Minggu, 27 Oktober 2013

Menjahit Cahaya Derita Menyulam Tawa



       Hidup memang perjuangan yang mesti dimenangkan, sebongkah tantangan yang harus diterjang, dan kilauan anugrah Tuhan yang patut disyukuri. Siapa pun, bagaimana pun, dimana pun kita bisa membentuk masa depan yang baik dan damai melalui ketekunan, kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas yang tak putus-putus. Tuhan sudah ter-Maha Adil dalam menetapkan takdir pada para hamba. Keputusan-Nya telah didesain dalam program terpadu yang anggun dan indah untuk memapah kita menjadi sosok pribadi yang tangguh dan bijaksana dalam mengarungi bentang kehidupan dunia. Perhatikan lagi dengan seksama dalam Kalam Ilahi:
"dan Dia-lah yang menjadikan orang TERTAWA dan MENANGIS." (QS. 53:43).
Pola rasa akan selalu membentuk suka lalu duka kemudian kembali lagi pada suka karena ia adalah fitrah dan telah tertitah. Yakinlah pada Allah, sesungguhnya manusia itu sulit mengetahui potensi maksimum sampai pada ia berada di koordinat kala dipaksa kuat untuk bisa bertahan.
   Inilah suatu kisah yang dapat membuktikan bahwa keyakinan penuh pada Allah atas bersama kesulitan ada kemudahan menjadikan hidup dalam serba kekurangan terasa enteng dan nyaman. Ibu Murni seorang wanita asal minang, sosok wanita yang ulet dan gigih untuk menerobos dimensi kemelaratan. Tak jarang Ia digoncang derita yang tak terperikan dalam menjalani hari-hari. Profesi sebagai tukang pijat  lulur bukan pekerjaan yang menjanjikan untuk dapat memenuhi nafkah kedua putrinya yang tercinta. Seperti hari sebelumnya agar hari ini dapat makan dan mencukupi untuk biaya sekolah anak, Bu Marni harus mencari orang yang akan dipijat lulur dulu. Terkadang jika tidak ada tepaksa meminjam uang dari tetangga. Apakah Bu Marni mengeluh ?, luar biasanya adalah keterbatasan ekonomi yang sedang dihadangi membuat Bu Marni semakin kuat bukan lemah. Walau terkadang harus bekerja dalam kondisi perut kosong, Bu Marni senantiasa percaya Allah sedang menyaksikan usahanya dan usahanya pasti akan dibalas dengan imbalan yang terbaik di sisi Allah.
   Nani Indah Oktaviani putri keempat dari lima bersaudara yang masih dalam tanggungan Ibu Nani sekarang duduk di kelas 1 SMP. Sering nani mendapat cemoohan dari teman-teman sekolahnya saat berkunjung ke rumah. Melihat betapa miskin dan lusuhnya rumah yang mereka tempati. Tentu lontaran hinaan itu amat menyakitkannya, terlalu perih untuk dirasakan oleh anak yang baru berusia 13 Tahun. Ia terus menenangkan diri dengan mengingat kisah Rasulullah Muhammad SAW, lebih hebat hinaan yang datang, cercaan, dilempar kotoran onta, bahkan dilempar batu, tapi Rasulullah justru mendo'akan supaya orang-orang itu mendapat hidayah Allah, karna sesungguhnya mereka tidak mengetahui. Atas hinaan itulah Allah memuliakan Rssulullah. Bagi Nani, Semakin kuat hinaan yang datang  sebagai tanda bahwa semakin mulia dirinya dimasa mendatang. “Hanya orang bodoh dan dungu lah yang menghina diri ini”, batin Nani, “mereka belum tahu sesungguhnya saya adalah orang besar yang akan mengubah dunia kelak”, tegas hatinya meredam kemarahan.       
Karakter positif Nani lah yang membuatnya mampu mengkonversi hinaan itu menjadi prestasi gemilang di sekolah. Selama 6 Tahun jenjang pendidikan sekolah dasar Nani berhasil merenggut peringkat pertama di kelas. Tak ayal  Nani sering mendapat pujian dari guru yang menimbulkan keki pada teman-teman sekelasnya. Nani berprinsip teguh bahwa kemiskinan bukan alasan baginya untuk menjadi yang terbaik, kemiskinan tidaklah penghalang untuk menggapai impian, dan kemiskinan bukanlah tabir untuk menjemput kesuksesan di masa depan. Motivator terbesar dan tak terbatas bagi Nani tidak lain adalah energi nasihat yang senantiasa disuntikkan oleh sang ibu. Bu Marni kerap menasehati anak-anaknya dengan membawa mereka wisata ke pemakaman umum sambil berkata, ‘ Nak, lihatlah apakah mereka yang berada di dalam unggukan tanah itu membawa harta ?. Nani dan adiknya menjawab,’ Tidak Mak !. Nah begitulah besok kita. Harta tidak menjadi tolok ukur kita sukses. Jangan pernah merasa hina karena tidak punya harta, namun merasalah hina jika kita tidak bisa bermanfaat bagi orang lain. Kelak jika mati jangan mengandalkan harta namun bawalah nama. Kata-kata itu membius habis hingga ke mitrokondria sel-sel pendengaran, hati, dan akal Nani.  
    Tinggal di rumah sempit dan reok bak istana megah dan mewah bagi Nani dan Dila karena selalu ada ibu yang menyajikan permata cinta dan ruang kasih sayang tumpah ruah untuk menyantap guliran waktu mereka. Memang sudah 11 Tahun lamanya ayah mereka pergi merantau dan sampai saat ini tidak tahu dimana rimbanya, kabar tentang suami Bu Marni seakan gaib di telan buasnya alam.  Bu marni tidak ingin larut dalam penantian sia-sia, tersemat dalam hatinya bahwa masalah itu manis. Agak malu rasanya jika ia berkata pada Allah bahwa memiliki masalah, rasanya lebih pantas  berkata pada masalah itu bahwa ia memiliki Allah. Tepat sekali lah, ketika kita ditimpa sebuah masalah, artinya Allah menghendaki kita lebih dewasa dalam mengelola hidup ini. Kala kita ditimpa musibah, maksudnya Allah ingin kita agar lebih merapatkan posisi kepadaNya. Saat kita diterpa kesusahan, bermakna Allah sedang menyediakan untuk kita kemudahan.
   Kepada nani ibunya sering membagikan nasihat-nasihat para ulama diantaranya, kata hikmah dari Al-Imam Asy-Syafi'i Rahimahullah, yang berkata bahwa ilmu tidak akan didapat oleh orang yang pikirannya tercurah pada makanan dan pakaian. Pengagum ilmu akan selalu berusaha, baik dalam keadaan telanjang dan berpakaian. Jadikanlah bagi dirimu bagian yang cukup dan tinggalkanlah nikmatnya tidur. Mungkin suatu hari kamu hadir di suatu masa dan  menjadi tokoh besar pada masa itu". Sebagai seorang ibu, Bu Marni tergolong wanita yang kaya akan hikmah, pengalaman telah menempanya menjadi insan yang bijak dalam mengorganisir kehidupan. Kata-kata bijak yang acap kali disampaikan kepada kedua putrinya menghadirkan sifat positif dan baik dalam menanggulangi kesempitan hidup. Contohnya saja makan, setiap harinya Nani dan Dila, adiknya, terbiasa menikmati sarapan dan makan malam ubi saja tanpa protes sedikitpun. Terkadang Dila menceletuk,’ dulu para pahlawan Indonesia makan ubi kan Mak, tapi mereka bisa menjadikan Indonesia merdeka dengan ubi. Hahahaha. Tertawa renyah pun tergurai mengisi cela-cela kepedihan. Beginilah cara keluarga Ibu Marni menikmati hidupnya.  Dengan mengubah pola pikir Bahwa Allah tidak pernah menjadikan kekayaan dan kemiskinan, namun Allah menjadikan kekayaan dan kecukupan.
"dan Dia-lah yang memberikan KEKAYAAN dan KECUKUPAN." (QS. 53:48).
     Dengan terapi kesederhanaan hidup Bu Marni menempah anak-anaknya untuk menjadi Insan yang pandai bersyukur dalam kondisi sulit sekalipun. Orang-orang yang paling berbahagia tidak selalu memiliki hal-hal terbaik, mereka hanya berusaha menjadikan yang terbaik dari setiap hal yang hadir dalam hidupnya. Kebahagian keluarga Bu Marni telah disempurkan dengan sifat pemurah dan suka berbaginya. “Kemeralatan bukan jalan untuk menjadi orang yang kikir”, begitulah tutur Bu Marni. Kebiasaan Bu Marni yang gemar sedekah inilah menaikkan derajatnya di sisi Allah Yang Maha Kaya. Pernah suatu hari datang pengemis langganan ke rumah Bu Marni, maka menyaksikan kehadiran pengemis itu Bu Marni tersenyum dan langsung menyilanya untuk masuk, lalu memintanya  untuk menunggu sejenak. Bu Marni Lihat ketersediaan beras ternyata ludes, uang tinggal Rp 1000,-  di dompet, dan tidak ada satu pun benda berharga yang dapat di sedekahkan. Dengan tak banyak pikir uang Rp 1000,- itu langsung dberikannya pada sang pengemis. Jadilah hari itu keluarga Bu Marni tak punya sepersenpun uang. Bu Marni sering membatin dengan tetangga sekitarnya yang hidup diatas rata-rata, enggan sekali mereka membuaka pintu kala orang peminta-minta datang ke rumah mereka. Padahal pasti peminta itu datang tidak dengan sendirinya pasti Allah lah yang menggerakkan hati mereka untuk berkunjung. Artinya Allah inginkan mereka mendapat pahala mengapa harus menolaknya. Sungguh dahsyat Bu Marni.  Tak lama kemudian Dila pulang sekolah, bukan main terkejutnya Bu Marni melihat anaknya pulang diantar oleh mobil mewah dan membawa belanjaan untuk kebutuhan 1 bulan, beras satu karung, gula, teh, telur, dan lain sebagainya. Subhanallah, sontak Bu Marni langsung sujud syukur kepada Allah dan memeluk Dila. Ternyata Dila adalah murid yang sangat disayangi oleh teman-temannya di sekolah. Sering Dila mendapat bantuan dari orang tua teman-temannya untuk kebutuhan sehari-harinya. Termasuk kejadian hari ini dan ini bukanlah untuk pertama kalinya. Tanpa malam, bulan purnama takkan indah. Tanpa lapar, nikmat makanan takkan terasa. Tanpa dahaga sejuknya air takkan memberi banyak makna. Tanpa gelap maka cahaya takkan berarti. Begitu juga kemenangan atau kemudahan takkan banyak memberi makna tanpa didahului oleh rintangan masalah kesusahan.
Begitulah kisah inspiratif dari keluarga Bu Marni. Banyak hal yang dapat kita petik dari bagaimana mereka mengatasi derita. ”Jalan yang lurus dan rata takkan pernah menghasilkan pemandu yang hebat. Laut yang tenang takkan pernah menghasilkan pelaut yang cekap. Langit yang cerah takkan pernah menghasilkan juruterbang yang handal.” Di saat kita mencari solusi dalam suatu masalah, di saat itulah sebuah proses pendewasaan hidup akan bermula. Maka senyuman mereka yang memiliki masalah adalah bukti awal keberhasilan meretas ketidakterbatasan diri dan mampu  mengatasi masalah tersebut dengan bijak. Mereka itulah golongan yang selalu yakin kepada keputusan Allah yang Maha Adil. Kita harus punya keyakinan bahwa apa yang Allah kehendaki pada diri kita itu lebih baik daripada apa yang kita kehendaki untuk diri kita sendiri.

Jumat, 04 Oktober 2013

Mencari Suatu yang Pasti



Hidup ini terlalu indah untuk di kutuki, setiap  rotasi waktu yang berputar menyembunyikan  kejutan-kejutan menarik bagi yang berusaha menjemput dan ikhtiar dengan serius untuk memilikinya. Kejutan itu bukan hanya kenikmatan dunia dan seisinya namun disertai kenikmatan ukhrawi yang tidak terperikan senangnya. Itulah amal, sebuah energi yang di produksi dari segenap jerih tubuh, otak, dan jiwa untuk mereduksinya sebagai suatu aktifitas yang membuahkan ridho Allah. Ada yang menyia-nyiakannya dan hanya sedikit yang bersungguh-sungguh untuk mencapainya.  
Mungkin kita bertanya-tanya mengapa hanya sedikit mengimpikan variabel kenikmatan hakiki itu ?.  sebenarnya ini berakar dari pribadi dan hati setiap insannya, ingatlah bahwa Allah yang Maha Adil itu telah memfasilitasi hamba-Nya dengan SoftWare Qalbu yang menjadi detektor kebaikan dan kebatilan (Q.S. asy-Syams: 8). Namun program SoftWare akan baik selama tidak dirusak oleh perbuatan yang menyimpang dari syari’at. Contohnya meninggalkan sholat, jauh dari al-Qur’an, jarang berdzikir, tidak gigih mencari ilmu pengetahuan yang mengantarkan pada Ma’rifatullah, suka maksiat, suka mencela, ghibah, dan lainnya. Virus-virus inilah yang menggerogoti sistem Qalbu sehingga pemiliknya merasakan indah kedzaliman dan bergelimang dosa.          Hanya pribadi kokohlah yang mampu mempertahankan keawetan dari qalbunya dengan rutin melakukan instalisasi iman. Sudah menjadi fitrah sebagaimana Sabda Rasul bahwa kurva iman berpola fluktuatif. Oleh karenanya, jika sedang merasakan imun imannya dalam fasa kritis, cepatlah melakukan rehabilitasi dengan terapi pengobatan  ampuh yang tersedia kapanpun dan bisa dilakukan dimanapun. Itulah amalan sunnah, sholat tepat waktu, tilawah, tadabbur, shalat tahajjud, dhuha, witir, dzikir, menghadiri majelis ilmu, menebar kebaikan, sedekah, dan lain sebagainya. Ketahuilah suatu kebaikan yang dilakukan akan membuahkan kebaikan yang lain. Terapi inilah yang dapat menanggulangi kerusakan qalbu.
Atas apa yang telah Allah amanah kepada kita, seyogyanya kita mampu mengembani dengan baik yakni sebagai khalifah di muka bumi.  Sebagai khalifah  bukan berarti hidup hanya untuk hidup dalam kebaikan. Suatu kebaikan yang dilakukan jika landasannya dunia maka balasannya hanya sebatas dunia, selanjutnya akan menjadi sia-sia di sisi Allah. Melakukan kebaikan sebijaknya diwadahi dalam cawan keikhlasan. Ikhlas untuk dipersembahkan kepada Allah, sebagai suatu persembahan kepada Allah atas kebaikan-Nya yang berlimpah kepada kita, maka kita pun berlaku baik kepada sesama manusia.  Sayangnya, momen ini jarang diaplikasikan pada setiap diri. Kebanyakan manusia hanya memainkan perannya di panggung sandiwara dunia. Perhatikanlah, SPG yang ada di swalayan begitu ramah tamahnya melayani pembeli sampai-sampai rela mengabil apa-apa yang diperintah pembeli. Apakah SPG tersebut akan melakukan orang tuanya dirumah sebagaimana ia melayani seorang pembeli itu ? . ya, ada yang bisa melakukannya dan banyak yang tidak. Padahal jika di ukur dari nilai pahala tentu kebaikan yang dipersembahkan untuk orang tua akan menghasilkan  point yang berlimpah jika dibandingkan orang lain yang sebelumnya tidak pernah kita kenal. Kebanyakan manusia melakukanya, berbuat baik, hanya untuk mengharapkan imbalan semu, yakni uang.  Inilah kebahagiaan terbatas itu. Kebahagiaan yang ada jika hanya ada uang. Namun kebahagiaan sesungguhnya terletak bagaimana ia mampu melakukan segala sesuatu hanya untuk mencari ridho Allah. Kebahagiaan ini tidak dibatasi oleh materi, jangkauannya luas dan tak terbatas. Beruntunglah bagi diri-diri yang berusaha untuk meraih kebahagian hakiki tersebut.  

Selasa, 01 Oktober 2013

langkah kaki itu semakin menderu. derapnya seakaan menghunjam hingga ke akar bumi. energi bahagia menjadi tumpah ruah kesekujur organ tubuh bukan hanya kaki, tangannya pun ikut mendayung-dayung riang. dengan sandal kulit yang baru semalam dibuat oleh bapak, Ia tapaki jalan-jalan berkerikil tanpa peduli kalau nanti sandal itu bisa putus jika digunakan terlalu kasar. Seragam merah putih lusuh hasil pemberian dari Pak Haji Marwan kini menghiasi tubuhnya yang ringkih, dekil, dan kecil. Rambut anak itu tidak seperti sudah disisir apalagi diberi minyak rambut, kusut dan kering tapi lurus. Jauh dibelakang ada sosok laki-laki renta yang tergopoh-gopoh mengikuti anak kecil yang setengah berlari itu. Sang surya pun mengintip kelakuan anak kecil itu sembari menjilat-jilat kulitnya dengan sinar pagi yang hangat.