut hatinya…
Bertemu denganmu di kala jaga adalah sebuah utopia. Maka bermimpi berjumpa denganmu adalah salah satu yang kudamba. Karena kata para ulama, itu mungkin saja. Namun yang paling kuharapkan, insya Allah di surga nanti kita bertetangga. Walaupun dari sisi amal sudah pasti aku yang berlumur dosa ini akan sangat jauh darimu, namun aku ingat betul salah satu sabdamu, “Engkau akan bersama orang yang kau cintai di akhirat nanti.”
Hari demi hari aku hanya terus berusaha merawat cintaku padamu mulai dari basuhan wudhu’ di pagi hari, harmoni sujud di simpang dhuha hingga simfoni zikir menjelang rehat di malam hari. Meski shalat jama’ahku kadang menjadi masbuk, rakaat dhuhaku selalu pas-pasan dan qiyamullail dengan kondisi mengantuk, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu melebihi kecintaanku pada ayah ibu, Cintaku insya Allah lebih dalam dari dalamnya palung Pasifik dan menjulang lebih tinggi dari puncak Himalaya.
Wahai hamba pilihan yang dirindu
Dalam segenap penatku di dunia
Menyentil hati untuk menggubah lirik rindu
Betapa rindu nya pada suri teladan yang kau berikan
Rindu kesederhanaan dan kepedulianmu
Rindu kedamaian yang kau ciptakan
Rindu majelis ilmu yang kau bina
Rindunya yang tiada tara, sangat harapkan syafaatmu
Lirik yang menjadi simfoni quantum cinta dalam melodi kerinduan
Sang wanita pujangga, tertulis pada surat cintanya untukmu
Ya Rasulullah, Mudah-mudahan dengan amalku yang tak seberapa ini, kau tetap mengakuiku sebagai ummatmu yang kelak tetap mendapat kesejukan di telagamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar