Selasa, 12 April 2016

Modal Perjalanan Kita



Bagi siapa pun yang sedang berjalan dalam masa kehidupannya. Ada satu waktu kita dirundung kerumitan untuk melanjutkan perjalanan. Sebab merasa tak ada modal yang mumpuni untuk melampau aral-aral yang merintangi di depan. Padahal, percaya atau tidak,  kita adalah sebaik-baiknya yang telah ada.
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya”
(Q.S at-Tin: 4)
Seperti apapun rupa kita, kita tetaplah sebaik-baiknya bentuk. Lalu kita dibekali dengan sebaik-baiknya akal. Disempurnakan dengan sebaik-baiknya sarana. Diberikan alat pengontrol yang disebut hati nurani. Kita adalah  sebaik-baiknya yang telah diadakan Allah. Dengan inilah kita akan melanjutkan langkah-langkah. Modal terbesar telah ter-instalisasi dalam potensi akbar dalam diri kita. Sudah bersediakah kita mengelolanya ?. Mendayagunakan potensi untuk masa depan yang hebat.  Dalam hidup ini, kita sendirilah orang yang paling menentukan bagaimana perasaan kita, bagaimana pikiran kita bekerja, dan bagaimana tindakan-tindakan yang kita ambil. Kita bertanggung jawab masing-masing dalam melukis makna dan bersikap terhadap apa yang terjadi dalam tetater hidup kita.  Percayalah, kita diciptakan dan ditakdirkan dalam kedahsyatan diri kita sendiri, entah dalam profesi apapun kita kini.

            Setelah kita mengenal modal dari perjalanan, tak ada salahnya kita mulai menggerakkan niat untuk segera bertindak. Bukankah masing-masing dari kita menginginkan kehidupan yang layak di kemudian hari. Kehidupan yang membahagiakan. Kehidupan yang leluasa lagi mendatangkan banyak kebaikan. Begitu kah ?. Tindakan sekecil apapun yang kita hunjamkan dihari ini dengan tujuan yang membaikkan masa depan, akan diperhitungkan Allah.  Kita yang diciptakan dengan seperangkat kedahsyatan tidak mau kan menyia-nyiakan waktu hanya untuk hal yang tak bermanfaat ?.  

Lantas yang membedakan kita dengan Bill Gates hanyalah soal memulai tindakan dan mengelola tindakan dalam seefektifnya waktu. Sebagian besar dari kita kalah bukan soal pendidikan, harta, sarana, dan alasan lainya. Kita kalah pada semangat juang. Semangat untuk bertindak lebih cepat, semangat untuk bertahan dalam tindakan, dan semangat sampai akhirnya tindakan itu mencapai harapan. Padahal, kebaikan yang sempurna adalah yang segera dilaksanakan. Orang-orang yang menunda-nunda pekerjaan berarti menumpuk –numpuk kesulitan.

Apapun profesi kita, Allah telah mengajarkan kita melakukan tindakan terbaik dan menjadi pemenang dalam setiap kompetisi yang kita jalani.  Bukti yang paling kentara adalah  kita selalu diseru dengan panggilan, “Hayya ‘alal falaah  yang artinya  “Marilah Menuju Kemenangan”. Maka, ajaran agama yang mulia mengajarkan bahwa sejak terlahir ke dunia, kita sudah diserukan untuk selalu mendapatkan kemenangan dalam kehidupan.

Sejarah menunjukkan bahwa, orang-orang yang berhasil mendayagunakan potensi diri adalah mereka yang berani berpikir dan bertindak secara sungguh-sungguh dan berkesinambungan untuk menjadikan mimpi itu bukan lagi utopia tapi hal yang sebenar-benarnya terjadi. Mari kita belajar dengan burung terkecil di dunia, namanya Kolibri.  Lalu kita lihat pula burung terbesar yang disebut burung onta. Kolibri adalah burung yang hanya memiliki masa 10 mg, secara logika betapa sulit bagi burung seringan Kolibri untuk tetap bertahan jika dilindas angin kencang. Kelemahan itu menjadikannya mampu melakukan 75 kali kepakan sayap perdetik. Sehingga membuat Kolibri dapat mengatur terpaan angin yang dilalui.  

Bagaimana dengan burung Onta? memiliki bobot hingga 150 Kg, sayangnya ia tidak bisa terbang. Lantas jika pemangsa datang untuk menerkamnya apa bisa bertahan ?. Tentu saja bisa. Kelemahan sekaligus tantangan yang mesti Onta hadapi menjadikannya mampu berlari  hingga 90 km/jam dan melompat hingga 4-5 meter dalam satu lompatan. Dahsyat kan ?. Bisa kita pelajari dari kedua hewan tersebut tentang bagaimana mengubah kelemahan menjadi potensi yang menguntungkan, sebab kelemahan memacu dan memicu adrenalin untuk memompa lebih kuat disaat kita berada pada titik kritis. Jadi, kita tidak perlu menggusarkan titik kelemahan dalam diri kita. 

Kita telah percaya bahwa kita adalah sebaik-baiknya yang telah ada. Semua di berikan pada diri kita, sebentuk kelebihan dan kekurangan, adalah baik dan bertujuan membaikkan kita. Kita saja yang kurang peka, atau kurang belajar dalam memaknai. atau terlalu sibuk dengan keseharian. Membuat kita lengah dengan apa yang telah menjadi modal awal kita untuk dapat lebih baik dimasa depan. Perbaikilah apa yang tersisa, semoga Allah memperbaiki apa yang sudah lewat. Segeralah melakukan perubahan !

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka berusaha untuk mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”
(Q.S. ar-Ra’d:11)

Kutipan Buku "Perjalanan untuk Sebuah Mimpi"

Kita yang Tengah Mengisi Hari ini



Kita yang pada hari ini dengan pekerjaan yang memang tak pernah kenal waktu. Tak jua kenal ruang dengan beraneka sudut, tak pula kenal timbunan rasa yang telah menggunung. Walau pada akhirnya akan berujung pada keringat dan daki. Kita yang bekerja di naungan punggung mentari. Belajar menikmati lelah dari pekerjaan yang tak kunjung selesai. Belajar berdamai bersama kepegalan tubuh untuk mengejar deadline laporan atau tagihan bulanan. Belajar tenang untuk menghadapi saat si Bos mulai berkasam muka atau rekan kerja yang tak seiya sekata. 

Namun kita melakukan pekerjaan bukan sekedar untuk memeras keringat atau menciptakan daki. Bahwa kita bekerja untuk bersyukur. Kesyukuran atas nikmat kesehatan, nikmat akal, nikmat kesempatan, dan nikmat untuk menghirup udara lepas, bebas, dan puas. Kesyukuran kita atas pekerjaan sekiranya dapat meregangkan kembali urat-urat syaraf. Kita menjadi orang-orang yang bebas dari diksi tertekan. Jika rasa syukur bagian tubuh ibadah, maka melakukan pekerjaan pun adalah ibadah kita. Lantas pekerjaan ini hari ini ada yang menyaksikan. 

“Dan bekerjalah kamu,maka Allah akan melihat pekerjaan mu, begitupula Rasul dan orang-orang beriman”
(Q.S. 9:105)

Mungkin kita merasa dikejar-kejar waktu hari ini?. Pada nyatanya kita dan waktu selalu melangkah bersisiran. Mungkin Kita bukan sedang berkejaran dengan waktu, karena kita tidak tahu sampai kapan kita hidup. Bisa dikatakan saat ini kita sedang berkejaran dengan amal. Layaknya amal itu yang tidak dapat diukur dari berapa panjang usia manusia, tapi dari kualitas saat mengerjakannya. Semoga kita tidak melewatkan begitu banyak kesempatan untuk berbuat baik. 

Kita yang pada hari ini merasa kepenatan pun mengajak menikmati sepenggal senja hari. Bersama secangkir teh hangat. Mendendangkan denyut nadi bersimfoni dengan desau angin. Pertanda kita masih hidup. Masih diminta untuk melanjutkan perjuangan didetik kemudian. Detik yang akan diminta pula pertangungjawabannya nanti. Senja ini, untuk sekedar mengusir kepenatan seharian  tadi, boleh lah kita menulis selarik puisi tentang hidup kita yang barusan terlewati, atau kemarin yang tak bisa dijemput lagi, atau esok yang masih temaram. Mungkin ada harapan yang dicacah kekecewaan, atau impian yang tak kunjung terpetik. Kita bisa menggarang dalam liuk-liuk bait, atau menggubah beberapa soneta. Terserah saja. Semau kita. Luahkan dalam puisi-puisi hati. Kepenatan kita sedari pagi tadi merupakan kemuliaan yang telah kita ciptakan sendiri. Berbahagialah untuk hari ini.

Jikalau salah seorang di antara kamu mengambil seutas tali, kemudian ia pergi ke gunung, kemudian ia pulang dengan membawa seutas kayu bakar di atas punggungnya, lalu ia menjualnya, yang dengan begitu Allah menjaga harga dirinya, niscaya itu lebih mulia baginya daripada ia meminta-minta kepada sesama manusia”
(al-Hadits)

Kita yang pada hari ini. Coba lihat langit malam, jangan-jangan bulan sudah terbakar keluhan. Cahayanya memburam disemprot gerutu. Karena kita yang  menampiaskan diri pada bayangan hari-hari yang panjang. Menghabiskan terik raja siang dengan bongkah-bongkah upaya. Yang kata orang “demi sesuap nasi dan sebukit berlian”. Keluhan tentang mereka, dia, atau seseorang yang mengesalkan.

Ada waktunya kita tidak perlu menghabiskan pikiran dan hati  untuk memikirkan orang-orang yang tidak menyukai. Ada baiknya kita curahkan hati dan pikiran untuk orang-orang yang menghargai keberadaan kita, untuk orang-orang yang mencintai atau mungkin sedang menunggu kita. 

Malam hari ini akan dikoyak kaki-kaki waktu. Jangan izinkan rumput hitam di kepala memutih disiram prasangka-prasangkat tak penting. Mari kita bertasbih menyebut nama Allah. Merenovasi kerusakan hati dari prasangka melalui istighfar bertalu-talu dan untuk kepentingan hati, nikmati kembali sujud-sujud kekhusyukan. Berdentinglah tenang demi tenang. Hingga kedamaian diabadikan malam. Lalu kita terpulas dalam kebaikan. Semoga segala hal di hari ini lebih baik dari kemarin, hari esok kita rencanakan untuk lebih baik dari hari ini. Kita pun menjadi yang beruntung.

Sudah saatnya kita untuk berbenah, melangkah pada perubahan yang lebih mengistimewakan masa depan. Tidak baik kan berlama-lamaan dalam tipu daya syaitan ?.  Melangkahlah lebih tegap. Mari menuju selaksa harapan yang berpintal-pintal dalam kalbu.”

Kutipan buku "Perjalanan untuk Sebuah Mimpi"

Hidup Kita dalam Perjalanan




            Sejak awal mula kehidupan ini, sejarah menilai bahwa mereka yang berhasil dalam hidup ini adalah mereka yang berani berjuang dan tak patah arang dalam perjuangan yang digelarnya. Memang hidup ini adalah perjuangan. Kita tidak dinilai dari hasil akhir yang didapatkan, melainkan sebentuk apa perjuangan yang telah kita semai untuk mendapatkanya. Nilai kita di sisi Allah tidak dari titik keberhasilan melainkan dari langkah-langkah kita untuk menggapai keberhasilan. Lantas kita tidak ada urusan dengan takdir namun urusan kita adalah dengan amal, karena takdir itu adalah ketetapan Allah.

“Dan bahwa sesungguhnya tidak ada (balasan) bagi seseorang melainkan balasan dari apa yang telah diusahakannya”
(Q.S.an-Najm: 39)

            Sebagai sebuah perjalanan, hidup pun tidak pernah meminta lebih dari kita selain kemurnian niat. Hanya dengan memurnikan niat untuk tujuan yang benar, yakni mendapatkan keridhoan Allah. Apa pun yang kita lakukan demi keridhoan-Nya akan menjadi ibadah.  Inilah yang menjadikan kita hebat. Sebab kita hidup bukan untuk menjalani diri sendiri melainkan untuk akhir perjalanan yang pasti,  untuk sebuah mimpi, yakni kembali ke kampung kita lagi, Syurga yang seluas langit dan bumi.

Membentuk persepsi positif terhadap diri sendiri dalam menjalani semurni-murninya niat menggeser pribadi kita lebih unggul dari rata-rata manusia. Apalagi jika kita mau lebih sering berkomunikasi pada diri sendiri. Semisalnya saja saat rasa malas mendominasi dalam diri kita. Kemudian kita menghadirkan diri kita yang kedua datang untuk menasihati dan menanyakan. Apakah kemalasan ini akan membaikkan masa depan?, Apakah kemalasan masuk dalam poin-poin pembeli kebahagian akhirat?, Apakah kemalasan akan membuat Allah ridho?, Apakah kemalasan ini akan membawa pada kesuksesan hidup?. Lalu diri kita akan menjawabnya dengan semua jawaban dari pertanyaan itu adalah “tidak”. Pada akhirnya, kita akan bangkit untuk berkegiatan, mengerjakan yang semestinya untuk dituntaskan. Nah…begitulah contoh sederhana dari berkompromi dengan diri sendiri. Apa yang kita perbuat dalam kehidupan ini  akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita berkomunikasi dengan diri sendiri. Bukan bicara sendiri, ntar dikira gak waras pula.
 
Saat kembali merenung. Kita lebih banyak sadar. Bahwa terkadang kita melakukan perjalanan hidup kita terlalu cepat. Sekiranya perlulah kita melambatkan diri. Bahkan sesekali kita perlu berhenti, menengok ke belakang, atau memerhatikan sekitar. Tanpa sadar kita telah melewatkan begitu banyak hal karena kita terlalu berambisi pada tujuan. Tujuan itu penting, tapi memaknai perjalanan juga ada pentingnya. Kita juga tahu bahwa pelajaran itu ada di sepanjang perjalanan.
Hari esok masih entah kah untuk kita ?. Tapi keyakinan kita pada janji-Nya semoga masih menjadi jalan yang di tuju.



         Hidup kita dalam perjalanan, tidak baik jika kita menempuh perjalanan indah ini dengan banyak tidur. Banyak-banyak lah melihat ke kanan dan ke kiri. Mengamati, meniru, dan memberi nilai tambah untuk hal apa saja yang kita temui disepanjang perjalanan. Amatilah orang-orang besar itu, mereka yang namanya telah memuat catatan-catatan sejarah, tilik satu persatu jalan hidupnya. Setelah itu duplikasi lah dalam diri kita kebaikan-kebaikannya atau segala hal yang membantu kita menuju pada pencapaian yang diharapkan. Jika ada kecacatan maka sebaiknya kita konstruksi dengan potensi yang ada pada diri kita dan kita benahi dengan segenap cakrawala yang dimiliki. Jika mereka mampu melakukan satu hal besar maka kita pun berpeluang untuk melakukan hal yang serupa dengan mereka. Pada akhirnya, tergantung pada diri kita mau atau tidak untuk lebih banyak melihat pelajaran-pelajaran yang tersebar di sejauh perjalanan yang kita tempuh.
Hidup kita dalam perjalanan. Maka mari menjalani hidup dalam keberanian. Untuk apa hidup bila kita tak memiliki keberanian? Berani menghadapi segala yang mencacah mental. Berani menghadapi kesementaraan. Dan tentunya berani menghadapi kematian. Bila hidup tujuannya dunia, pasti sesak dengan “keinginan”. Bila hidup tujuannya akhirat, Insya Allah selalu ada kemudahan.
Kompas yang kita pegang kini arahnya kemana? nanti di penghujung kesadaran yang lebih awal arahkan jarum kompas hidup itu kepada satu dimensi agung,Syurga.

 Kutipan buku "Perjalanan untuk Sebuah Mimpi"