*Ini hanya perspektif belaka
Saat ini, dunia semakin sesak dengan eksistensi orang-orang yang menampilkan kesan kebahagiaannya. Bersama media dan akses data kekinian, mereka menjadi lebih dimudahkan untuk perkara mempertontonkan kondisi.
Dulunya, saya juga begitu. Ada semacam perasaan ingin diakui dan diperbincangkan oleh khalayak ramai di jejaringan sosial. Ah itu dulu, tepatnya setahun yang lalu. Ketika dalam satu kondisi yang sekiranya telah terakreditas populeritasnya, mencuar rasa ingin segera diketahui dan dibilang 'ini' dan 'itu' oleh orang lain. Seolah kebahagiaan akan terjadi jika orang mengakui kita sedang bahagia. Betapa dangkalnya kedewasaan saya itu. Pada saat yang sama, sebenarnya kebahagiaan di kondisi tersebut -katakanlah bertemu artis- tidak dirayakan dengan optimal oleh diri sendiri. Sebab seseorang yang benar-benar bahagia maka ia akan lupa untuk memberi kabar bahwa ia bahagia. Kebahagiaan itu secara sadar dan penuh suka cita ia restui hanya bagi dirinya tanpa perlu diekspos ke dunia maya.
Saya memandang ini lebih pada kematangan berfikir dan kedewasaan jiwa. Sifat suka pamer sudah tak selayaknya dimiliki oleh orang yang telah menginjak usia dewasa atau menuju padanya. Walau usia bukan satu-satunya tolok ukur kedewasaan. Orang yang berjiwa dewasa tidak lagi mementingkan penilaian orang pada dirinya. Tatanan kehidupan kedepan yang lebih cerah menjadi prioritas utama dalam fase kedewasaan jiwa dari pada mementingkan pengakuan orang lain pada diri sendiri. Itulah yang saya alami saat ini.
Disamping mubazir waktu, penggunaan dunia maya yang hanya sekedar untuk 'bla bla bla' juga sering menimbulkan polemik atas praduga tak bersalah yang bisa jadi fitnah. Lebih nyaman dijauhkan atau sebatas menggunakan untuk menyampaikan kebaikan. Bukan untuk pamer kecerdasan dalam berkata-kata atau ingin diakui tulisannya. Bukan, ini lebih pada menjalankan peran sebagai orang yang beruntung dan orang yang dijamin kebahagiaan kekalnya kelak.
Bersyukur, bahwa saya lekas tersadarkan terhadap kekeliruan pola pandang selama ini. Dulunya, saya sering kagum pada seseorang yang terkesan 'wah' di dunia maya. Sayangnya, apa yang saya saksikan di dunia maya tidak begitu yang ada pada realitasnya. Hal sedemikian saya temui pada orang-orang terdekat saya dan beberapa orang populer yang kemudian Qadarullah dikenalkan pada saya. Ada diantara Mereka yang di unggahan fotonya membagikan momen bahagia ternyata pada saat yang sama tengah mengalami kegalauan dan kegelisahan. Memang begitulah bentuk manipulasi pemikiran. Zaman seolah membawa perubahan gaya hidup sekaligus perubahan cara berfikir. Modernisasi dibidang sosial media kian mewabahkan jamur eksis bagi setiap penggunanya. Sampai-sampai keadaan seseorang dapat dengan leluasa dinilai dengan kilat atas apa yang diperlihatkan di sosial medianya. Memilukan....
Berpijak dari pengalaman-pengalaman berharga itu. Kini saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan dunia nyata. Kehidupan yang jelas-jelas harus dihadapi dengan keseriusan dan kematangan akal. Dengan cara ini, saya dapat merasakan ketentraman yang lebih terukur dan bertahan. Sebab kebahagian bukan milik mereka yang diakui manusia namun kebahagiaan hakiki pantas direnggut oleh mereka yang diakui oleh penduduk langit. Kebahagiaan itu bersumber dari jiwa yang tenang lagi penuh keridhoan Allah.
Mari berbahagia ....!
Jangan lupa bahagia dengan tak melupakan dzikrullah ya sholiha ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar