Kamis, 02 November 2017

Pengamat

Menjadi pengamat itu, terkadang memang terkesan cool bahkan jadi kelihatan aneh. Easy going aja nona...demi dan demi proyek masa depan. Terkadang hal besar yang ingin dicapai itu perlu menempuh turbulensi resiko yang tak terduga. Keep going anyway. Jika yang diperjuangkan adalah sesuatu yang baik, biar Allah yang menilai proses itu. Manusia itu suka picik dalam menetapkan sudut pandang

Pengaruh Bangsa Timur-Barat: Kajian Realitas di Indonesia

Menelaah tentang oksidentalisme kiranya hal yang baru bagi seorang pemikir filsafat sains seperti saya. Baiklah, harus dikaji lebih dalam dan komprehensif. Agar volume pemahamannya lebih masif.

Bismillah....

Be You

Tak perlu mengubah karakter agar mampu diterima. Karena itu hanya memaksakan diri untuk terjun di ranah yang membuat diri itu selalu bersandiwara. Natural aja...bersikap saja sesuai norma yang pantas. Bila memang tidak perlu speak up ya udah calm aja, silent. Apalagi ikut nimbrung ngobrol hanya sekedar menunjukkan diri. Ah itu kuno banget lah, bukan lagi budaya anak jaman now lah.

Internet addiction disorder (IAD)

Pernah mendengar istilah ini Internet addiction disorder (IAD) ?. Hebatnya manuver teknologi bukan hanya menumbuhkan inovasi dalam tatanan kehidupan, namun juga memproduksi sekian sindrom teknologi bagi para pengidapnya.  IAD merujuk pada penggunaan internet secara terus menerus sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari. Terdapat beberapa literasi yang mengungkapkan bahwa kecanduan pada internet dapat mendistorsi hubungan sosial serta kadar withdrawl syndromenya sama dengan kecanduan judi.

Pada editorial 2008 lalu dalam The American Journal if Psychiatry, Jerard J. Block menulis bahwa IAD dicirikan dengan penggunaan yang berlebihan, penarikan diri dan dampak negatif seperti argumentasi serta kelelahan. Penggunaan internet yang tidak sehat juga bisa menyebabkan depresi tingkat akut  (okezone.com).

Kita harus beradaptasi terhadap sirkulasi kehidupan digital dewasa ini. Jangan sampai arus modernitas mengubah karakter baik dari diri itu. Apalagi menimbulkan penyakit psikologis. Na'udzubillah. Gunakan teknologi sewajarnya, sebagai instrumen berkhidmat dalam kebaikan atau untuk ilmu.


Menulis

Menulis tentu bukanlah perkara remeh. Sebab butuh selongsong energi yang mampu memberi kejutan spesifik pada diri.

Pinggir Rel Kereta

Selama ini saya hanya merasakan perjalanan dengan kereta. Memandangi susunan rumah dan gedung-gedung eksotik di kota metropolitan ini. Dulu sangat, ketika masih kecil semua gambaran seperti ini hanya menjadi bacaan di novel-novel atau artikel lainnya. Ketika gambaran itu menjadi kisah yang harus saya lakoni ada rasa yang berbeda.

Ada yang lebih menarik. Ketika saya bukan jadi penumpang kereta tapi menjadi sahabat tepi rel kereta. Mendapat kesempatan beberapa hari dikosan temen yang berjarak 5 meter dari rel kereta api itu bagi saya itu unik. Saya jadi belajar tentang nuansa kehidupan yang dirasakan oleh masyarakat setempat. Kekuatan vibrasi gelombang dari noise lalu lalang kereta itu memang menyebalkan. Sekilas saya teringat efek viseral dari noise impulsion yang berpengaruh pada frekuensi detak jantung dan tekanan darah di tubuh. Tapi mereka cukup fight karena pembiasaan. Repitisi dari peristiwa itu menguatkan diri dalam keterbiasaan.

Memang tidak banyak yang bisa dilakukan. Hidup dan dipaksa takdir untuk menjalani kehidupan ditepian rel seperti ini telah menjadi ketetapan. Tapi saya hanya terfikirkan bahwa ini sudah menjadi problema klasik dari dulu. Semestinya harus ada solusi bagaimana teknik meminimalisir kebisingan suara itu. Lagi-lagi untuk perkara begini para kaum intelektual itu tidak boleh hanya berdiam diri di perpustakaan dan laboratorium. *haks, tertampar*.

Lagi-lagi... pagi di tepian rel ini membuat saya merenung. Betapa selepas amanah magister ini. Ada jutaan umat yang menanti hadirmu untuk menjadi solusi bagi perbaikan bangsa dan negara ini. Kini mereka tengah merindukan manfaat dan kontribusi yang akan kamu beri.

Ya Allah...
Ampunkan hamba
Haks

3 Nov 17| 07.37 WIB |@Tepian Rel, Depok

Jalan

Bila ada yang ingin berjalan menujumu. Berilah jalan...
Bila akhirnya tak sampai, bukan salahmu. Karena Allah telah menyelesaikan dengan jalan-Nya untukmu.

Terkadang ada praduga yang tak semestinya diendapkan dalam pikiran. Karena prediksi manusia terlalu terbatas untuk meraba apa yang menjadi kepastian. Jika hal-hal yang memantik cemas dan kekhawatiran berlebihan, boleh lah berkongsi dengan rasa damai bahwa tak ada andil bagi diri itu dalam menakar apa yang menjadi ketetapan Allah. 

Tak pernah salah saat kamu memberi jalan dan bukan salah siapa-siapa bila memang ada yang mesti berhenti melangkah. Semua itu hanya sebatas cerita. Yang bila Allah meminta melanjutkan, maka kita harus melangkah mengambil peran. Jika yang terbaik kisahnya harus di 'cut' ! Ya udah, kita sudahi dengan sebaik-baik jalan cerita. Tanpa  perlu ada rasa selain menerima dengan kelapangan hati. Karena kita melangkah karena Allah dan berhenti juga karena takdir Allah.