Kamis, 02 November 2017

Pinggir Rel Kereta

Selama ini saya hanya merasakan perjalanan dengan kereta. Memandangi susunan rumah dan gedung-gedung eksotik di kota metropolitan ini. Dulu sangat, ketika masih kecil semua gambaran seperti ini hanya menjadi bacaan di novel-novel atau artikel lainnya. Ketika gambaran itu menjadi kisah yang harus saya lakoni ada rasa yang berbeda.

Ada yang lebih menarik. Ketika saya bukan jadi penumpang kereta tapi menjadi sahabat tepi rel kereta. Mendapat kesempatan beberapa hari dikosan temen yang berjarak 5 meter dari rel kereta api itu bagi saya itu unik. Saya jadi belajar tentang nuansa kehidupan yang dirasakan oleh masyarakat setempat. Kekuatan vibrasi gelombang dari noise lalu lalang kereta itu memang menyebalkan. Sekilas saya teringat efek viseral dari noise impulsion yang berpengaruh pada frekuensi detak jantung dan tekanan darah di tubuh. Tapi mereka cukup fight karena pembiasaan. Repitisi dari peristiwa itu menguatkan diri dalam keterbiasaan.

Memang tidak banyak yang bisa dilakukan. Hidup dan dipaksa takdir untuk menjalani kehidupan ditepian rel seperti ini telah menjadi ketetapan. Tapi saya hanya terfikirkan bahwa ini sudah menjadi problema klasik dari dulu. Semestinya harus ada solusi bagaimana teknik meminimalisir kebisingan suara itu. Lagi-lagi untuk perkara begini para kaum intelektual itu tidak boleh hanya berdiam diri di perpustakaan dan laboratorium. *haks, tertampar*.

Lagi-lagi... pagi di tepian rel ini membuat saya merenung. Betapa selepas amanah magister ini. Ada jutaan umat yang menanti hadirmu untuk menjadi solusi bagi perbaikan bangsa dan negara ini. Kini mereka tengah merindukan manfaat dan kontribusi yang akan kamu beri.

Ya Allah...
Ampunkan hamba
Haks

3 Nov 17| 07.37 WIB |@Tepian Rel, Depok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar