Tak perlu mengubah karakter agar mampu diterima. Karena itu hanya memaksakan diri untuk terjun di ranah yang membuat diri itu selalu bersandiwara. Natural aja...bersikap saja sesuai norma yang pantas. Bila memang tidak perlu speak up ya udah calm aja, silent. Apalagi ikut nimbrung ngobrol hanya sekedar menunjukkan diri. Ah itu kuno banget lah, bukan lagi budaya anak jaman now lah.
Kamis, 02 November 2017
Internet addiction disorder (IAD)
Pernah mendengar istilah ini Internet addiction disorder (IAD) ?. Hebatnya manuver teknologi bukan hanya menumbuhkan inovasi dalam tatanan kehidupan, namun juga memproduksi sekian sindrom teknologi bagi para pengidapnya. IAD merujuk pada penggunaan internet secara terus menerus sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari. Terdapat beberapa literasi yang mengungkapkan bahwa kecanduan pada internet dapat mendistorsi hubungan sosial serta kadar withdrawl syndromenya sama dengan kecanduan judi.
Pada editorial 2008 lalu dalam The American Journal if Psychiatry, Jerard J. Block menulis bahwa IAD dicirikan dengan penggunaan yang berlebihan, penarikan diri dan dampak negatif seperti argumentasi serta kelelahan. Penggunaan internet yang tidak sehat juga bisa menyebabkan depresi tingkat akut (okezone.com).
Kita harus beradaptasi terhadap sirkulasi kehidupan digital dewasa ini. Jangan sampai arus modernitas mengubah karakter baik dari diri itu. Apalagi menimbulkan penyakit psikologis. Na'udzubillah. Gunakan teknologi sewajarnya, sebagai instrumen berkhidmat dalam kebaikan atau untuk ilmu.
Menulis
Menulis tentu bukanlah perkara remeh. Sebab butuh selongsong energi yang mampu memberi kejutan spesifik pada diri.
Pinggir Rel Kereta
Selama ini saya hanya merasakan perjalanan dengan kereta. Memandangi susunan rumah dan gedung-gedung eksotik di kota metropolitan ini. Dulu sangat, ketika masih kecil semua gambaran seperti ini hanya menjadi bacaan di novel-novel atau artikel lainnya. Ketika gambaran itu menjadi kisah yang harus saya lakoni ada rasa yang berbeda.
Ada yang lebih menarik. Ketika saya bukan jadi penumpang kereta tapi menjadi sahabat tepi rel kereta. Mendapat kesempatan beberapa hari dikosan temen yang berjarak 5 meter dari rel kereta api itu bagi saya itu unik. Saya jadi belajar tentang nuansa kehidupan yang dirasakan oleh masyarakat setempat. Kekuatan vibrasi gelombang dari noise lalu lalang kereta itu memang menyebalkan. Sekilas saya teringat efek viseral dari noise impulsion yang berpengaruh pada frekuensi detak jantung dan tekanan darah di tubuh. Tapi mereka cukup fight karena pembiasaan. Repitisi dari peristiwa itu menguatkan diri dalam keterbiasaan.
Memang tidak banyak yang bisa dilakukan. Hidup dan dipaksa takdir untuk menjalani kehidupan ditepian rel seperti ini telah menjadi ketetapan. Tapi saya hanya terfikirkan bahwa ini sudah menjadi problema klasik dari dulu. Semestinya harus ada solusi bagaimana teknik meminimalisir kebisingan suara itu. Lagi-lagi untuk perkara begini para kaum intelektual itu tidak boleh hanya berdiam diri di perpustakaan dan laboratorium. *haks, tertampar*.
Lagi-lagi... pagi di tepian rel ini membuat saya merenung. Betapa selepas amanah magister ini. Ada jutaan umat yang menanti hadirmu untuk menjadi solusi bagi perbaikan bangsa dan negara ini. Kini mereka tengah merindukan manfaat dan kontribusi yang akan kamu beri.
Ya Allah...
Ampunkan hamba
Haks
3 Nov 17| 07.37 WIB |@Tepian Rel, Depok
Jalan
Bila ada yang ingin berjalan menujumu. Berilah jalan...
Bila akhirnya tak sampai, bukan salahmu. Karena Allah telah menyelesaikan dengan jalan-Nya untukmu.
Terkadang ada praduga yang tak semestinya diendapkan dalam pikiran. Karena prediksi manusia terlalu terbatas untuk meraba apa yang menjadi kepastian. Jika hal-hal yang memantik cemas dan kekhawatiran berlebihan, boleh lah berkongsi dengan rasa damai bahwa tak ada andil bagi diri itu dalam menakar apa yang menjadi ketetapan Allah.
Tak pernah salah saat kamu memberi jalan dan bukan salah siapa-siapa bila memang ada yang mesti berhenti melangkah. Semua itu hanya sebatas cerita. Yang bila Allah meminta melanjutkan, maka kita harus melangkah mengambil peran. Jika yang terbaik kisahnya harus di 'cut' ! Ya udah, kita sudahi dengan sebaik-baik jalan cerita. Tanpa perlu ada rasa selain menerima dengan kelapangan hati. Karena kita melangkah karena Allah dan berhenti juga karena takdir Allah.
Tercenung
Banyak hal dari perjalanan ini yang membuat diri itu tercenung. Memberi makna yang tak sekedar saja bagi pahaman baru. Ketika kita mempelajari sesuatu hal dari apa yang tampak, sejatinya itu tidak cukup hingga kita bersedia untuk menghampirinya lebih dekat.
Senang sangatlah saya, ketika diberi kesempatan untuk meng-hikmah-i pemandangan di kota metropolitan ini. Kala itu, saya memperhatikan dengan serius gerombolan anak jalanan. Mereka sangat menikmati dunia ini dengan caranya. Bagi mereka hidup untuk mendapatkan bahagia mesti ditempuh dengan begitu, dengan hirupan sebatang rokok sambil menderai tawa bersama terik mentari dan wajah dekil yang tertumpuk debu jalanan. Menggetarkan senar lusuh sembari menampung belas kasihan pada setiap orang yang lalu lalang di lampu merah. Mungkin, Mereka belum mengerti bagaimana cara menemukan bahagia dengan jalan lain. Bagi mereka, bisa jadi, bahagia itu dengan kesenangan. Dengan haha hihi
Sehingga apapun yang menjadikan diri mereka senang patut diupayakan, sekalipun dengan ganja, free sex, clubing, dan perilaku menyimpang norma dan nilai lainnya. Na'udzubillah....
Saya tidak membeci mereka hanya benci dengan apa yang tengah mereka lakoni. Mereka tetap manusia yang pasti punya fitrah dan naluri untuk kembali pada jalan yang benar dan hidup dalam kelayakan seperti yang lain. Tapi entahlah....atas masa lalu apa yang menyeret mereka hingga terdampar pada kehidupan yang sebegitu nanarnya. Hanya saja, hadirnya mereka dalam temuan saya mengetuk kesadaran tentang 'apa yang sudah saya perbuat sehingga untuk kedepan orang-orang seperti mereka dapat diminimalisir?'. *haks* Kadang saya menangis tanpa jelas di angkotan umum (walau terkamuflase dengan masker). Ingin mencambuk diri sendiri. Perjalanan sekian tahun di bangku pendidikan tidak memberi sesuatu yang pokok untuk diri ini menjadi yang berkontribusi pada perubahan dunia yang lebih baik, sekalipun sekecilnya dunia yakni lingkungan tempat saya tinggal. Astaghfirullah...
Ini sudah malam nona...tidurlah dulu
*renungan 3 Nov 17, 00:40 WIB @Depok tepi rel kereta api
Rabu, 01 November 2017
Untitled
Akan ada satu waktu kita berada pada titik lelah, masa masa sulit, keadaan terhimpit, dan fase yang menjenuhkan. Kadang pada momen-momen begitu membuat kita merasa bahwa hidup ini semakin menyebalkan. Sehingga tidak ada yang kita butuhkan kecuali hanya Allah sebagai pelipurnya.