Selasa, 22 Agustus 2017

URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER



 Pendidikan karakter dewasa ini bukan saja merupakan hal yang penting bagi lembaga pendidikan, tetapi menjadi kebutuhan yang harus diberikan kepada peserta didik, karena kebutuhan  bangsa ini bukan hanya mengantarkan dan mencetak peserta didik cerdas dalam nalar, tetapi juga harus cerdas dalam moral. Mencetak anak yang berprestasi secara nalar memang tidak mudah, tetapi mencetak anak bermoral jauh lebih sulit dilakukan, apalagi dengan perkembangan teknologi canggih yang seamkin cepat dan pesat, yang tentunya akan berdampak terhadap perkembangan anak.
Pendidikan karakter telah menjadi perhatian banyak pihak, misalnya, pemerintah telah mengagendakan pentingnya pendidikan karakter diterapkan di sekolah-sekolah dan telah menjadi kebijakan nasional yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hampir semua sepakat bahwa krisis moral yang melanda generasi bangsa ini diakibatkan telah melemahnya nilai-nilai moral bangsa dalam kehidupan masyarakat.Hal ini diduga penyebabnya adalah kurang berhasilnya pendidikan yang membina karakter di sekolah.Pendidikan formal dewasa ini lebih dominan mengembangkan aspek kognitif ketimbang aspek moral dan karakter.Oleh karena itu, perlu pendidikan diterapkan di sekolah.Pemikiran ini seolah-olah pendidikan watak atau pendidikan karakter belum pernah dijalankan di sekolah, padahal esensi pendidikan watak atau pendidikan karakter telah ada dan selalu menjadi muatan dalam setiap kurikulum di sekolah. Bahkan sejak dulu pendidikan karakter ini dilabeli dengan nama pendidikan budi pukerti. Hanya memang pendidikan karakter merupakan istilah baru dalam pendidikan atau kurikulum di Indonesia.
Pendidikan karakter sangatlah penting karena karakter akan menunjukkan siapa diri  kita sebenarnya, karakter akan menentukkan bagaimana seseorang membuat keputusan, karakter menentukan sikap, perkataan, dan perbuatan seseorang, sehingga menjadi identitas yang menyatu dan mempersonalisasi terhadap dirinya, sehingga mudah membedakan  dengan identitas yang lainnya. Hal tersebut seperti disampaikan oleh Mufid (2011:447) bahwa karakter membentuk ciri khusus suatu entitas yang menentukan individu tau entitas lain. Kualitas yang menggambarkan suatu karakter bersifat unik, khas, yang mencerminkan pribadi atau entitas dimaksud, yang akan selalu Nampak secara konsisten dalam sikap dan perilaku individu atau entitas dalam menghadapi setiap permasalahan.
Wiratman (2008:264) menyatakan banyak tokoh yang menggarisbawahi [entingnya pendidikan karakter. Seperti mahtma Gandi menyatakan salah satu dosa fatal dari proses pendidikan adalah pendidikan tanpa karakter (education without character). Marthin Luther King menyatakan intelligence plus character that is the goal of the true education (kecerdasan plus karakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). Tidak ketinggalan Theodore Rosevelt berpendapat,to education person in maind and nation morals is to educate a manace to society (mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan  moral adalah ancaman berbahaya pada masyarakat.
Sungguh wajar, Prof.DR.HC.Ir.R.Russeno dalam setiap pidato-pidatonya kerap mengingatkan bangsa Indonesia, khususnya generasi muda, yakni dibutuhkan moralee herbewapening (kesiapsiagaan moral) dalam berprofesi, terutam ahal ini jika dikaitkan dengan kondisi kemajuan ekonomi dan teknologi yang amat sering membawa side effect negarif dan mengganggu moral bangsa (seperti korupsi, pergaulan bebas, narkoba, hingga tingkat kriminalitas). Cara tepat membendung hal-hal negative itu adalah dengan mempersenjatai diri dengan paham-paham dan karakter positif.
Disampi itu Thimas Lickona (1992), memberikan penjelasan mengenai urgensi pendidikan karakter, diantaranya: (1) Banyak generasi muda saling melukai Karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi  peradaban yang paling utama, (3) peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak abak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orang tua, masyarakat, atau lembaga keagmaan, (4) adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggung jawab, (5) demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, oleh, dan untuk masyarakat, (6) tidak ada suatu pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan nilai.Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus jadi guru yang baik, dan (8) pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performance akademik yang meningkat.
Dari beberapa pendapat menganai pentingnya pendidikan karakter di atas, sejatinya memberikan motivasi serta pencerahan bago pemerintah, para pendidik, insan akademik serta stakeholder pendidikan pada umumnya untuk segera sadar dan bangkit berupaya mencari solusi agar pendidikan karakter ini dapat diimplentasikan dengan segera di sekolah/madrasah dan juga di rumah. Bangsa ini haru segera diselamatkan dengan mencetak sumber daya manusia yang berkarakter unggul sesuai dengan nilai-nilai agama, budaya, dan falsafal bangsa.

PENDIDIDIKAN KARAKTER



Pendidikan karakter bersal dari dua akar kata yakni pendidikan dan karakter. Untuk itu, akan diuraikan terlebih dahulu defenisi karakter dari berbabagi sudut pandang para ahli. Secara etimologis, kata karakter berarti tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak ataubudi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain (Poerwadarminta, 1996:521).Dalam bahasa inggris, karakter (character) diberi arti a distinctive differential mark, tanda atau sifat yang membedakan seseorang dengan orang lain (Martin H.Manser, 1995:318).
Para memiliki defenisi tersendiri terhadap pengertian karakter jika ditilik secara terminologis. Menurut Doni Koesoema (2007:80) menjelaskan bahwa  sering diasosiasikan karakter dengan apa yang disebut temperamen yang memberinya defenisi yang menentukan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Karakter juga dipahami dari sudut behavior yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki individu sejak lahir. Istilah karakter tersebut sama dengan kepribadian. Maka kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakterristik atau gaya atau sifat khas dari seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya, keluarga  pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.
Dalam kasus sosiologi, istilah karakter menurut Sunarta (2011:151) adalah ciri khusus dari struktur dasar kepribadian seseorang (watak). Sedangkan watak yang diperoleh (character acquired) merupakan atribut seseorang yang perkembangannya berasal dari sumber lain di luar diirinya oleh karena berhubungan dengan lingkungan alam atau social. Karakter juga dapat diartikan personality bagi individu, dan karakteristik (characteristic) bagi kelompok atau kebudayaan yang menjadi identitasnya. Kita juga mengenal istilah characterization yaitu proses pengambilan ciri-ciri tertentu melalui warisan atau karena lingkungan atau karena kombinasi keduanya.
Dilain pihak, Endang Sumantri (2011:6) menyatakan bahwa, kata karakter dapat dilacak dari kata latin kharakter, kharassein dan kharax, yang maknanya tools for making, to engrave, dan pointed stake. Kata ini mulai banyak digunakan kembali dalam bahasa Prancis “caracter”pada abad ke-14 dan kemudian masuk ke dalam bahasa Inggris menjadi “character” sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia ‘karakter’. Sementara itu, Wyne (2007:242) menjelaskan bahwa kata karakter  berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh karena itu, orang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek.Sementara itu.Orang yang berperilaku sebaliknya dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia.Jadi, istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bias disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Lebih jauh Alport,tokoh psiklogi Amerika yang mengembangkan  teori kepribadian, mendefinisikan karakter sebagai penentu bahwa seseorang sebagai pribadi  (character is personality evaluated). Menurut Freud, character  isstriving system wich underly behavior. Menurut Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistim, yang melandasi pemikiraan sikap dan perilaku yang ditampilkan. Sementara itu, Ahmad Tafsir menganggap bahwa karakter lebih dekat atau sama dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia, sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Dari konsep karakter ini muncul istilah pendidikan karakter (character education). Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1990-an. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Characterter Education kemudian disusul bukunya Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Respinbility (1991). Melalui buku-buku itu, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter (Koesima, 2007:16). Sedangkan di Indonesia sendiri, istilah pendidikan karakter mulai diperkanalkan sekitar tahun 2005-an. Hal itu secara implisit ditegaskan dalan Rencana jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan berada berdasarkan falsafal Pancasila.”
Dalam Rencana Aksi Nasional Pendidika Karakter (2010) disebutkan bahwa pendidikan karakter adalah “pendidikan nilai, pendidikan budi pukerti, pendidikan moral, dan pendidikan akhlak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.”
Pendidikan karakter bukan sekar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah,lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik dan buruk, sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotorik). Dengan kata lain, pendidikan karakter harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetatpi juga merasakan dengan baik (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan dan dilakukan (Syarbini 2012:17)
Menurut Ratna Megawangi (2004:95), pendidika karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mepraktkkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Defenisi yang lain dikemukakan oleh Fakry Gaffar (2010:1), pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang, sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.
Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan pendidikan karakter adalah bukan jenis mata pelajaran seperti Pendidikan Agama Islam (PAI), Pendidikan Moral Pancasila (PMP) atau lainnya, tapi merupakan proses internalisasi atau penanaman nilai-nilai positif kepada peserta didik agar mereka memiliki karakter yang baik (good character) sesuai dengan nilai-nilai yang dirujuk, baik dari agama, budya, maupun falsafah bangsa(Syarbini 2012:17).

Minggu, 20 Agustus 2017

Merawat Rindu




Dia senyap, bukan berarti tak punya perasaan. Dia hening, sebab rumitnya perasaan, yang entah harus dengan apa semua itu disampaikannya. Pada akhirnya semua dipasrahkan pada do’a. Dia melangitkan namamu dengan do’a-do’a. Karena dia mengerti hanya Tuhan lah yang akan mengiyakan atau menggantikan dengan yang lebih baik.

Kadang ada rasa yang tidak mampu didefenisikan melalui lisan bahkan tulisan. Sekedar tertonggok di hati dan naik ke tenggorokan. Ada hasrat ingin mengeluarkan namun harus ditahan. Terbersit rasa takut, kalau-kalau akan menjelma menjadi rasa sedih dan untaian kata yang terbata-bata. Semua rasa membuat hari kemarin, ini, dan entah esok juga menjadi tak karuan, sebuah perasaan yang berkecamuk. Semuanya karena  takut akan merindu. Kebahagiaan atas sebuah anugerah bernama ‘jatuh cinta’, rupanya datang satu paket bersama perihnya rindu yang mendera. Syukurnya kita masih diberi kesempatan melerainya dalam do’a.

Beginilah cara terbaik merawat rindu. Cara terhormat menjaga rasa. Tetap sabar menjaga waktu dan jeda. Dengan tersipu mengangkat ruang-ruang  jemari pada gelaran sajadah. Melangitkan secarik nama yang masih entah. Untuk menerbangkan rasa ke semesta. Tentang kita, sekali pun tak pernah lupa kuberi kata semoga. Sebab hanya do’a-do’a lah cara terhikmat merayakan rindu itu, aku dan kamu yang entah siapa.


Doa itu melunakkan yang keras, menentramkan yang bersedih, mendekatkan yang jauh, menguatkan yang lemah, menyatukan yang terpisah dan menjadikan tiada menjadi ada.




Bila kelak kamu dipersatukan dengan sosok yang tidak pernah kamu sebut dalam do’a. Bisa jadi orang itu adalah orang yang sangat tekun melampirkan nama mu dalam do’anya. Percaya lah !


Hanya do'a dan harap yang kini lebih banyak kita bagi jika ada angin yang bisa menerjemahkan rindu.  Tentu kita ingin menitipkan rindu itu saat ini. Hingga akhirnya kita disatukan nanti, kita akan menyimpan rindu itu dengan rapi.

                Kadang urusan rindu sulit untuk hanya diselesaikan oleh hati dan akal. Karena hanya iman yang mampu mensakralkannya dalam sajian-sajian do'a nan anggun. Ada perlunya juga menyemayamkan rindu di bawah buku. Mungkin rindu juga butuh membaca, biar ia berpengalaman, biar ia tahu hal-hal macam apa yang semestinya tak perlu terlalu diharapkan.